Nusantarakini.com, Jakarta – Bang Damin Sada, jawara dari kampung Gabus, Bekasi, jadi berita. Dia menantang “duel” orang-orang GMBI karena merasa tersinggung ulama dihina.
Di masyarakat Betawi, jawara memang siap mati demi ulama. Sebab, jawara dan ulama adalah dua identitas sosial yang lahir dari rahim yang sama, pesantren. Santri yang belajarnya rajin dan mengabdikan dirinya pada penyebaran ilmu Islam, dia menjadi kyai. Santri yang malas belajar, suka kelahi dan berbadan kekar, biasanya diajari ilmu kanuragan, lalu jadilah jawara. Santri yang menjadi kyai mengajarkan ilmu agama turun temurun. Demikian juga para jawara. Dia mengajarkan ilmu kesaktian ke generasi berikutnya dengan sedikit sentuhan agama. Maka, sebandel apapun jawara di Betawi, tetap masih punya “hati”.
Kampung Ujung Malang dan Kampung Gabus adalah dua kampung tradisional yang bertetangga di Bekasi. Tapi identitas kedua kampung itu sangat berbeda. Ujung Malang berkembang menjadi wilayah santri dengan tokoh utamanya, almarhum K.H. Noer Alie, yang telah dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional. Sementara kampung Gabus (dulu –dan mungkin sampai hari ini) adalah wilayah para jawara. Sewaktu saya nyantri di kampung Ujung Malang, kegiatan ekskul Pramuka yang paling kami sukai adalah “pengembaraan”, dan wilayah paling angker adalah Kampung Gabus.
Dulu, untuk bisa masuk Kampung Gabus harus melewati sungai/kali Bekasi dengan menggunakan tambang dan menyeberang seperti tentara. Begitu sampai Kampung Gabus, pemandangan pertama adalah masyarakat yang masih sangat tertinggal. Keangkeran Kampung Gabus ditambahi dengan sebuah rumah tua yang menjadi sarang burung Walet. Entah rumah sarang burung walet itu masih ada atau tidak. Konon, rumah walet itu milik seorang Cina, dan para Jawara-lah yang menjaga keamanan rumah Walet itu.
Kini, kampung Gabus tentu sudah berbeda. Tapi, jawara tetaplah jawara. Meski peran mereka tidak lagi sedominan dulu, nyali-nya tetaplah nyali petarung. Ibarat para “Knight Templar” dalam sejarah kerajaan Inggris, para jawara itu tetap mengasah ilmu kanuragan mereka. Dan, ketika sudah menyatakan siap duel, mereka tak main-main. Masalahnya, haruskah nasib masyarakat akar rumput berakhir dengan saling bersimbah darah sementara para politisi asyik membagi kue hasil jarahan mereka?
*Inayatullah Hasyim , Dosen FH Univ. Juanda Bogor, Mahasiswa S3 Hukum UNS Surakarta.