Nusantarakini.com, Jakarta – Alkisah ada seorang sahabat Nabi bernama Sya’ban RA. Ia adalah seorang sahabat yang tidak menonjol dibandingkan sahabat-sahabat yang lain.
Ada suatu kebiasaan unik dari beliau yaitu setiap masuk masjid sebelum sholat berjamaah dimulai dia selalu beritikaf di pojok depan masjid.
Dia mengambil posisi di pojok bukan karena supaya mudah bersandaran atau tidur, namun karena tidak mau mengganggu orang lain dan tak mau terganggu oleh orang lain dalam beribadah.
Kebiasaan ini sudah dipahami oleh sahabat bahkan oleh Rasulullah SAW, bahwa Sya’ban RA selalu berada di posisi tersebut termasuk saat sholat berjamaah.
Suatu pagi saat sholat subuh berjamaah akan dimulai RasululLah SAW mendapati bahwa Sya’ban RA tidak berada di posisinya seperti biasa. Nabi pun bertanya kepada jemaah yang hadir apakah ada yang melihat Sya’ban RA.
Namun tak seorangpun jamaah yang melihat Sya’ban RA. Sholat subuhpun ditunda sejenak untuk menunggu kehadiran Sya’ban RA. Namun yang ditunggu belum juga datang. Khawatir sholat subuh kesiangan, Nabi memutuskan untuk segera melaksanakan sholat subuh berjamaah.
Selesai sholat subuh, Nabi bertanya apa ada yg mengetahui kabar dari Sya’ban RA.
Namun tak ada seorangpun yang menjawab.
Nabi bertanya lagi apa ada yang mengetahui di mana rumah Sya’ban RA.
Kali ini seorang sahabat mengangkat tangan dan mengatakan bahwa dia mengetahui persis di mana rumah Sya’ban RA.
Nabi yang khawatir terjadi sesuatu dengan Sya’ban RA meminta diantarkan ke rumahnya.
Perjalanan dengan jalan kaki cukup lama ditempuh oleh Nabi dan rombongan sebelum sampai ke rumah yang dimaksud.
Rombongan Nabi sampai ke sana saat waktu afdol untuk sholat dhuha (kira-kira 3 jam perjalanan).
Sampai di depan rumah tersebut Nabi mengucapkan salam.
Dan keluarlah seorang wanita sambil membalas salam tersebut.
“Benarkah ini rumah Sya’ban?” Nabi bertanya.
“Ya benar, saya istrinya” jawab wanita tersebut.
“Bolehkah kami menemui Sya’ban, yang tadi tidak hadir saat sholat subuh di masjid?”
Dengan berlinangan air mata istri Sya’ban RA menjawab, “Beliau telah meninggal tadi pagi…”
InnaliLahi wainna ilaihirojiun… Maa sya Allah, satu-satunya penyebab dia tidak sholat subuh berjamaah adalah karena ajal sudah menjemputnya.
Beberapa saat kemudian istri Sya’ban bertanya kepada Rasul
“Ya Rasul ada sesuatu yang jadi tanda tanya bagi kami semua, yaitu menjelang kematiannya dia berteriak tiga kali dengan masing-masing teriakan disertai satu kalimat.
Kami semua tidak paham apa maksudnya.”
“Apa saja kalimat yang diucapkannya?” tanya Rasul.
Di masing-masing teriakannya dia berucap kalimat, “Aduuuh kenapa tidak lebih jauh……”
“ Aduuuh kenapa tidak yang baru…….”
“Aduuuh kenapa tidak semua……”
Nabi pun melantukan ayat yang terdapat dalam surat Qaaf (50) ayat 22 :
“Sesungguhnya kamu berada dalam keadaan lalai dari (hal) ini, maka Kami singkapkan dari padamu hijab (yang menutupi) matamu, maka penglihatanmu pada hari itu amat tajam.”
Saat Sya’ban dalam keadaan sakratul maut, perjalanan hidupnya ditayangkan ulang oleh Allah.
Bukan cuma itu, semua ganjaran dari perbuatannya diperlihatkan oleh Allah.
Apa yang dilihat oleh Sya’ban (dan orang yang sakratul maut) tidak bisa disaksikan oleh yang lain.
Dalam pandangannya yang tajam itu Sya’ban melihat suatu adegan di mana kesehariannya dia pergi pulang ke masjid untuk sholat berjamaah lima waktu.
Perjalanan sekitar 3 jam jalan kaki sudah tentu bukanlah jarak yang dekat.
Dalam tayangan itu pula Sya’ban RA diperlihatkan pahala yang diperolehnya dari langkah-langkahnya ke Masjid.
Dia melihat seperti apa bentuk surga ganjarannya.
Saat melihat itu dia berucap, “Aduuuh kenapa tidak lebih jauh……”
Timbul penyesalan dalam diri Sya’ban , mengapa rumahnya tidak lebih jauh lagi supaya pahala yang didapatkan lebih banyak dan sorga yang didapatkan lebih indah.
Dalam penggalan berikutnya Sya’ban melihat saat ia akan berangkat sholat berjamaah di musim dingin.
Saat ia membuka pintu berhembuslah angin dingin yang menusuk tulang.
Dia masuk kembali ke rumahnya dan mengambil satu baju lagi untuk dipakainya. Jadi dia memakai dua buah baju.
Sya’ban sengaja memakai pakaian yang bagus (baru) di dalam dan yang jelek (butut) di luar.
Pikirnya jika kena debu, sudah tentu yang kena hanyalah baju yang luar. Sampai di masjid dia bisa membuka baju luar dan solat dengan baju yang lebih bagus.
Dalam perjalanan ke masjid dia menemukan seseorang yang terbaring kedinginan dalam kondisi mengenaskan.
Sya’ban pun iba, lalu segera membuka baju yang paling luar dan dipakaikan kepada orang tersebut dan memapahnya untuk bersama-sama ke masjid melakukan sholat berjamaah.
Orang itupun terselamatkan dari mati kedinginan dan bahkan sempat melakukan sholat berjamaah.
Sya’ban pun kemudian melihat indahnya sorga yg sebagai balasan memakaikan baju bututnya kepada orang tersebut.
Kemudian dia berteriak lagi, “Aduuuh kenapa tidak yang baru…“
Timbul lagi penyesalan di benak Sya’ban.
Jika dengan baju butut saja bisa mengantarkannya mendapat pahala yang begitu besar, sudah tentu ia akan mendapat yang lebih besar lagi seandainya ia memakaikan baju yang baru.
Berikutnya Sya’ban melihat lagi suatu adegan saat dia hendak sarapan dengan roti yang dimakan dengan cara mencelupkan dulu ke segelas susu.
Ketika baru saja hendak memulai sarapan, muncullah pengemis di depan pintu yang meminta diberi sedikit roti karena sudah lebih tiga hari perutnya tidak diisi makanan.
Melihat hal tersebut. Sya’ban merasa iba. Ia kemudian membagi dua roti itu sama besar, demikian pula segelas susu itu pun dibagi dua.
Kemudian mereka makan bersama dua roti itu yang sebelumnya dicelupkan susu, dengan porsi yang sama.
Allah kemudian memperlihatkan ganjaran dari perbuatan Sya’ban RA dengan surga yang indah.
Demi melihat itu diapun berteriak lagi, “Aduuuh kenapa tidak semua……”
Sya’ban kembali menyesal.
Seandainya dia memberikan semua roti itu kepada pengemis tersebut tentulah dia akan mendapat surga yang lebih indah. (sft)