Nusantarakini.com, Jakarta –
Cermatlah memantau rentetan peristiwa! Kemana arahnya.
Kami akan ketengahkan tonggak-tonggak peristiwa yang bagi amatan kami ditujukan mematangkan ke arah situasi meledaknya konflik yang kejam dan massal. Konflik tersebut akan bercampur antara konflik antar Islam dan non Islam, Cina lawan pribumi, pihak yang berkuasa melawan oposisi, antar aparat, dan antar intern Islam sendiri. Dan jangan dilupakan bahwa Amerika Serikat dan China akan terlibat di dalamnya, baik diam-diam maupun terang-terangan.
Tonggok-tonggak pentingnya sebagai berikut. Satu, kemunculan profil Ahok non pribumi yang dibenci sebagian masyarakat akibat sifatnya yang kasar dan ambisius. Ingat, masyarakat pada umumnya tidak nyaman dengan profil tokoh ambisius dan kasar.
Dalam waktu setahun saja, figur Ahok telah berhasil terkonstruksi sedemikian rupa sebagai ikon musuh sebagian besar masyarakat, persis seperti Soeharto menjelang kejatuhannya.
Baik pers yang pro Ahok maupun yang anti Ahok, dua-duanya menyumbang peranan untuk membentuk citra Ahok sebagai ikon musuh rakyat termarginalkan. Ikon semacam ini, secara sosiologis berfungsi memusatkan perhatian rakyat umum.
Dua, demo-demo besar yang mengandung pesan anti penguasa yang telah berlangsung sejak 2016-2017.
Tiga, pertarungan pilkada DKI yang betul-betul keras dan eskalatif. Betapa tidak, pada pilkada ini, pihak PDIP mengerahkan kekuatan-kekuatan pejabat daerah untuk menyokong pendanaan, massa, dan tenaga organisatoris untuk memenangkan Ahok. Di seberang lain, pihak PKS juga mengerahkan kader-kadernya di Banten dan Jawa Barat untuk mengawal pemenangan Anies. Jelas secara langsung hal ini mengeskalasi pertarungan politik.
Empat, penangkapan-penangkapan para penggerak umat yang disebut ulama seperti Al-Khattat. Termasuk dalam hal ini kriminalisasi pentolan-pentolan penggerak, seperti Habib Rizieq dan Bachtiar Nasir yang kasusnya masih digantung.
Lima, membiarkan aktor-aktor pendukung Ahok untuk leluasa berbuat zalim, seperti Iwan Bopeng, Ketua GMBI yang anggotanya ditengarai telah mematahkan tangan pengikut Habib Rizieq. Yang terakhir, membiarkan berkeliarannya peneror penyidik KPK, Novel Baswedan.
Enam, memberikan kesan yang kuat bahwa polisi pro Ahok dan aparat pada umumnya dapat diatur oleh pihak yang berkuasa sehingga menimbulkan opini bahwa aparat memihak Ahok dan tidak netral.
Tujuh, isu reklamasi yang mengandung pesan menguatnya ketimpangan dan dominasi Cina.
Delapan, sisa-sisa luka, kekecewaan dan kebencian rakyat atas penggusuran yang mereka alami di berbagai tempat sebelum masa Pilkada masih belum pulih.
Sembilan, polarisasi terhadap umat Islam yang dilakukan secara sistematis oleh penguasa makin kental. Berdirinya Mesjid Hasyim Asyari di Daan Mogot yang dibiayai Pemda DKI, menyampaikan pesan secara terbuka, bahwa pemerintah Jokowi hanya menginginkan Islam versi lunak yang menguntungkan politik Islam rezim. Ini adalah praktik politik belah bambu yang vulgar dan kasar.
Sepuluh, peristiwa pencederaan Novel Baswedan yang memiliki resonansi serangan balik para koruptor e-KTP yang selama ini ditengarai pentolan-pentolannya adalah pendukung Ahok.
Sebelas, peristiwa penghinaan Steven terhadap Tuan Guru Bajang. Peristiwa ini seolah membaptis bahwa pribumi versus non pribumi terkandung konflik dan kebencian laten.
Dua belas, peristiwa pembakaran mobil di depan jamaah Habib Rizieq yang meneror peserta tabligh akbar, termasuk Habib Rizieq Syihab. Terbitlah kesan ada usaha untuk mencederai umat dan Habib. Provokasinya jelas, supaya umat terpancing membalas dengan modus pembakaran.
Semua hal di atas, lebih dari cukup untuk meletuskan kerusuhan. Masalahnya, jika kerusuhan meletus, dapatkah umat Islam melawan, jika skenarionya adalah sebagai berikut:
Satu, kerusuhan dalam skala masih terkendali oleh aparat, memberi legitimasi Jokoei untuk mengumumkan SOB atau keadaan darurat. Lalu demi mengamankan situasi ketertiban, dia menyapu setiap nama-nama yang dianggap penentangnya dan dijebloskan secara massal di penjara-penjara kepolisian di seluruh Indonesia. Dengan demikian, dia telah menghabisi lawan-lawan politiknya.
Dua, Jokoei menutup setiap media dan akun yang dipandang menjadi penghalang operasi sapu bersih lawan politiknya.
Tiga, secara cepat dia memaksimalkan struktur kekuasaan nasionalnya.
Empat, dia menerapkan teknik Orde Baru mengamankan kekuasaannya. Azas Tunggal dipaksakan. Partai politik dipaksa bubar yang bagi anti Jokoei dan yang melunak dipaksa fusi.
Dengan cerdik dia memfait accompli tuntutan kembali kepada UUD 45 Asli dengan mengumumkan kembali kepada UUD 45. Jokoei memberlakukan sistem UUD 45 pra Amandemen dengan sistem musyawarah-mufakat-perwakilan. Tetapi, perwakilan golongan dan kelompok, dia tunjuk sendiri untuk mengokohkan struktur kekuasaannya. Maka para oposan penuntut kembali ke UUD 45 Asli dengan sendirinya mati kutu.
Teknik fait accompli ini beberapa kali sudah diterapkan Jokowi, misalnya menyambut Raja Arab dengan mengesankan sehingga yang anti Jokowi dan berharap kepada Raja Arab mati langlah.
Lima, rakyat dipisah dari para pemimpin informalnya dengan membanjiri rakyat dengan jaminan makanan, pakaian dan dana pendidikan. Akibatnya, rakyat sepenuhnya berada dalam kendali Jokowi. Rakyat kenyang, oposisi terhadap pemerintah lenyap, suasana tenang.
Pertanyaan sekali lagi, sudahkah umat Islam punya langkah antisipasi, jika skenario semacam ini terjadi besok?
Makanya sejak sekarang, satu, selalu siaga dan waspada serta bersabar menghindari pancingan.
Dua, persiapkan kekuatan fisik masing-masing pribadi.
Tiga, selalu mengorganisasi diri dan jangan seperti domba yang lepas dari kulanan.
Empat, siapkan dana darurat untuk bertahan hidup dan menyelamatkan diri dan keluarga.
Lima, pastikan tempat mengungsi yang aman.
Enam, jika tanda-tanda kerusuhan meletus makin nyata, ungsikan keluarga dan orang-orang yang lemah ke desa-desa. Pemuda-pemuda kuat dan pemberani organisasikan untuk menjaga kota.
Tujuh, bangun jaringan komando, agar langkah-langkah dan aksi teratur dan terarah.
~ John Mortir