Nusantarakini.com, Jakarta
Jokowi Memancing Makar
Oleh: Ahmad Murtadlo Irama
Sejak dari awal aksi umat Islam tetap konsisten dan tegas pada satu tuntutan: tegakkan keadilan dan hukum untuk orang yg telah menghina ulama dan menistakan Alquran. Itu saja titik, tidak kurang, tidak lebih.
Tapi rezim Jokowi tampaknya pura-pura tidak paham apa yang menjadi tuntutan umat Islam dan selalu mengalihkan persolan. Di mata umat Islam, tindakan rezim Jokowi ini justru malah menambah keyakinan bahwa rezim Jokowi memang melindungi Ahok. Membenarkan rumor yang selama ini berkembang bahwa ada sebuah kepentingan besar dibelakang Ahok yang sedang berusaha dipertahankan dan dilindungi mati-matian oleh rezim Jokowi.
Berikut ini pola isu dan tindakan yang dikembangkan oleh rezim Jokowi untuk meredam aksi umat Islam, sejak mulai dari Aksi Bela Islam I, Aksi Damai II dan Aksi Super Damai III.
Sejak awal umat Islam sudah dengan jelas menyatakan mereka menuntut penegakkan hukum seadil-adilnya terhadap Ahok atas kasus penistaan agama. Namun rezim Jokowi menganggap angin lalu. Tidak ada tindakan apa pun terhadap Ahok. Sebaliknya, mereka justru berusaha meredam tuntutan umat Islam ini dengan mengembangkan wacana tafsir tandingan bahwa Ahok tidak salah. Mereka membentur-benturkan pendapat dan tafsir Surat Al Maidah 51 antar ulama dan memblow-up pendapat-pendapat ulama yang pro Ahok melalui berbagai media pendukungnya seperti media group (Metro TV, Metronews.com) dan grup Kompas.
Semua itu dilakukan dengan tujuan agar umat Islam bisa diredam dan pelan-pelan hilang ditelan waktu. Namun ternyata wacana yang dikembangkan rezim Jokowi tersebut tidak membuat umat Islam melemah. Umat Islam tetap bersatu mengadakan Aksi 14 Oktober 2016 di sepanjang jalan Thamrin.
Melihat aksi umat Islam I yang diikuti ribuan orang tersebut, rezim Jokowi dan pendukungnya masih tetap pura-pura tidak paham masalah. Bukannya mengakomodir tuntutan dan mencari solusi, mereka malah terus mencari berbagai alasan untuk terus meredam aksi umat Islam ini.
Melihat aksi umat Islam yang sudah tidak bisa dibendung dengan wacana tafsir tandingan, rezim Jokowi merubah arah serangan dengan mengembangkan stigma negatif kepada panitia dan peserta aksi dengan tujuan mendelegitimasi aksi umat Islam ini.
Rezim Jokowi dan para pendukung Ahok kompak ramai-ramai mengecilkan aksi umat Islam ini dengan menuduh aksi ini sebagai aksinya Front Pembela Islam (FPI). Langkah selanjutnya, mereka membully habis-habisan FPI sebagai kelompok preman bersorban, suka memeras, suka terima uang centeng dan lain sebagainya.
Intinya rezim Jokowi menggunakan teknik kill the massanger (bunuh si pembawa pesan) agar pesan atau tujuan aksi menjadi sumir, tidak jelas dan tidak bisa dipercaya.
Peserta aksi distigma dengan segerombolan orang yang bodoh, kriminal dan suka merusak (taman dan segala fasilitas umum). Peserta aksi disebut sebagai kelompok masyarakat intoleran, Islam radikal, dan disusupi paham teroris. Dan yang paling tidak masuk akal, mereka menuduh peserta aksi sebagai massa bayaran, dan ditunggangi untuk kepentingan Pilkada.
Pertahanan umat Islam tampaknya sangat kokoh. Mereka tetap bersatu dan konsisten dengan tuntutannya. Dan seolah sudah hafal dengan teknik dan strategi yang biasa dilakukan oleh rezim Jokowi. Berbagai isu dan tuduhan yang dilontarkan rezim Jokowi tampaknya seolah hanya melawan angin, dan semua yang dituduhkan tidak terbukti.
Di sisi lain rezim Jokowi terus membuat berbagai alasan untuk tidak menindak Ahok. Dan batas waktu yang diberikan umat Islam kepada Jokowi untuk menegakkan hukum sudah habis, ini semakin mengobarkan semangat dan mental umat Islam untuk menggelar aksi kedua pada 4 November 2016.
Rezim Jokowi tampaknya mulai tidak bisa menutup mata dengan aksi umat Islam II ini. Sebab peserta Aksi umat Islam II malah semakin besar dan mendapat dukungan yang meluas. Peserta aksi kali ini diperkirakan mencapai satu juta orang. Mereka menyadari teknik pengembangan isu yang mereka gunakan selama ini telah gagal membendung aksi umat Islam.
Kini mereka menerapkan strategi merusak formasi lawan politik dengan strategi “belah bambu”. Yaitu strategi pecah belah dengan cara menginjak atau mengisolasi salah satu kelompok dan mengangkat atau menjadikan kawan kelompok lainnya.
Rezim Jokowi selalu menyatakan bahwa aksi umat Islam ini bukanlah murni aksi menuntut penegakkan hukum. Mereka mengatakan ada agenda politik tersembunyi di balik aksi ini yang didalangi oleh pihak tertentu. Mereka mencurigai aksi ini digerakkan oleh kelompok SBY. Oleh sebab itu, langkah pertama yang dilakukan Jokowi adalah merangkul tokoh oposisi Prabowo dan mengucilkan SBY. Untuk itu, Jokowi rela menemui tokoh politik yang selama ini dibully oleh pendukungnya, di kediaman Prabowo di Hambalang. Media pendukung Jokowi pun memuji setinggi langit dan memuat besar-benar apa yang dilakukan Jokowi. Pesannya jelas bahwa masyarakat tidak perlu mendukung aksi ini karena aksi ini adalah aksi kepentingan politik kelompok SBY yang dibungkus agama.
Strategi yang sama juga dilakukan kepada kelompok umat Islam. Rejim Jokowi selalu bilang bahwa aksi umat Islam ini digerakkan oleh FPI. Oleh karena itu langkah yang dilakukan Jokowi adalah mengucilkan FPI dari kelompok umat Islam lainnya, seperti NU dan Muhammadiyah. Jokowi pun kemudian mengundang tokoh-tokoh MUI, NU dan Muhammadiyah ke istana tanpa melibatkan FPI. Habib Rizieq pun dikriminalisasi. Pesannya yang ingin disampaikan dari Jokowi jelas bahwa masyarakat tidak perlu mendukung aksi ini karena aksi ini adalah aksinya FPI.
Di masyarakat, rezim Jokowi juga mengembangkan isu yang lebih bisa memancing sentimen dukungan yang lebih luas. Mereka mengucikan aksi umat Islam sebagai aksi sekelompok kecil masyarakat Indonesia yang mendukung politik sara, anti kebhinekaan, dan mengancam kesatuan NKRI.
Media pendukung rezim Jokowi dan pendukung Ahok pun dengan gencar menuduh peserta aksi umat Islam sebagai kelompok orang yang mengobarkan sara (anti cina). Aksi umat Islam adalah aksi yang merusak kebhinekaan bangsa Indonesia. Aksi umat Islam harus dilawan karena bisa mengancam persatuan NKRI.
Untuk mendramatisir isu yang mereka kembangkan, kemudian dibuat beberapa eksiden yang seakan membenarkan ancaman tersebut, diantaranya aksi pengeboman gereja di Kalimantan. Yang lebih norak lagi adalah rezim ini menggerakkan anak-anak sekolah, PNS, keluarga polisi dan militer untuk membuat aksi imitasi mendukung kebhinekaan di beberapa wilayah propinsi.
Namun umat Islam tidak terpengaruh dengan berbagai manuver politik yang dilakukan oleh rezim Jokowi. Umat Islam mengancam tetap akan melakukan aksi besar-besaran bila tuntutan mereka tidak dipenuhi. Rezim Jokowi tampaknya tidak punya cara lain, dan terpaksa melakukan kompromi dengan menjadikan Ahok sebagai tersangka kasus penistaan agama. Namun dengan tidak menahan Ahok.
Sekali lagi umat Islam tetap konsisten dengan tuntutannya dan tidak terpengaruh dengan berbagai permainan isu yang dikembangkan rezim Jokowi. Umat Islam tetap mengancam melakukan aksi dengan mendatangkan massa yang lebih besar. Pihak rezim Jokowi tampaknya sudah tidak bisa membendung lagi rencana aksi umat Islam. Dengan alasan keamanan dan kerusuhan anarkis, pihak keamanan melarang aksi di sepanjang jalan Thamrin dan mempersilahkan dilakukan di dalam kawasan Monas.
Aksi umat Islam III kemarin tanggal 2 Desember 2016 pun menjadi momen sholat Jum’at terbesar sepanjang sejarah umat Islam di Indonesia. Larangan untuk tidak melakukan aksi di luar Monas menjadi tidak berlaku karena peserta sholat Jumat memenuhi sepanjang jalan Thamrin dan kawasan sekitar Monas. Jokowi pun ikut bergabung dgn jamaah sholat Jumat di Monas dengan tertib dan damai.
Kesediaan Jokowi bergabung dengan Aksi Super Damai umat Islam kemarin sebenarnya cukup melegakan umat Islam. Kehadiran Jokowi dianggap sebagai tanda ia mau mendengar dan menerima tuntutan umat Islam.
Tapi nampaknya rezim Jokowi tidak mau belajar dari kesalahannya selama ini. Rezim ini malah kembali bermain dagelan dengan mengembangkan isu baru. Ternyata berbarengan dengan aksi 212 kemarin, pihak keamanan menangkap beberapa aktivis dengan tuduhan makar. Pesan yang ingin disampaikan juga jelas, aksi umat Islam kemarin jelas tidak murni. Aksi ini ditunggangi oleh sekelompok orang yang mau melakukan makar. Dan makar adalah tindakan inkonstitusional yang ancaman hukumannya sangat berat.
Percayakah publik dengan isu makar ini? Tentu saja tidak. Ini dagelan politik yang dipertontonkan oleh rezim Jokowi. Bagaimana mungkin, sebuah makar dilakukan oleh kakek dan nenek tanpa senjata?
Saya yakin, alih-alih mendapatkan simpati dan ketakutan dari umat Islam, manuver rezim Jokowi ini justru akan menambah minyak pada api militansi untuk menuntut keadilan dan penegakan hukum.
Dan yang paling saya takutkan, manuver yang dilakukan rezim Jokowi ini justru menginspirasi masyarakat dan kelompok-kelompok tertentu untuk benar-benar melakukan makar. Semoga Jokowi tidak salah langkah.
(*mc/dss)