Nusantarakini.com, Jakarta –
Steven tidak menyangka jika caci-makinya terhadap seorang dari kaum tiko itu akan seramai sekarang ini. Steven marah kepada kaum tiko di Singapura dan mengingatkan orang berjuluk Tuan Guru Bajang itu sebagai tiko. Padahal Tuan Guru Bajang yang juga gubernur NTB itu seorang yang dihormati di Indonesia.
Bay de wey, kata “Tiko” ini telah menjadi mutan yang menjelma dengan ragam wajah dan aroma bagi banyak orang.
Tiko ini searti dengan jelata dan gembel. Bagi umumnya orang, pelabelan gembel atau jelata, tidak menyenangkan. Tapi tidak bagi kaum revolusioner?
Bagi para penanti datangnya revolusi, brojolnya kata tiko adalah anugerah. Tiko tidak sekedar kata hinaan. Pada kata ini terungkap pemandangan struktur sosial Indonesia yang timpang.
Kata tiko ini menginjeksikan motivasi pembebasan agar terlepas dari kutukan sebagai tiko. Tiko ini juga melecut para revolusioner agar menghentikan golongan yang merasa kastanya lebih tinggi akibat perbedaan volume kepemilikan terhadap kapital.
Tiko melambangkan suatu golongan tertindas dan tersingkir secara ekonomi berhadapan dengan suatu golongan yang diwakili Steven yang menikmati secara luas berkah perekonomian Indonesia warisan kolonial.
Dua golongan ini hidup dalam demarkase yang dikotomis sekaligus antagonis baik secara kebudayaan maupun secara ruang hidup. Kalaupun ada yang membaur, masih lebih banyak yang memisahkan diri.
Tidak usah diuraikan lagi bagaimana disparitas antara kaum Tiko dan kaum Cino ini terjadi. Tidak perlu disalahkan kebijakan Belanda di masa kolonial. Masalahnya, mengapa disparitas ini tetap dilanggengkan? Tugas kaum revolusionerlah untuk menghentikan pelanggengan disparitas dan ketimpangan antara kaum Tiko dengan kaum Cino ini.
Peristiwa tiko di Singapura ini harus menyadarkan kita agar segera mengubah keadaan struktur ekonomi politik yang berlaku. Mengubahnya menuntut revolusi. Revolusilah yang dapat menghapus tiko dari imajinasi orang-orang semacam Steven.
Revolusi harus dikerjakan sendiri oleh kaum tiko. Karena hanya kaum tiko inilah yang mengerti arti penderitaan dan harapan mereka yang ditindas.
Memulai revolusi kaum Tiko ini tidak sekedar reaksioner. Mengerjakannya harus teratur dan terpandu agar tidak disabotase oleh kaum petualang politik dan penghianat kaum Tiko.
Pengorganisasian kaum tiko secara luas dan berjenjang musti dibangun. Kaum tiko juga harus memiliki saluran media dan suara mereka. Pembangunan kemandirian ekonomi kaum tiko juga amat perlu. Di atas semua itu, kepemimpinan kaum Tiko harus terbentuk dengan baik sehingga komanda perjuangan kaum tiko teratur sedemikian rupa.
Lalu, kapan revolusi kaum tiko pecah?
~John Mortir, untuk kaum tertindas