Tausiah

Baca!!! Aku Malu Karena Hatiku Tertutup Hidayah atas Aksi 212

Nusantarakini.com, Jakarta –

Di Minggu siang yang mendung ini, aku demikian galau. Sungguh aku malu. Di usiaku yang sudah tidak muda ini, hatiku telah terkunci selama ini.

Siapa tak kenal aku.

Aku adalah lelaki tua yang selama ini dikagumi banyak orang. Followerku di Medos jumlahnya ratusan ribu bahkan jutaan.

Ucapan-ucapanku yang bijak penuh hikmah dan nasehat selalu ditunggu para pengikutku. Aku adalah penuntun umat.

Dengan bahasa bijak pula aku sering menyindir bahwa mereka itu sungguh tidak bermoral.

Apa yang mereka katakan sebagai gelar sajadah di Monas, hanyalah kepura-puraan belaka.

Kau juga pasti hafal. Bahasaku yang filosofis dan bersastra senantiasa menyihir para pengikutku.

Diantara yang aktual adalah pesanku yang bisa diartikan oleh para pengikutku untuk tidak ikut-ikutan mereka yang akan bergerak ke Monas.

Apa yang terjadi setelah Jum’at kemarin, semua hanya membuatku malu. Sungguh hatiku telah terkunci oleh keelokan bahasa santunku sendiri.

Ya.. Allaah yang Maha Ghofuur. Ampunilah aku.

Siapa juga yang tak kenal aku.

Aku adalah pemegang otoritas bagi umat ini. Semua juga tahu, betapa tinggi ilmuku. Sudah berapa banyak kitab kuning kukaji selama ini.

Betapa sedih dan mendidihnya hatiku, ternyata umatku sendiri tidak taat. Tidak mengikuti anjuranku. Untuk tidak ikut-ikutan kegiatan yang kukatakan hanya mengganggu lalu lintas jalan. Itu hanyalah kepentingan politik berkedok ibadah karena agama. Itu hanya akan mendatangkan madhorot. Begitulah titahku.

Namun, hatiku tak bisa berbohong. Mereka yang sering saya katakan orang-orang bodoh dan tidak paham agama, malah menasihatiku dengan bergelombang berbondong-bondong mendatangi Monas. Mereka telah mengajariku untuk kembali membaca halaman-halaman Qur’an dan kitab kuning yang terlewat.

Hatiku semakin terkoyak ketika mereka berdoa sambil menangis. Ketika mereka minta dengan tengadah ke langit meminta cuaca teduh, dan langitpun lantas tunduk. Dan ketika mereka berdoa agar turun hujan, tak lama hujan pun turun. Dan ketika orang yang selama ini kucibir memimpin doa qunut panjang serak-serak menghiba kepada penguasa langit itu, hatiku makin terkesiap.

Wahai Dzat yang Maha Membolak-balik hati, ampunilah hamba-Mu ini. Wahai umatku, maafkanlah aku.

Kau juga pasti kenal siapa aku.

Akulah sebagaimana ditulis media dan dinobatkan televisi sebagai intelektual dan cendikiawan. Pengetahuanku luas. Ilmuku banyak.

Juga jangan kau tanya lagi pengetahuan agama Islamku. Bahasa Arabku sempurna. Telah berapa rak buku kitab kuning kubaca. Akulah ahlinya ilmu kalam, fiqih dan tafsir.

Sekali aku buat tweet, pastilah media-media mengutip, memberitakan ucapan serta pikiranku yang maju.

Sebagaimana sering kau baca statusku di Media Sosial, kau akan tahu pikiranku yang selalu mengatakan mereka-mereka yang teriak-teriak di jalanan sebagai manusia pandir, tidak berilmu, manusia liar tidak beradab dan serentetan penilaian negatif lainnya.

Bagiku aksi-aksi itu hanyalah kedok semata. Mereka itu harus dihilangkan dari muka bumi ini. Kebodohan mereka telah aku dan karena itu harus diamputasi.

Melihat lautan putih Jumat itu, hatiku masih saja membatu. Aku berpikir keras dengan otakku, mereka tetaplah kaum barbar. Demikianlah hatiku yang telah membatu.

Diantara semua ilmu agama yang kukuasai, mulai dari bahasa, ilmu kalam, fqih dan tafsir, ternyata ada satu hal paling dasar yang selama ini dengan sadar aku lewati.

Hujan di tengah sholat Jumat itu, telah menamparku untuk kembali lagi kepada nilai-nilai dasar aqidah dan tauhid. Bukan pada kebanggan ilmu kalam yang tinggi.

Sungguh aku telah malu dengan diriku sendiri. Aku akan mengaji lagi lebih ikhlas lagi.

Kalian juga pasti kenal aku.

Aku adalah orang yang setiap hari kau ikuti melalui akun Twitter, Facebook serta akun-akun Medsos lainnya.

Aku adalah profesional. Teman dan relasiku banyak. Aku adalah apa yang sering dikatakan sebagai kelompok masyarakat kelas menengah.

Tentu saja kau bisa baca status-statusku selama ini. Aku menghujat dengan kalimat-kalimat sok bijak dan intelek. Semua demi orang pilihanku itu.

Kalimat-kalimatku sudah kau hafal. Semisal kalimat tuduhanku yang mengatakan: ” mereka orang yang merasa paling Islam sendiri, hendak mengkapling sorga, kaum onta, anti Pancasila, anti NKRI, anti Bhinneka Tunggal Ika”, dan sebagainya.

Semua status yang tidak sepaham denganku, pasti aku kenal mereka sebagai kelompok tidak terdidik. Tidak intelek seperti diriku. Mereka orang liar dan tidak civilized.

Bacalah, statusku di Jumat pagi 2 Desember 2016. Aku masih nyinyir… walau sebenarnya hatiku mulai ragu. Hari ini pun aku masih nyinyir.

Aku semakin mengingkari kebodohanku di balik status-status keren dan ngetren.

Bila kau baca pagi ini, mohon maaf, statusku telah berubah. Tapi hati kecilku masih belum hilang ganjalan dan kebencianku.

Ya… ternyata selama ini hatiku telah terkunci. Sekali lagi maafkanlah aku.

Kau juga pasti kenal siapa aku.

Aku adalah yang membaca tulisan ini penuh kesal dan dengki. Antipati kepada semua postingan serta tulisan lain yang tidak sepaham denganku.

Maafkanlah diriku. Sungguh aku malu pada diriku. Selama ini hatiku telah membatu.

Sumber : Hajar Aswad

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Terpopuler

To Top