Nusantarakini.com, Jakarta – Tulisan ini bukan bermaksud negatif, tetapi sebaliknya untuk menggugah perenungan bagi pribumi yang sekarang ini, gejala politik berbasis etnik makin menghangat, maka tulisan ini dapat menjadi gizi.
Suatu ketika di abad ke-19, setelah Prancis di Eropa dapat ditaklukkan oleh Pasukan Inggris, maka diperlukan untuk mengambilalih wilayah-wilayah jajagan Prancis di berbagai tempat, termasuk di Indonesia. Sebab waktu itu, setelah Belanda ditaklukkan oleh Napoleon Bonaparte, dia pun mengirim Deandles untuk mengambilalih Indonesia dari tangan Belanda. Sungguh memprihatinkan, Nusantara yang waktu itu juga disebut Jawa, berpindah-pindah tangan tanpa mengetahui apa yang terjadi sebenarnya di Eropa.
Ketika Inggris masuk ke Palembang, dengan pasukan angkatan laut yang lengkap, mereka dengan mudah menaklukkan kesultanan Palembang, padahal jumlah pasukannya jauh lebih banyak. Apa pasal?
Sebab persatuan di dalam penduduk Palembang tidak berjalan dengan semestinya.
Di Palembang saat itu, etnik Arab dan Cina memiliki konsentrasinya sendiri. Ketika Inggris menyerbu pasukan Sultan, para pedagang Arab tidak ikut membantu mempertahankan kesultanan. Bahkan ada yang menjadi narasumber bagi pihak Inggris dengan kompensasi perlindungan atas kapal-kapal dagang mereka.
Demikian juga orang Cina. Mereka mengamankan harta bendanya ke kapal-kapal tatkala perang terjadi.
Sementara itu, di kalangan keluarga Sultan, juga terjadi keretakan. Akibatnya, Inggris dengan mudah memecah dukungan terhadap Sultan.
Ketika adik Sultan Palembang dinaikan tahta oleh Inggris, dia memberikan Bangka dan Belitung kepada Inggris.
Sejarah ini, penting menjadi cermin, mengapa Nusantara sangat mudah ditaklukkan asing, akibat mutu persatuan yang rendah.
Perbedaan etnik dan agama, senantiasa menjadi celah bagi asing untuk masuk menaklukkan Nusantara. (sed)