Nusantarakini.com, Bogor – Ketika Jenderal Pol Budi Gunawan naik memangku bos komunitas intelijen di lingkungan nasional, terjadi tiga peristiwa yang sarat makna intelijen.
Pertama, disebutkan bahwa Jokowi menerima informasi yang keliru terkait jumlah massa pada aksi 4 November 2016. Disebutkan, bahwa intelijen melaporkan bahwa jumlah massa tak lebih dari ratusan ribu orang. Akibatnya, pemerintah meremehkan aksi yang akan terjadi saat itu. Kenyataannya yang datang pada hari 4 November 2016 tersebut lebih kurang dua juta orang.
Bisa dibayangkan betapa jatuhnya mutu inteligen di mata Presiden sebagai user. Untung saja saat itu tidak langsung terjadi revolusi yang melumat pemerintahan.
Kedua, mobilisasi GMBI untuk mengkontra massa umat Islam yang mendukung Habib Rizieq. Mobilisasi tersebut dengan jelas sekali merupakan suatu order yang bersifat intelijen. Sasaran mobilisasi tersebut adalah untuk menghidupkan semangat yang berani melawan tekanan umat Islam dengan massa yang beragam berbasis etnik dan tradisi lama.
Lagi-lagi sasaran tersebut gagal diraih. Bukannya mendapat simpati, malahan sebaliknya. Hingga hari ini, metode aksi massa semacam itu gagal mencapai tujuannya. Malahan membangkitkan luasnya dukungan massa terhadap umat Islam.
Terbilanglah munculnya tokoh Jawara Damin Sada yang berdiri mendukung umat Islam. Demikian juga organisasi pemuda seperti PP dan FKPPI yang makin mengental bersekutu dengan umat Islam. Hal ini lagi-lagi membuktikan gagalnya operasi intelijen.
Ketiga, skandal penyelundupan senjata dari Darfur, Sudan Selatan. Penyelundupan ini amat sulit untuk tidak diketahui oleh intelijen dengan bobot kasus sebesar itu. Uniknya, penyelundupan itu melibatkan penyelidikan terhadap anggota polisi Indonesia di sana.
Masih terlalu dini adanya spekulasi bahwa senjata itu dimanfaatkan untuk kepentingan intelijen maupun untuk kepentingan manipulasi kknflik yang makin mengental di Indonesia hari ini.
Gagalnya penyelundupan itu dan diikuti oleh aksi bungkam intelijen Indonesia, lagi-lagi mengindikasikan tidak efektifnya intelijen Indonesia di bawah kepemimpinan yang baru yang kebetulan di bawah seorang jenderal polisi.
Apakah hal ini ada aksi sabot pada sesama komunitas intelijen, para penelitilah yang harus membuktikan. Bahwa secara tradisional, intelijen sebenarnya “konsesi” tentara sebagaimana selama ini. Tentu tidak mudah bagi sipil seperti polisi mengontrol sektor yang banyak bermain di bawah permukaan tersebut.
Cuma saja harapannya, kendatipun ada indikasi saling sabot antar komunitas intelijen dalam mengamankan dan mempermainkan kekuasaan, umat Islam jangan sampai jadi korban permainan dan tempat pertarungan intelijen tersebut. Inilah yang harus disadari para pemimpin umat yang panas hari ini. (sdf)