Nusantarakini.com, Jakarta –
Agak mengaggetkan juga ketika Kapolda Metro Jaya menyurati lembaga yudikatif dalam hal ini Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara agar memunda sidang pembacaan tuntutan terhadap kasus Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok yang didakwa terlibat kasus penodaan agama Islam.
Alasannya pun seperti dibuat-buat untuk menjaga suasana keamanan Jakarta tetap kondusif jelang pemungutan suara Pilkada DKI.
Pada hal hari “H” pemungutan suara masih satu minggu lagi yaitu tanggal 19 April 2017. Jadi polisi masih punya waktu untuk mengawal, merencanakan dan mengendalikan situasi keamanan Jakarta kalau betul-betul memang ada indikasi kuat yang mengancam keamanan dan ketertiban Pilkada DKI Jakarta.
Sependek ingatan saya baru kali ini lembaga kepolisian secara resmi menyurati lembaga yudikatif agar mengambil langkah yang tidak lazim dalam proses pelaksanaan persidangan yang dilakulan oleh lembaga yudikatif.
Dalam teori pemisahan kekuasaan atau teori trias politica, masing-masing cabang kekuasaan negara memiliki tugas dan fungsi masing-masing yang tidak dapat saling mencampuri.
Polisi dalam ranah kerjanya berada dalam ranah eksekutif termasuk juga lembaga kejaksaan. Jadi kedua lembaga ini berfungsi untuk melakukan checkd and ballances terhadap cabang kekuasaan negara lainnya yaitu yudikatif dan legislatif. Dalam prinsip negara hukum pemisahan cabang-cabang kekuasaan negara ini sekali lagi dimaksudkan agar kekuasaan tidak terkonsentrasi hanya pada salah satu cabang kekuasaan negara saja. Sebab jika kekuasaan negara hanya terkonsentrasi pada eksekutif atau pada yudikatif atau pada legislatif saja, maka jalannya kehidupan bernegara tidak lagi bersifat demokratis akan tetapi bersifat otoriter. Dan ini sangat berbahaya bagi Indonesia sebagai negara yang menganut paham negara hukum. Atau sebagai negara yang menganut paham demokrasi konstitusional.
Oleh sebab itu harus dijaga betul, sekecil apapun bibit-bibit intervensi antarcabang kekuasaan negara ini untuk saling mereduksi cabang kekuasaan negara lainnya. Hal ini sangat berbahaya bagi eksistensi negara hukum.
Dalam kasus persidangan Ahok sangat jelas terkesan adanya dagelan persidangan yang menyebabkan adanya ketidakpastian hukum. Hal ini tergambar dengan Penuntut Umum yang tidak siap membacakan tuntutannya dalam persidangan dengan alasan banyak materi tuntutan yang belum sepaham dan bahkan dengan alasan yang terkesan tidak masuk diakal karena belum selesai pengetikan.
Lucu dan menggelikan jika Penuntut Umum sampai kekurangan tukang ketik untuk merampungkan tuntutan yang akan dibacakan. Alasan semacam ini di masa yang akan datang seharusnya tidak boleh lagi terjadi, demi menjaga wibawa persidangan dan lembaga peradilan. [rm]
*Aspianor Sahbas, Direktur Indonesia Monitoring Political Economic Law and Culture for Humanity