Nusantarakini.com, Jakarta-
Rehat Sejenak dari Politik:
‘Kelar Hidup Lu’
Oleh: Tere Liye
Kenal dengan foto ini? Tidak kenal juga tidak apa. Saya juga tidak kenal. Terpisah jauh jarak dan waktu kita dengan beliau. Nama beliau adalah Syaikh Muhammad Nawawi al-Jawi al-Bantani. Lahir di Serang tahun 1813 M, saat Belanda masih menjajah Indonesia. Otaknya dikenal encer sejak 5 tahun, usia 15 dia sudah naik haji, dan berguru dengan ulama-ulama mahsyur Arab. Kalau generasi sekarang, 15 masih SMP, beliau sudah jauh sekali merantau mencari pulang.
Pulang ke Banten, dia menjadi ulama yang gagah berani melawan penjajahan Belanda. Repot sekali penjajah, karena jaman itu persis Pangeran Diponegoro juga sedang perang di tanah Jawa. Mencegah front besar terbuka, Belanda harus membatasi gerak-gerik Al Bantani, ceramahnya dilarang, semua dilarang, diawasi. Jangan sampai Al Bantani jadi Dipenogoro berikutnya. Tahun 1830, di tahun yg sama ketika Pangeran Diponegoro dijebak Belanda dengan cara licik, melihat situasi, Al Bantani memutuskan kembali ke Mekah.
Apakah dia lari dari melawan penjajahan? TIDAK. Dia justru memulai episode baru melawan hal tersebut. Dia memutuskan menetap di Mekah, mengajar di sana, menggelorakan semangat kemederkaan kepada cendekia, muslim Indonesia yang naik haji. Jaman itu sudah banyak penduduk Nusantara ya g pergi menunaikan haji, naik kapal. Wah, wah, itu lebih serius lagi. Menanamkan pemahaman terbaik, semangat kemerdekaan, ke generasi berikutnya, itu sungguh berbahaya. Belanda mengutus Snouck Hourgronje, mematai-matai Al Bantani di Mekah. Si mana-mana yang justeru terpesona melihat akhlak Al Bantani. Dalam beberapa catatan, Snouck memuji Al Bantani.
Nama Al Bantani mahsyur di Arab, dia bahkan diangkat jadi Imam Masjidil Haram. Reputasinya hingga Mesir, dan negara-negara tetangga. Orang-orang tahu, ada ulama Indonesia yang tinggal Mekah, dan dia sedang melawan penjajah Belanda. Bukan beliau yang melawan penjajah secara langsung, tapi saksikanlah murid-muridnya. Ngeri melihat daftarnya, karena K.H. Hasyim Asyari (Pendiri Nahdhatul Ulama), K.H. Ahmad Dahlan (Pendiri Muhammadiyah), adalah salah-dua dari murid-murid yang sempat belajar kepada Al Bantani. Menurut cerita (tapi ini perlu divalidasi), K.H. Hasyim Asyari saat mengajar santri-santrinya di Pesantren Tebu Ireng menangis jika membaca kitab fiqih Fath al-Qarîb yang dikarang oleh Syaikh Nawawi. Kenangan terhadap gurunya itu amat mendalam di hati K.H. Hasyim Asyari hingga haru tak kuasa ditahannya setiap kali baris Fath al-Qarib ia ajarkan pada santri-santrinya.
Selain Al Bantani, juga ada Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, ulama Indonesia yang menjadi non-arab pertama imam masjidil haram. Juga tak terbilang jasa beliau mendidik Tokoh-tokoh pejuang kemerdekaan di tanah Mekah. Murid-muridnya juga banyak.
Kenanglah Al Bantani (nama ini artinya ‘dari Banten), ulama besar yang menulis setidaknya 115 buku, meninggal di tanah Arab tahun, 1897. Makam beliau bersebelahan dengan makam anak perempuan dari Sayyidina Abu Bakar Ash-Shiddiq, Asma΄ binti Abû Bakar al-Siddîq. Tidak terhitung murid-muridnya kemudian, menjadi pejuang kemerdekaan, hidup mati melawan penjajah Belanda. Besar sekali arti Ulama-ulama di tanah Mekah bagi kemerdekaan Indonesia. Kagak ada mereka, (meminjam istilah anak muda kekinian) kelar hidup lu. Mungkin kita semua masih jadi jongos penjajah.
Kalau ada yang lebih tahu atas sejarah Al Bantani, harap diperbaiki, seharusnya bukan saya yang menulis hal ini, karena saya ini lebih cocok menulis novel fantasi, jurus menghilang, teknik mengeluarkan petir, dll. Tapi entahlah, saya tidak tahu lagi siapa yang seharusnya menceritakan hal ini ke kalian. Adik-adik sekalian, ada benang merah yang telah terputus dalam sejarah bangsa ini. Mulailah dipelajari kembali.
Sumber FB Tere Liye. (mc)