Freeport, Cukup Sekian

Nusantarakini.com, Jakarta – 

Saya tak menyalahkan Presiden Soeharto, Presiden RI ke-2. Pak Harto tentu memiliki pertimbangan matang ketika memberi lampu hijau masuknya Freeport ke Papua. Kita tahu, di awal Orde Baru, Indonesia membutuhkan dukungan politik Amerika. Kita juga perlu simbol masuknya investasi asing. Dan banyak pertimbangan lainnya — termasuk persoalan geopolitik yang kompleks.

Tapi itu masa lalu. Indonesia, juga Papua, terus bergerak. Jaman telah berubah. Kini kita dihadapkan pada persoalan yang berbeda. Bagi kita Freeport tak lagi menguntungkan, malah menjadi beban. Terutama soal keadilan ekonomi. Tak banyak benefit yang kita peroleh, dibanding dengan yang kita berikan pada Freeport.

Tahun 2013 silam saya berkesempatan berkunjung ke Freeport. Saya, bersama team dari Kantor Staf Khusus Presiden, menelisik operasi Freeport dari dekat. Kami ke Puncak Grasberg, juga masuk ke perut gunung emas itu. Saya mengambil kesimpulan bahwa anak-anak Indonesia mampu mengoperasikan tambang emas terbesar di dunia itu. Hasil kunjungan kerja kami buatkan laporan kepada Presiden SBY.

Kini muncul wacana Freeport akan melakukan divestasi 51% sahamnya kepada pemerintah. Saya tak tahu berapa besar uang yang diminta Freeport atas jumlah saham itu. Sempat Freeport menyebut angka US$ 1,7 miliar untuk saham sebanyak 10,6%. Itu artinya nilai yang diminta untuk 51% sekitar US$ 8 miliar [lebih dari Rp100 triliun]. Memang itu baru kalkulasi sepihak saja, Pemeruntah bisa punya hitungan berbeda. Belum lagi komplikasi hukum menjelang tahun 2021 jika Freeport divestasi ke Pemerintah, ataupun pasar modal.

Tapi, persoalannya bukanlah berapa besar nilai yang harus kita bayar untuk mendapatkan saham Freeport itu. Simpel saja. Kontrak karya Freeport akan berakhir pada 2021 mendatang. Setelah itu secara legal lahan tambang Freeport kembali menjadi milik Indonesia sepenuhnya. Jadi untuk mendapatkan tambang Freeport kita tak perlu keluar duit. Cukup dengan tak memperpanjang kontrak karya, atau apapun istilahnya. Bahkan kalau kita konsisten dengan UU Minerba, seharusnya sekarang Freeport tak boleh mengekspor konsentrat. Sebab mereka tak mau membangun smelter sesuai amanah UU.

Kita tinggal bilang ke Freeport:
Burung Irian, Burung Cendrawasih
Cukup Sekian, dan Terima Kasih.

“Sumber FB Setiyardi/ Foto: Saya berkunjung ke Freeport, Papua, pada 2013. [mc]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *