Nusantarakini.com, Jakarta-
Data-data hasil survei dari berbagai lembaga yang dipublikasi pada akhir bulan November 2016 ini menunjukan elektabilitas Paslon Agus-Sylvi paling tinggi.
Bila kita lihat dari publikasi lima lembaga survei menunjukkan elektabilitas Agus-Sylvi kini mengalahkan paslon lain. Hasil survei Lembaga Konsultan Politik Indonesia (LKPI) dan Charta Politika yang dirilis di bulan November 2016 menempatkan elektabilitas paslon Agus-Sylvi diurutan teratas, meskipun selisihnya tidak terlalu jauh dengan elektabilitas paslon lain. Sementara lembaga Indikator dan Poltracking menempatkan elektabilitas paslon Agus-Sylvi pada urutan pertama secara lebih meyakinkan.
Padahal elektabilitas paslon Agus-Sylvi pada dua bulan sebelumnya, September 2016, masih lebih rendah dibanding paslon Ahok-Djarot dan Anies-Sandi. Hasil survei LSI yang dirilis pada bulan September 2016 menyebutkan elektabilitas Agus-Sylvi hanya 19,3 persen, masih kalah dibanding Ahok-Djarot 31,4 persen dan Anies-Sandiaga 21,1 persen.
Demikian juga menurut rilis survei dari lembaga Populi Center di bulan September 2016 menempatkan Elektabilitas Agus Harimurti Yudhoyono hanya 12,5 persen. Sedangkan elektabilitas Ahok mencapai 40,8 persen, dan elektabilitas Anies Baswedan 17,3 persen.
Yang menjadi pertanyaan menarik adalah mengapa dalam waktu yang relatif tidak terlalu lama, elektabilitas Agus-Sylvi bisa meningkat pesat dan mampu mengungguli elektabilitas paslon lain?
Untuk menjawab pertanyaan ini dan mengungkap berbagai faktor yang menyebabkan elektabilitas Agus-Sylvi ini, reporter Nusantarakini.com melakukan wawancara dengan Dendi Susianto, Direktur Eksekutif Lembaga Konsultan Politik Indonesia (LKPI) di Jakarta, Jumat 09/12/2016.
Menurut Dendi Susianto, paling tidak ada tiga faktor yang menyebabkan Elektabilitas Paslon Agus-Sylvi meningkat pesat.
Pertama, munculnya sentimen Anti Ahok yang sangat kuat di pemilih Jakarta.
Dalam sebuah kompetisi, sering seorang menjadi pemenang dikarenakan lawan berbuat salah. Ibarat seorang pelari yang sudah berlari paling depan tapi tiba-tiba dia jatuh terantuk batu dan lawan di belakang jadi bisa mendahuluinya. Ilustrasi ini mirip menggambarkan bagaimana elektabilitas Ahok-Djarot bisa disusul oleh Agus-Sylvi. Elektabilitas Paslon Ahok-Djarot jatuh terantuk kasus penistaan agama. Bila Ahok tidak terbelit kasus penistaan agama, mungkin saat ini elektabilitas Ahok-Djarot masih relatif lebih tinggi dari Paslon lain.
Ketidakhati-hatian Ahok dalam berbicara ini telah memunculkan gelombang sentimen anti-Ahok menyebar luas secara cepat. Elektabilitas Ahok yang pada awalnya sangat tinggi menjadi melorot tajam. Pemberitaan negatif di berbagai media dan aksi-aksi masyarakat menentang Ahok terus menggerus elektabilitas Ahok-Djarot.
Disisi lain tidak ada tindakan antisipasi dan komunikasi publik yang efektif yang dilakukan oleh Ahok-Djarot dan tim suksesnya untuk meredam sentimen anti-Ahok. Akibatnya, masyarakat Jakarta, khususnya yang beragama Islam, yang awalnya banyak memilih Ahok beralih netral atau beralih memilih Paslon lain.
Tapi persoalannya, mengapa pemilih Islam Jakarta lebih cenderung memilih Agus-Sylvi dari pada mendukung Anies-Sandi? Sehingga elektabilitas Agus-Sylvi yang meningkat pesat bukan paslon Anies-Sandi?
Hal ini bisa dijawab melalui faktor kedua, yaitu paslon Agus-Sylvi menggarap sendirian segmen pemilih muslim kelas bawah.
Kecermatan dan kecepatan Paslon Agus-Sylvi dan tim menangkap peluang memang patut diacungi jempol. Pasalnya, pada awal-awal masuk gelanggang Pilkada sesungguhnya Paslon Agus-Sylvi juga belum punya target segmen pemilih yang jelas yang akan digarap. Pada awalnya Paslon ini malah banyak menggarap pemilih pemula dan ibu rumah tangga. Ini mungkin dilandasi oleh analisis bahwa sosok Agus yang masih muda dan punya wajah ganteng lebih bisa diterima di segmen ini. Hal ini nampak dari beberapa kegiatan awal sosialisasi nya, paslon Agus lebih banyak menyasar segmen ini. Misalnya, kegiatan konser musik dan mengunjungi majelis taklim ibu-ibu.
Namun begitu merebak sentimen anti-Ahok, paslon Agus-Sylvi dengan cepat memanfaatkan peluang ini. Pada saat pemilih Muslim pendukung Ahok kehilangan figur ideal calon gubernur, paslon Agus-Sylvi dengan cepat mempersonifikasikan dirinya sebagai figur pemimpin Muslim yang dekat dan berpihak kepada pemilih Muslim. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya kegiatan sosialisasi Agus dengan menemui tokoh dan kelompok Muslim. Penampilan Sylvi yang sebelumnya sering lepas hijab, kini selalu menggunakan hijab saat tampil di publik.
Hal ini yang kurang dilakukan oleh paslon Anies-Sandi. Segmen Muslim kelas bawah ini digarap sendirian oleh Agus-Sylvi. Hal ini yang kemudian memunculkan persepsi positif di pemilih Muslim bahwa antitesa dari Ahok-Djarot adalah Agus-Sylvi bukan Anies-Sandi.
Selain dua faktor diatas, paslon Agus-Sandi memperkuat dengan melakukan “serangan darat” yg masif dan efektif.
Beberapa pihak mengatakan elektabilitas paslon Agus-Sylvi meningkat pesat karena didukung oleh sumber dana yang besar. Bila faktor dana menjadi faktor utama meningkatnya paslon, mengapa paslon Ahok-Djarot yang juga disokong oleh sumber dana yang besar, elektabilitasnya malah cenderung turun? Jadi bukan faktor sumber dana semata. Dalam Pilkada, sumber dana memang penting tapi bukan segalanya.
Paslon Agus-Sylvi menggunakan sumber dananya untuk melakukan sosialisasi yang masif dan efektif. Paslon Agus-Sylvi dan tim lebih banyak melakukan gerakan senyap masuk ke lorong-lorong sempit. Mereka lebih banyak fokus membangun jaringan pemilih hingga ke level RT/RW dari pada bersuara nyaring di media massa. Mereka lebih suka menghabiskan waktunya untuk berkunjung ke kantong-kantong suara dari pada mengobrol tidak jelas di acara Mata Najwa, Metro TV.
Paslon Agus-Sylvi juga membekali “serangan darat” dengan amunisi janji politik yang konkrit dan bisa ditangkap secara lugas oleh pemilih di tingkat bawah. Salah satu program kampanye Agus-Sylvi yang cukup efektif adalah program dana pembangunan satu milyar rupiah per tahun untuk setiap RW. Mungkin karena program ini cukup efektif, beberapa pihak membully program ini sebagai katagori money politik.
Pilkada masih kurang lebih dua bulan lagi. Apakah elektabilitas Agus-Sylvi ini akan terus meningkat, stagnan atau malah menurun? Mampukah Ahok-Djarot melakukan rebound? Kita simak saja perkembangan selanjutnya. (*mc)