Nusantarakini.com, Jakarta –
Manusia secara universal membutuhkan hidup dengan jiwa yang suci dan fisik yang bersih. Gharizah ini meliputi setiap manusia di belahan dunia mana pun.
Adanya gagasan tentang dosa merupakan bukti adanya gagasan tentang jiwa yang suci. Dosa adalah perbuatan yang dianggap kotor. Zina salah satu perbuatan yang dianggap kotor. Karena kotor, maka timbullah kebutuhan untuk pembersihan dan penyucian diri.
Orang-orang Nusantara akrab dengan gagasan penyucian diri, jauh sebelum datangnya agama Islam. Tetapi ketika Islam datang lengkap dengan ajaran pembersihan dan penyuciannya, maka ajaran ini memberi daya tarik tersendiri bagi orang-orang Nusantara.
Islam secara unik menggabungkan ajaran penyucian fisik dengan penyucian jiwa. Penyucian fisik terkandung dalam ajaran mandi wajib dan sunnah, dan khususnya wudlu yang orang-orang Nusantara menerjemahkannya dengan istilah mengambil air sembahyang.
Menarik sekali formulasi Islam dalam soal ajaran penyucian diri ini. Misalnya, tatkala seseorang hendak mengerjakan sholat atau Sembah Yang, wajib hukumnya berwudlu atau mengambil air sembahyang dahulu. Sehingga antara sholat dan wudlu dihukum sepaket. Tanpa wudlu, sholat tidak sah.
Wudlu sendiri mesti dengan air. Jila tidak ada air, tersedia alternatif penyucian diri dengan tayammum, yaitu penggunaan debu pada bagian-bagian anggota tubuh yang diperuntukkan untuk wudlu.
Jenis-jenis air yang dapat sah digunakan untuk wudlu pun sangat ketat. Air yang sudah terpakai untuk wudlu (musta’mal), tidak sah digunakan. Air yang volumenya tidak sampai dua qullah, itu juga tidah sah sebagai syarat mendirikan shalat. Dan jika dirinci mengenai ajaran yang dikenal dengan fikh thaharah ini, akan memakan pembahasan yang panjang.
Selain wudlu, ajaran bersuci berikutnya yang menarik bagi orang-orang Nusantara yang akrab dengan air, yaitu mandi (ghusl). Seseorang yang keluar mani, baik karena hubungan kelamin atau mimpi maupun masturbasi, dia tidak bisa begitu saja mengerjakan ibadah seperti sholat dan puasa. Dia harus mandi wajib dulu yang membasahi secara penuh sekujur tubuh dan rambut tanpa tersisa pori-pori yang tidak basah oleh mandi itu.
Kegiatan mandi wajib ini diatur sedemikian rupa mulai dari niat hingga pembasahan seluruh tubuh dan rambut. Tentu diawali dengan pembersihan kemaluan dan bagian-bagian tubuh yang ternodai oleh air mani. Uniknya lagi, kendati keluarnya mani menyebabkan wajibnya mandi junub atau mandi besar, namun air mani ini tidak dipandang sebagai najis seperti halnya air kencing. Perlakuan terhadap air kencing berbeda dengan air mani.
Perbedaan ini akan membawa kita pada pembahasan klasifikasi najis dan hadats. Keluarnya air mani dipandang sebagai hadats besar. Sedangkan kencing, justru hadats kecil. Hadats besar menimbulkan kewajiban untuk mandi wajib supaya sah melaksanakan sholat dan puasa. Sedangkan kencing sebagai hadats kecil tidak perlu mandi wajib dan dapat melaksanakan puasa atau sholat, tentu setelah membersihkan kencing itu dari bagian-bagian tubuh yang terkena airnya.
Ajaran Islam yang lengkap ini yang terkait langsung dengan peranan air yang besar, menimbulkan kesan menarik bagi orang-orang Nusantara. Ajaran yang kaya dan unik ini, tidak terdapat pada agama semacam Hindu, Budha, Konghucu maupun Kristen.
Itu baru ajaran penyucian fisik. Sedangkan ajaran penyucian jiwa termasuklah di dalamnya puasa, haji dan zakat. Zakat sendiri berasal dari kata zaka yang artinya suci. Tazakka yang terdapat dalam Surah Abasa, bermakna menyucikan diri. Mereka yang berzakat dihukum sebagai orang yang menyucikan hartanya.
Unik bukan? Menyucikan harta dengan tindakan bersedekah kepada golongan manusia yang ditentukan sendiri oleh Tuhan, bukan seperti praktik kuno yaitu sesajen atau memberikan harta dan makanan kepada suatu kekuatan ghaib dengan membiarkannya terhidang secara terlantar begitu saja.
Gagasan sesajen mengandung asumsi bahwa sajian material yang diberikan manusia akan dinikmati dan diambil oleh Yang Ghaib kendati sesajen itu akan membusuk bersama waktu.
Zakat menggantikan ajaran sesajen yang kuno. Termasuk dalam lingkup khusus, yaitu ibadah qurban, juga berperan menggantikan praktik religius lama itu.
Demikianlah ajaran Tazkiyah yang dikandung oleh ajaran Islam menarik simpati orang-orang nusantara.
Apakah hal ini menjadi salah satu cepatnya migrasi keyakinan dan agama orang-orang Nusantara di masa lalu kepada Islam?
Syahrul Efendi Dasopang, Penulis