Nusantarakini.com, Jakarta –
Jam 12.00 WIB, semua kafilah peserta longmarch rebahan di aula Al-Maksum yang luas dan bersih. Kelihatan siswa-siswa SMK Al-Maksum atas intruksi pimpinannya menyapa kami dengan ramah sambil membagi-bagikan jeruk segar ke setiap peserta satu persatu disisipi senyum ramah membuat bahagia setiap orang yang melihatnya. Hati membayangkan bagaimana indahnya di syurga nanti tatkala penduduk syurga dijamu oleh bidadara dan bidadari syurgawi yang kecantikan dan kegantengannnya tak kan bisa dibayangkan di dunia. Lamunan tiba-tiba buyar tatkala suara pengumuman dari mobil komando. “Semua peserta diharap menuju rumah makan suka hati yang berada di sebrang jalan!” Buru-buru saya bersuara dengan keras, “Wooyyyy!! Itu intruksi siapa?”
Sebab orang yang berbicara di mobil tidak dikenal, juga bukan peserta dari Ciamis. “Ohh saya dapat telepon dari Kyai Maksum kang, begitu jawabnya.”
“Baik kalau begitu.” Saya ambil microphone, “Kepada peserta yang sudah solat dzuhur, silahkan naik penyebrangan untuk menuju sukahati! Karena tempatnya sempit, sebagian silahkan sholat dulu. Jangan lupa jama qoshor!”
Sejam berjalan, Kyai Maksum nelpon, “Kyai ditunggu di sini.”
“Baik kang, saya ke sana,” jawabku.
Di bawah guyuran hujan, kami menyebrangi jalan, naik di tangga jembatan penyebrangan. Lutut terasa mau copot saking pegelnya. Tidak berapa lama, kami sampai di Rumah Makan Sukahati. Peserta longmarch sudah duduk berbaris rapi di halaman Rumah Makan Sukahati. Saya menuju ke beranda depan. Di sana sudah menunggu Kyai Syarip dan adik Zieguz Maliex serta Kyai Maksum. Pas mau duduk, terdengar sirine mobil Patwal pejabat yang datang. Lirikan mata fokus pada yang datang, dan ternyata Gubernur Jawa Barat, Kang Aher, Pangdam III Siliwangi dan Kapolda Jawa Barat turun dari mobil. Peserta sepontan menyambut dengan takbir. Kelihatan Kang Aher tersenyum sambil melambaikan tangan sesekali mengepalkan tangan sambil bertakbir memberi semangat pada rakyatnya. Semakin mendekat pada kami bertiga, Kang Aher salaman plus cipika cipiki.
“Gimana sehat?” tanyanya.
“Alhamdulillah, kang,” jawab saya. Gantian salaman dengan Pangdam dan Kapolda. Panitia yang menyambut di Rumah Makan Sukahati rupanya sudah mendisain acara. Kami kepala kafilah bertiga dibawa ke ruang lobi diikuti puluhan awak media sehingga ruangan yang kira-kira 6×3 meter itu penuh sesak. Di sana sudah tersedia meja panjang dikelilingi sepuluh kursi. Kami bertiga tidak kebagian duduk karena kelihatan banyak orang yang tidak berkepentingan ikut duduk dengan pejabat. Otomatis kami berdiri saja. “Hehee, biasaa udah hangat beritanya,” gumamku.
Acara dialog dibuka, tapi Kang Aher memotong pembicara. “Nanti dulu, mana pimpinan kafilah? Duduk dibsini!” pintanya.
Akhirnya kami bisa duduk dekat Pangdam III Siliwangi. Kyai Syarip berada di sebelah Kapolda. Kyai Maksum dan Kyai Qohar duduk dengan Kang Aher. Dialog dimulai. Kang Aher membuka “Silahkan Kyai Nonop, gimana langkah selanjutnya?”
Dengan lugas saya ceritakan asal muasal kronologi santri Ciamis jalan kaki. Dari mulai ummat Islam merasa diteror psikologi dengan sebutan makar bagi Aksi ABI III, moda transportasi diintimidasi, ulama dipecah belah, dan ujungnya salah satu ormas Islam mengeluarkan fatwa tidak sah sholat jumat di lapangan. Dari situlah kami berijtihad untuk melakukan penetrasi memecah kebuntuan dan keterkungkungan kebebasan ummat untuk menyatakan hak berpendapat di muka umum dengan jalan kaki sebagai bentuk protes sosial pada aparat. Begitu gamblang dan terang benderang saya ngomong. Kelihatan Kang Aher tersenyum bangga dengan kami. hehe.
Sorot mata Pangdam menatap tajam pada saya. Saya balas dengan senyum. Pak Kapolda menyimak dengan serius, namun kentara di hatinya menyimpan sesuatu yang sampai saat ini belum tersibak. Kang Aher memberikan komentar, “Euu, saya sangat mengapresiasi gerakan santri yang dipimpin para Kyai Ciamis jalan kaki dari Ciamis menuju Jakarta dan banyak mendapat sambutan hangat masyarakat dan bisa jadi inspirasi Muslim yang lainnya untuk melakukan hal yang sama. Namun harus realistis. Kalau ini dilanjutkan, menimbang jarak tempuh dan waktu yang tersisa kayanya tidak akan sampai ke Jakarta. Jadi saya ngasih saran, baiknya perjalanan dilanjutkan dengan bus.”
Saya hanya mengangguk tidak sepatah katapun yang terucap. Giliran Pangdam bicara, “Kyai, tentara saja kalau satu hari sudah jalan 46 km, itu harus dihentikan. Karena tidak baik bagi stamina tubuh.”
Saya menimpali, “Berarti kekuatan fisik santri dan Kyai lebih hebat dari tentara.”
Semua yang hadir tertawa. Pangdam menepuk bahu saya. Giliran Kyai Qohar bicara, “Bapak-bapak mungpung semua ada, saya minta Pak Kapolda memberikan statemen jelas dan diumumkan di hadapan wartawan bahwa pelarangan bus dicabut.” Sebelum Kapolda menjawab, Kang Aher memotong pembicaraan. “Begini saja, kita langsung saja ngobrolnya di luar ruangan di hadapan peserta agar tidak terjadi pandangan negatif.”
Akhirnya kita semua pindah keluar. Santri menyambut dengan gemuruh takbiirr. Kita semua duduk di kursi yang telah disediakan di belakang panggung sederhana menghadap ke peserta. Kapolda yang pertama naik podium. Dia berikan statemen bahwa tidak ada lagi larangan bus angkutan di daerah. Giliran saya naik podium. Pekik istaidduu labbaik serempak menjawab, takbiiir, Allohu akbar gemuruh membahana membakar semangat seolah-olah momentum ledakan ghiroh Islam mulai naik suhu dan temperaturnya.
Ucapan terimakasih terucap bagi para pemangku kepentingan Jawa Barat. Namun saya katakan keputusan lanjut atau tidaknya akan diputuskan bersama para Kya yang lain. Karena jujur sejak awal kita jalan kaki sampai Jakarta agar gerakan ini menjadi pemantik semangat dan ghiroh Islam seluruh indonesia.
Takbir menggema berkali-kali. Kang Aher menggantikan naik ke podium. Beliau mengapresiasi santri dan Kyai Ciamis. Beliau katakan, “Sebagai Gubernur, saya bangga dengan kalian. Allohu akbar!” santri menyambut.
Acara beres, kita foto selfi bersama membelakangi peserta sambil bergandengan tangan. Pak Pangdam menepuk pungung saya, “Kyai motivator hebat.”
Saya katakan, “Itu belum apa-apa Pak Pangdam. Kalau saya keluarkan, bisa meledak Indonesia.” Hahhaha, sedikit naik kata-katanya. Ah bisa saja celoteh Pangdam.
Gubernur dan rombongan keluar arena meninggalkan kami. Saya dan Kyai masuk rumah makan. Hidangan tersedia. Kyai Agus Malik mengatur pembagian makan siang. Santri di luar. Hari itu setengah perjuangan telah dimenangkan. Ternyata di dalam ruangan awak media menunggu untuk konfirmasi keputusannya. Namun karena lapar, saya dan kiayi yang lain santap siang dulu dan wartawan sabar menunggu.
Ada lagi tamu spesial kami menunggu dipojok ruangan. Siapakah beliau?
Bersambung… (sed)