Nusantarakini.com, Jakarta-
MINORITAS DOMINAN;
Konteks Dunia dan Indonesia
Oleh : W. Caroko*
Minoritas Dominan (Dominant Minority) diartikan sebagai kaum minoritas yang menghegemoni satu kelompok atau Negara. Minoritas dalam konteks ini bisa berdasarkan etnik, agama, negara atau garis kultur. Dominant minority bisa dalam aspek politik saja (politically dominant minorities), aspek ekonomi saja (economically/market dominant minority), aspek kultur (culturally dominant minority) dan atau ketiga-tiganya.
Dominant minority juga disebut sebagai alien elites bila minoritas tersebut pada hakikatnya adalah bukan warga asli/imigran atau meminjam istilah lama disebut dengan non-pribumi. Ini adalah sesuatu yang menarik, padahal dalam demokrasi salah satu prinsipnya adalah “majority rules with minority rights”. Demokrasi idealnya merupakan keinginan mayoritas dengan perlindungan kepada hak-hak minoritas, sementara dalam konteks dominant minority dengan berkaca pada kasus yang sedang/telah terjadi adalah keinginan minoritas dengan pemberian hak-hak tertentu kepada majoritas.
Afrika Selatan semasa periode rezim apartheid (1948-1994) adalah salah satu contoh kasus dominant minority/alien elites -dalam aspek politik, ekonomi dan kultur- yang menarik untuk dikaji. Sekitar 20 persen penduduk berkulit putih –turunan imigran Belanda dan Inggris- menghegemoni majoritas kulit hitam (76% ) yang merupakan penduduk asli dan 4% imigran kulit berwarna lainnya.
Apartheid menggunakan strategi segregasi/pemisahan ras dengan cara yang tegas dan sistemik dalam menjalankan roda pemerintahaannya. Setiap ras dipisahkan dalam wilayah-wilayah tertentu dengan porsi kulit putih menguasai sebagian besar tanah (87%) dengan daerah-daerah yang subur dan kaya akan bahan tambang didalamnya. Pekerja-pekerja kasar tambang berkulit hitam/berwarna diharuskan bekerja jauh terpisah dari keluarganya dengan upah minim. Terjadi jurang yang sangat dalam dari fasilitas publik yang tersedia antara wilayah kulit putih dengan wilayah kulit hitam/warna, semisal kasus jumlah tenaga medis yang 1/400 penduduk untuk wilayah kulit putih dan 1/44.000 di wilayah kulit hitam, belum lagi kelayakan fasilitas transportasi, jalan raya dan lain-lain.
Rezim apartheid sendiri tumbang tahun 1994, namun bukan berarti dominasi kulit putih usai. Kulit putih masih mendominasi sektor ekonomi. Presiden Zuma menyatakan bahwa secara rata-rata pendapatan keluarga kulit hitam pada saat ini hanya seperenam dari pendapatan keluarga kulit putih. Dan secara “gerilia kulit putih” juga masih menguasi pemerintahan (legislatif, eksekutif dan yudikatif) dengan menempatan orang-orang kulit hitam yang pro dengan kepentingan mereka melalui kekuatan ekonomi yang terlanjur mereka kuasai.
Kasus pembantaian warga pendatang kulit hitam dari negara-negara sub-sahara Afrika sekitar oleh polisi afrika Selatan menunjukkan akar apartheid masih cukup kuat di negara ini walaupun telah dilemahkan secara konstitusi. Di mata penduduk Afrika Selatan anggapan imigran kulit hitam/berwarna sebagai asing sementara imigran kulit putih sebagai turis atau expat merupakan kewajaran.
Suriah juga merupakan contoh satu-satunya dominant minority (secara politik, ekonomi dan kultur) yang masih eksis sampai saat ini; yang mana kelompok Alawi/Shiah yang berjumlah sekitar 11% penduduk Suriah menghegemoni 75% muslim sunni yang merupakan kaum mayoritas. Terlepas campur aduknya kepentingan beberapa negara lain di Suriah, perjuangan sunni Suriah untuk menumbangkan dominant minority adalah sesuatu hal yang patut di catat. Catatannya adalah bahwa dominant minority cenderung akan tergantikan oleh dominant majority seiring dengan menguatnya demokrasi secara global yang membawa prinsip “majority rules, minority rights”.
Cerita dominant mirorities memang bisa dibilang masa lalu (dengan menunggu tumbangnya Rezim Ashad di Suriah), selain cerita di Afrika Selatan, tercatat banyak cerita runtuhnya dominant minority baik secara damai maupun melalui perang sipil dahulu. Semisal kasus runtuhnya dominasi kulit putih di Rhodensia (Sekarang Zimbabwe) tahun 1972, dominasi Suku Tutsi (14%) terhadap suku Hutu (85%) di Burundi dan Rwanda, dominasi suku Lango dan Kakwa di Uganda, Dominasi muslim Sunni terhadap Syiah dan Kurdi di Irak dan masih banyak lagi cerita tentang minoritas dominan yang merupakan bagian dari cerita masa lalu. Kisah tersebut sekali lagi menguatkan tesis bahwa dominant minority cenderung tergantikan dengan “majority rules with minority rights” adalah sebuah hukum alam.
Kasus di Indonesia menunjukka fakta bahwa telah terjadi market dominant minority dimana minoritas etnis tertentu menguasai sebagian besar ekonomi Indonesia. Banyak data yang bisa menunjukkan bahwa fakta ini tak terbantahkan.
Konon juga, ada indikasi tentang kisah 9 naga yang notabene alien elites/market dominant minority ternyata juga telah lama masuk (sejak era presiden Suharto) menguasai sektor politik Indonesia melalui kekuatan ekonomi mengasai sektor-sektor strategis di legislatif, dan eksekutif serta yudikatif.
Sekali lagi hal ini indikasi, walaupun pembuktian secara data akan sulit namun indikasinya terasa sekali. Hal yang terjadi di Indonesia saat ini mirip dengan yang terjadi di Afrika Selatan sekarang dimana dominant minority secara formal menguasai ekonomi negara dan menguasai politik secara “gerilia”.
Kasus kekinian, secara terang-terangan munculnya tokoh-tokoh yang notabene dianggap representasi atau proxy dari market dominant minority di sektor politik; baik sebagai ketua parpol, anggota legislatif dan juga eksekutif bisa saja ditafsirkan sebagai market dominant minority yang sedang memperkuat dirinya menjadi politically dominant minority sekaligus di masa depan.
Kalau hal ini bener-benar sedang terjadi di Indonesia maka menjadi antitesis dari premis yang menyatakan dominant minority cenderung tergantikan dengan “majority rules with minority rights”; dengan kata lain melanggar hukum alam.
Bila hal ini benar, akankah proses politik-ekonomi Indonesia menjadi kebalikan dari proses yang terjadi di Afrika Selatan? Afrika selatan dominant minority sedang sedikit melemah secara politik dan ekonomi, sementara di Indonesia justru sedang menguat. (*mc)
*Penulis adalah Pengurus Yayasan Sejahtera Semesta Rakyat (SeTaRa)