Nusantarakini.com, Jakarta –
Dalam rangka menghormati pikiran Sri Bintang Pamungkas yang kini meringkuk dalam tahanan rezim yang paling pro Cina sepanjang Republik ini berdiri, kita akan terbitkan kembali tulisan-tulisan kritisnya terkait isu Cina yang panas belakangan ini.
Dalam pengantar bukunya “Ganti Rezim Ganti Sistem”, Sri Bintang Pamungkas menulis, tidaklah berlebihan, apabila saya menyatakan kecewa atas apa yang terjadi di Indonesia pasca Soeharto. Tidak hanya saya, tetapi banyak orang; bahkan rakyat seluruh Indonesia.
Kalau melihat garis kemiskinan yang ditetapkan Bank Dunia sejak 3-4 tahun ini, yaitu sebagai pendapatan seorang sehari sebesar 2 USD, atau sekitar 20 ribu Rupiah, di bawah itu ada separuh jumlah penduduk Indonesia yang 250 juta; maka kekecewaan saya itu sangat beralasan. Dan tentunya seratus juta lebih rakyat Indonesia yang miskin itu pasti mendukung kekecewaan saya itu, dan kekecewaan banyak orang yang lain.
Dan lalu ada penelitian yang menghasilkan kenyataan kontradiktif, bahwa ada 50 orang warga negara Indonesia yang kekayaannya pada tahun 2013 ini mencapai 95 milyar USD. Hampir 100 persen dari mereka adalah dari Etnis Cina Indonesia (ECI), yang memeroleh kekayaannya itu secara tidak bersih dan jujur; selain mereka memang piawai untuk berbuat seperti itu, juga didukung oleh para pejabat Negara. Angka itu bertambah dari tahun sebelumnya ke tahun berikutnya.
Dibanding penelitianku tahun 1993 menggunakan data 1992, yaitu ketika masih berada di bawah Rezim Soeharto, jumlah orang miskin di Indonesia mencapai 120 juta dengan garis kemiskinan 1000 Rupiah pengeluaran seorang sehari.
Jadi sesudah bertahun-tahun keadaan rakyat Indonesia yang Pribumi tidak berubah. Jelas bukan Indonesia seperti itu yang menjadi cita-citaSoekarno-Hatta tatkala mereka berjuang melawan penjajahan dan kemudian berhasil memproklamirkan kemerdekaan 17 Agustus 1945.
Ketika saya merasakan ikut serta menjatuhkan Rezim Soeharto, maka saya merasa menyesal bahwa kejatuhan Soeharto tidak membawa Indonesia menjadi lebih baik. Tentu saya, dan kawan-kawan kaum pergerakan lain, tidak menyesali kejatuhan Soeharto; kami menyesal telah membiarkan rezim-rezim berikutnya melakukan lesalahan-kesalahan yang sama sehingga rakyat, bangsa dan Negara tidak menjadi lebih baik, melainkan semakin menderita dibuatnya.
Terlebih-lebih menyesal, ketika kami mencoba berkali-kali menjatuhkan rezim-rezim jahat itu, mereka terasa terlalu kuat bagi kami. Sekalipun begitu, kami tidak akan berhenti untuk mencobanya lagi; seperti ketika kami berusaha berkali-kali juga mencobanya terhadap Soeharto selama 30 tahun lalu. Lalu berhasil. Soekarno-Hatta pun mencobanya berkali-kali; dan sesudah duapuluh tahunan kemudian, lalu berhasil merdeka dari para penjajah.
Keberhasilan menjatuhkan rezim jahat itu tergantung pula pada momen dan momentum. Soekarno-Hatta tidak akan berhasil kalau saja Belanda tidak ditaklukkan oleh Jepang; dan Jepang kalah oleh Sekutu.
Masih belum pula Indonesia akan bisa diproklamirkan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, seandainya Bung Karno dan Bung Hatta tidak diculik dibawa ke Rengas Dengklok, Bekasi Barat, oleh para pemuda berdarah revolusioner anak buah sjahrir. Kalau mereka tidak diculik, maka amat sangat mungkin Indonesia mengalami penjajahan oleh Sekutu Belanda, Inggris dan Amerika Serikat.
Demikian pula Soeharto tidak mungkin akan berhasil menyingkirkan Soekarno tanpa Peristiwa ’65, dan terbunuhnya tujuh jenderal. Sengaja atau tidak, Gerakan Letkol Untunglah, sebenarnya yang telah “menyelamatkan” rakyat Indonesia dari cengkeraman komunis PKI pada waktu itu. Tentulah kesadaran rakyat sendiri untuk mengakhiri penjajahan menjadi faktor penentu yang tidak bisa diingkari.
Republik Indonesia, beserta rakyatnya sekarang ini sedang menghadapi krisis politik yang pelik, berbahaya dan mernakutkan seperti menjelang terjadinya Peristiwa ’65. Kita tidak tahu persis apa jadinya, seandainya Letkol Untung dan kawan-kawannya tidak bergerak; dan lalu PKI, menang dalam sebuah Pemilu. Bayangannya, Indonesia pastilah akan menjadi Negara Komunis seperti di RRC atau Rusia.
Dan tentulah itu sebuah era penjajahan baru, khususnya terhadap kaum Agama, oleh bangsa sendiri; lebih khusus terhadap Islam, sebagai Agama yang dipeluk oleh mayoritas bangsa Indonesia dan, bahkan, yang terbesar di dunia. Sulit dibayangkan terjadinya jaman kehidupan yang samasekali tidak nyaman apabila kaum komunis menguasai Indonesia, apalagi melihat kekejaman mereka membaca kembali Peristiwa Madiun Affair 1948.
Sekarang ini, perasaan kekhawatiran dan miris-miris seperti pada menjelang 1965 itu terulang lagi. Bukan oleh bahaya penjajahan komunis, tetapi oleh berlanjutnya Rezim Penjajah dari bangsa sendiri sebagaimana terjadi sejak Orde Barumuncul yang semakin lama semakin menyiksa rakyat.
Lalu ditambah dengan Rezim Asing yang terus-menerus mengincar dan menguasai kekayaan alam Indonesia hingga nyaris ludes seperti sekarang; dan Rezim ECI, yang dari hari ke hari semakin menguasai aspek sosial-ekonomi Indonesia, seperti terlihat dari dominasi mereka yang sudah dimulai sejaklama dan sekarang merambah ke aspek politik.
Itulah Tiga Gurita Raksasa yang sedang melilitdan mencengkeram Republik Indonesia saat ini; yang apabila tidak ada peristiwa yang mencegahnya, maka pada 2014 ini, juga melalui Pemilu, Indonesia dan rakyat Indonesia, ahli waris Nusantara ini, akan terjajah kembali.
Sebut sajalah Gurita Raksasa pertama itu dengan Rezim; lalu dua Gurita Raksasa yang terakhir itu saya menyebutnya masing-masing dengan istilah “Asing dan A Seng”.
Mereka sudah sejak lama ada dan memperlihatkan diri, paling tidak seumur Orde Baru. Akibat dari Rezim bangsa sendiri pulalah, maka Asing dan A Seng itu bisa menancapkan tentakel-nya lebih kuat dan semakin kuat dari hari ke hari mencengkeram Republik Indonesia. Dengan dukungan Rezim bangsa sendiri itulah, mereka akan menjajah Pribumi Nusantara ini seperti pernah terjadi di Afrika Selatan.
Berikut ini adalah beberapa fakta kejadian. Dari khotbah Jumatnya Kyai Cholil Ridwan minggu lalu, beliau bercerita ketika memasuki sebuah hotel di Kalimantan Tengah, mestinya Palangkaraya, sesudah mendarat di Bandara Cilik Riwut. Beliau disambut oleh para karyawan hotel yang kesemuanya memakai pakaian “seragam Natal”.
Beliau merasa sangsi kalau semua karyawan hotel merayakan Natal, karena itu disapanya salahsatu darimereka dan menanyakan apa agamanya. Kyai Cholil Ridwan mendapat jawaban, bahwa mereka umumnya beragama Islam. Lalu dari si Karyawan, Kyai Cholil mendapat jawaban, bahwa semua karyawan diwajibkan mengenakan “seragam Natal” itu, dan kalau tidak akan dipecat.
Tentulah kami berpikir, bahwa agama Nasrani adalah agama bangsa para penjajah; dan hanya karena toleransi kami, maka mereka bisa hidup di Nusantara dengan damai. Karena itu pula kejadian di Palangkaraya itu adalah sesuatu yang mengagetkan, karena ini merupakan pelanggaran yang serius terhadap ketentuan Konstitusi.
Bahkan dalam hatiku, ketika mendengarkan khotbah itu, ini adalah sebuah penjajahan! Luar biasa! Kami, orang-orang Pribumi dijajah oleh para Pendatang! Agama Islam yang kami anut, dipaksa oleh si Pendatang, dengan ancaman, untuk diabaikan. Ini baru satu pemilik hotel.
Bagaimana kalau perekonomian Indonesia dikuasai mereka; dan bahkan sudah dikuasai mereka. Tinggal mereka belum membuat komando saja untuk mulai menjajah.
Posisiku sebagai orang Islam tidak beda dari orang-orang Islam pada umumnya di seluruh dunia. Kami diajar mengakui keberadaan para Nabi dan Rasul, dari Adam sampai Muhammad. Kami menghormati agama-agama mereka; tidak ada keinginan mau mengislamkan mereka sekiranya bukan atas kemauan mereka sendiri dan karena dibukakan hatinya oleh Allah SWT.
Karena sudahlah jelas: “Agamamu adalah Agamamu; dan Agamaku adalah Agamaku! Kamu tidak akan mengikuti Agamaku dan Aku tidak mungkin pula mengikuti Agamamu!” Oleh sebab itu, jangan memaksakan Agamamu menjadi Agamaku!
Tetapi saya pernah bertemu dengan seorang intelektual Indonesia yang mengaku memperoleh doktornya, seperti saya juga, dari Amerika Serikat; bahkan sempat bersahabat sampai beberapa tahun. Tidak jelas agamanya; tetapi ketika dia mulai mencerca Islam, mungkin maksudnya orang Islam, aku mengatakan kepadanya untuk tidak mungkin berada pada satu meja dengannya.
Secara sinis aku mengatakan kepadanya, bahwa buku-buku ilmu pengetahuan yang tebal-tebal itu sudah dilalapnya; masak mencari Tuhan saja harus berpuluh-puluh tahun dan tidak sanggup… Tiba-tiba saja saya berpikir dia tidak akan lama hidup; dan benar itu terjadi, dan bahkan saya tahu itu setelah lewat beberapa hari. Saya bertanya-tanya bagaimana dia mempertanggungjawabkan dirinya selama di dunia?!
Bagi kami jelas! Sejarah dunia membuktikan keberadaan Muhammad dan Firman Allah yang dibawanya; sama seperti kejadian pada Ibrahim, Musa dan Isa. Tetapi tidak seperti pendahulunya, Firman Allah yang dibawa Muhammad sudah lengkap, bahkan sempurna; karena Muhammad adalah yang terakhir.
Tentang Mirza Gulam Ahmad dengan Ahmadiyahnya tentu adalah sebuah kebohongan yang sengaja dibesar-besarkan oleh penjajah Inggris. Boleh-boleh saja Ahmadiyah menjadi sebuah kepercayaan, tetapi jangan mengaku-ngaku itu Islam dengan Nabinya yang Gulam Ahmad dan Kitabnya yang bukan al Quran; pastilah itu bermaksud merusak Islam.
Dan itu sebuah penghinaan. Dan kalau mau hidup dengan damai berdampingan dengan Islam, jangan sekali-kali menghina atau mencerca, ayat-ayatnya dan Rasulnya. Dan jangan pula sekali-kali mau mencoba mengkristenkan orang Islam, seperti yang dilakukan pemilik hotel di Palangkaraya itu. Sebab, itu bisa membuat marah; dan bisa menyulut perang.
Ini fakta lain lagi yang terjadi dalam Kerusuhan Mei 1998, menyangkut keluarga aktivis dan teman yang pernah cukup dekat, Christianto Wibisono. Dalam kerusuhan itu, konon, anak perempuannya ikut digagahi. Wajarlah apabila Chris marah dan menderita; tetapi dia tidak terbuka.
Peristiwa Kerusuhan Mei 1998 itu pun tidak pernah dibuka dan lalu diselesaikan secara terbuka pula; hanya sebab para pelakunya adalah TNI. Sama seperti Peristiwa ’65 dan yang lain-lain.
Tetapi dendam Chris itu membuatnya memaklumkan “perang” terhadap Pribumi Indonesia. Bahkan lebih dari itu menjadi “perang sosial-politik” memperebutkan hegemoni atas sebuah bangsa, atas sebuah Tanah-Air, dan Ibu Pertiwi yang bernama Nusantara.
Maka bersatulah dia dengan para Konglomerat dan Politisi Hitam Indonesia untuk menjadikan pasangan Jokowi (bin Oey Hong Liong) dan A Hok menjadi Gubernur dan Wakil Gunbernur DKI-Jakarta. Mereka memang dicari, dipilih lalu dipersiapkan; bahkan untuk memimpin Negara Republik Indonesia.
Antara lain, karena Jokowi yang di-plot untuk menjadi RI-1 punya shio yang sama-sama kerbau dengan Bung Karno dan SBY. Mungkin dengan cara itu Chris merasa dendamnya dan dendam kawan-kawannya yang lain dari ECI akan terobati, selesai dan berakhir?!
Kenapa Christianto begitu dendamnya?! Coba pikirkan, seandainya pengalaman buruknya itu juga menimpa diri saya, misalnya: Apakah saya akan mendendam seperti Chris?! Tentu tidak!! Saya akan taat hukum; saya akan buka itu perkara!! Kenapa tidak?! Karena jiwaku Nusantara!!Kenapa Chris tidak berbuat seperti saya?! Karena jiwa Chris tetap Cina!! Di situ bedanya!!
Sesudah masuk menjadi warga negara Indonesia, dengan cara yang tidak berdasar hukum yang kuat, bahkan mungkin beberapa generasi, bangsa Cinanya masih melekat. Dia tidak mau mencari penyelesaian hukum. Dia takut kalah atau dikalahkan karena dia masih merasa menjadi Cina. Artinya, dia masih mengaku bukan bangsa Indonesia…
Memang sulit mencari tahu cara berpikir Chris dan kawan-kawannya sesama ECI itu. Mungkin Chris dan kawan-kawannya mengkhayal menjadi seperti orang-orang “bule-bule” Eropa yang bermigrasi ke Amerika Serikat lalu menggusur orang-orang Indian; atau penjahat-penjahat Inggris yang dibuang ke Australia itu lalu juga menggusur para Aborigin?!
Boleh saja para pendatang itu mengaku dendam karena menjadi korban pembantaian para Indian; tetapi dunia juga mengakui para pendatang itu mencaplok tanah-tanah para Indian dan Aborigin itu dengan cara-cara kejam dan tidak manusiawi juga; bahkan membantainya juga…. Apa kiranya Chris juga mempunyai pikiran gelap semacam itu??
Tentu itu keliru, Chris!! Kami bangsa Nusantara: Nusa-Anta-Tara. Artinya para “jagoan yang hidup di ribuan pulau”; tidak bisa disamakan dengan para Indian dan Aborigin itu. Pada saat Amerika Serikat mulai membantai para Indian itu, orang-orang Nusantara telah menguasai laut hingga pantai Timur Afrika hingga Barat Australi.
Dan kami pernah mengusir tentara Tar-tar Kubilai Khan hingga tidak berani melewati lautan Nusantara; dan memilih membangun jalan sutera yang lamanya tiga kali lipat untuk mencapai Eropa.
Dan jangan pula berpikir untuk menguasai Nusantara seperti di jaman kaum Hotentot menguasai Afrika Selatan. Jangan berpikir untuk menjadi Peter Botha dan de Klerk, karena itu akan memunculkan Mandela-Mandela di antara para Pribumidan yang akan melakukan perlawanan habis-habisan.
Jangan berpikir untuk mempertahankan diri sebagai bangsa Cina yang diberi kedudukan lebih tinggi daripada Pribumi seperti di jaman Belanda di Tanah Nusantara. Jangan pula meniru Fujimori yang lari kembali ke negeri asalnya.
Tapi, berpikirlah untuk menjadi orang Indonesia yang sederhana dan bersahaja; mencermati ‘Sejarah Kemerdekaan Indonesia’, serta mentaati Konstitusi Indonesia, serta hidup berdampingan dan bergandengan tangan secara damai bersama para Pribumi Indonesia.
Tapi jangan berpikir itu akan segera tercapai! Amerika Serikat membutuhkan waktu lebih dari 240 tahun sebelum memberi kesempatan kepada Barack Obama!!Itu pun tanpa ada dominasi Hitam di atas Putih…!
Jangan pula bermimpi seperti orang-orang Hotentot yang pendatang dan berhasil puluhan tahun menguasai Afrika Selatan itu, laluChris dan kawan-kawannya berpikir pula untuk menguasai Nusantara. Tentu Pribumi Nusantara tidak bisa diperlakukan sama seperti yang terjadi pada Mandela. Sebab, pada akhirnya, de Klerk dan kawan-kawannya bertekuk lutut pula; dan mereka menjadi orang-orang yang terusir.
Saya tidak tahu, sekiranya kawan-kawan saya, bahkan sahabat-sahabat saya, dari sejak di ITB,sekiranya bertemu muka;sampai beberapa hari lalu kami masih saling berucap Selamat Tahun Baru lewat SMS. Apakah mereka menjadi lain?! Hian Hok, Hok Djien, Kian On; dan Tiong Le yang konon sudah menjadi warga negara Amerika Serikat.
Pada tahun 1964 itu kami sama-sama, bahkan antre berturutan, bersama Agus Suhud, Susatio Bambang Irawan, Suhaimi Amin almarhum dan Rizal Irwan yang juga sudah almarhum; kami bersahabat sejak itu.
Setelah lulus, kami masih bersahabat, menjadi orang-orang profesional dan intelektual, yang sepanjang penilaian saya, tidak ada di antara kawan-kawan Cina saya itu yang kementus (sombong), apalagi punya jiwa adikuasa seperti Om Liem,Tommy Winata, atau Samsul Nursalim dan lain-lain.
Tentu saya berharap mereka masih seperti dulu, saling hormat menghormati, dan menjadi warganegara yang baik. Aku memang sengaja melupakan dan pura-pura tidak tahu, ketika salahsatu dari mereka sengaja menyisipkan booklet dan leaflet gereja ke dalam majalah-majalah yang mereka kirimkan ke penjara.
Tentu tidak seperti kawan ITB-ku yang lain, Tiong Gie, yang tiap bulan rajin menghabiskan ratusan juta Rupiah untuk nyogok orang-orang bea-cukai dan orang-orang dari BIN agar bisnis EMKL-nya sukses dan sekeluarga menjadi kaya.
Saya sejauh itu menghargai mereka; dan juga para mahasiswaku dari keturunan Cina yang minta saya menjadi pembimbing skripsi dan tesisnya. Saya pun pernah pacaran dengan beberapa amoy ketika masih mahasiswa. Saya masih ingat Pik Ai, keponakan Liong Gwan, asisten Gambar Teknik saya di Mesin ITB. Saya juga pernah kasmaran dengan Tiong Bi, anak Surabaya, yang masuk ITB dua tahun lebih muda.
Itu semua terpaksa tidak bisa terjadi sekarang. Tentulah mereka yang tidak ikut-ikutan tidak perlu diikutkan dalam “perang” ini. Banyak orang keturunan Cina lain yang masih menjadi sahabat-sahabat saya seperti sahabat-sahabat saya ITB itu. Tetapi bagaimana nasib mereka kalau dendamnya Chris ini menjadi “perang terbuka”? Saya pikir mereka harus secara serius ikut bersama kami mencegahnya!
Mencegahnya?! Masih adakah waktu tersisa untuk kami mencegahnya, ketika Chris, aktivis yang pernah bermimpi berdialog imajiner dengan Bung Karno, sudah mendendam perasaan sedemikian rupa sehingga mau merebut Nusantara, apa pun yang terjadi?! Itu baru seorang Chris yang menjadi politisi Partai Demokrat.
Dan Hari Tanoesudibyo yang menjadi Capres-nya Partai Hanura?! Bagaimana dengan 50 orang konglomerat terkaya Indonesia di atas?! Dan ribuan calon konglomerat kecil lainnya, seperti Edwin Soeryadjaja dan DatokThahir; atau Simon Tanjaya dan Elisabeth Liman yang sedang belajar menyuap?!Serta dengan dukungan jaringan Nasrani dan Gereja Kharismatiknya, bahkan gerakan gerakan Budha Tzu Chi untuk menjerat Islam Indonesia?!
Lalu apa hubungannya dengan Buku ini. Pada awalnya, adalah kawan akrab saya, Cokro Wibowo Sumarsono, yang memberitahu tentang adanya Candi Kidal yang berada di dekat kota Malang, 20 kilometer dari sana, yang padanya ada relief Garudeya; yang dalam bahasa sekarang disebut Garuda.Relief Garuda mana aku jadikan cover depan buku ini.
Dari keterangan Mas Wibowo itu aku mendapatkan tiga gambar relief Garudeya. Yang pertama, justru yang terpenting, menunjukkan keadaan relief yang kecil dan sudah agak rusak: Seekor Burung Garuda yang sedang bertarung dengan tiga ekor ular, yang menurut Mas Wibowo, adalah Ular Naga.
Relief ke dua menunjukkan gambaran Burung Garuda yang menengok ke arah kanan sedang menyunggi di atas kepalanya sebuah Kendi, tempat air atau Tirta; gambar relief ini kelihatannya masih bagus dan utuh. Sedang relief yang ke tiga, sudah ada bagian yang hilang, memperlihatkan gambar Burung Garuda, juga menengok ke arah kanan, sedang menyunggi di atas kepalanya, seorang Putri atau Ibu.
Konon, diambil dari Buku Negarakretagama, yang bercerita tentang negara-negara pada jaman sebelum jaman Majapahit dan tentang Majapahit di Jawa Timur, ada cerita yang melatarbelakangi munculnya ke tiga relief di Candi Kidal tersebut. Candi Kidal itu dibangun oleh Raja Kertanegara dari Singhasari (1222-1292), atau Singosari, untuk dipersembahkan sebagai makam bagi Ayahandanya Anusapati.
Syahdan, menurut Negarakretagama, adalah dua orang perempuan,yang satu kemudian melahirkan tiga ekor Ular Naga; dan yang lain seekor Burung Garuda. Atas siasat Ibunya, tiga Ular Naga itu menjahati si Burung Garuda dengan menyandera Sang Ibu Burung Garuda dan menjadikannya budak.
Dalam rangka membebaskan Sang Ibu dari perbudakan, Burung Garuda meminta tolong Sang Hyang Wisnu dari Kahyangan; yang kemudian memberinya senjata Tirta Suci Amarta yang berasal dari Lautan Susu di dalam sebuah Kendi. Dalam pergulatannya, Sang Garuda berhasil membebaskan Ibunya dari perbudakan para Ular Naga dan membawa Sang Ibu kembali pulang.
Mas Cokro Wibowo Sumarsono, seorang Sejarawan asal Kota Malang, dan Wawan Setiawan, seorang Budayawan asal Solo, memunyai cerita yang berbeda. Dan aku setuju dengan pendapat mereka.
Cerita tentang Garuda itu sesungguhnya menunjukkan visi Kertanegara, raja Kerajaan Singhasari itu, tentang Nusantara di kemudian hari; tidak beda dari visi seorang Samuel Huntington yang memprediksi akan terjadinya clash of civilization antara Barat dan Islam.
Setelah berpuluh-puluh kali melihat sejarah serangan oleh tentara Kerajaan Cina dari Utara yang bermaksud menguasai kerajaan-kerajaan di Nusantara, khususnya di wilayah Jawa Timur sekarang, dan juga Singosari, termasuk dikirimnya Meng Ci kepadanya agar Singosari tunduk kepada Kerajaan Cina, Kertanegara kemudian menyadari maksud jahat orang-orang berkulit Kuning dan bermata sipit dari Utara ini untuk menguasai Nusantara.
Dengan Candi Kidal dan relief-nya itu, Raja Kertanegara memberi wasiat, agar rakyat Nusantara selalu waspadadan berhati-hati terhadap para perusuh dari Utara ini; karena jiwa mereka adalah jiwa penjajah.
Menurut hemat kami, tiga Ular Naga itu adalah simbol para penjajah yang sekarang-sekarang ini sedang membelit Republik Indonesia ini, yaitu Rezim yang selalu menjahati rakyatnya sendiri; lalu Asing yang selalu mencoba menguasai kekayaan alam Indonesia, dan A Seng, orang-orang ECI, Cina Perantauan, yang dari hari ke hari menguasai perekonomian Indonesia dan rakyat Indonesia.
Air Suci Tirta Amerta yang berasal dari lautan itu tentulah simbol persatuan Indonesia di mana lautan Nusantara ini adalah pemersatu ribuan pulau denganpara pendudukPribumi asli di dalamnya.
Persatuan di antara para penduduk asli Pribumi Nusantara inilah yang akan menjadi senjata dalam memenangi penjajahan di muka Bumi Nusantara ini.Sedang Ibu atau Puteri adalah simbol dari Ibu Pertiwi, Tanah-Air dan Tumpah Darah Nusantara.
Semangat memerdekakan bangsa Nusantara dari segala bentuk penjajahan oleh para penjajah, baik Rezim kekuasaan dari dalam negeri, maupun pendatang-pendatang asing, yang ingin mengusai Republik ini. (sdr)