Nusantarakini.com, Jakarta-
Kalahkan Ahok: Yes
Dongkel Jokowi: No!
Denny JA
Spirit mengalahkan Ahok itu sehat untuk demokrasi. Namun spirit mendongkel Jokowi itu “buah terlarang” yang buruk untuk tradisi pemerintahan yang baik (Good Governance).
Demokrasi yang terkonsolidasi memerlukan semakin banyak kaum yang bersikap demokratis. Yaitu mereka yang hanya bersedia bertindak dalam aturan main demokratis. Jika berhadapan dengan pemimpin yang tak disukainya, ia akan mati-matian mengalahkannya dalam prosedur demokratis: pemilu atau pilkada. Dan menolak pergantian pemimpin dengan cara tidak demokratis: kudeta, revolusi, dll.
Dalam tulisan ini, “Kalahkan” itu merujuk pada tekad mengganti pemimpin melalui prosedur demokratis. Sedangkan “Dongkel” merujuk pada pergantian pimpinan melalui prosedur yang tidak demokratis.
Memahami berbedanya semangat mengalahkan dan mendongkel ini penting untuk konteks sekarang. Harus jelas dipisahkan, gerakan perubahan mana yang masih oke dalam konteks demokrasi. Dan gerakan perubahan siapa yang jika diikuti hanya membawa negara semakin lemah dalam transisi demokrasi.
-000-
Mengalahkan Ahok dalam pilkada 2017 adalah spirit politik yang dibolehkan dalam aturan main demokratis. Bagi yang tak suka Ahok, mereka bisa menafsir mengalahkan Ahok itu justru membuat demokrasi tambah sehat untuk dua alasan.
Pertama: mengalahkan Ahok yang sudah menjadi tersangka itu melanjutkan tradisi good governance: best practises pemerintahan yang baik.
Selama ini sudah menjadi konvensi politik di pejabat yang menjadi tersangka mundur dari jabatannya. Aneka menteri di era pemerintahan sebelumnya banyak yang mengundurkan diri karena menjadi tersangka. Sebut beberapa diantaranya: menteri Jero Wacik, menteri Surya Darma Ali dan menteri Andi Mallarangeng,
Berbagai pejabat partai ketika menjadi tersangka juga mengundurkan diri. Mereka tak ingin menjadi beban bagi partainya dan sekaligus fokus kepada kasusnya sendiri. Contoh yang bisa disebut: Anas Urbaningrum yang saat itu ketum demokrat. Atau OC Kaligis, dan Rio Capella yang saat itu menjadi sekjen partai Nasdem.
Bahkan pemimpin yang menjadi pejabat karena dipilih rakyat, bukan ditunjuk, ketika menjadi tersangka, mereka juga mundur dari jabatannya. Antara lain aneka anggota DPR yang menjadi tersangka: Luthfie Hassan Ishaaq dari fraksi PKS, Andi Taufan Tiro dari fraksi PAN.
Di negara demokrasi yang lebih beradab, bahkan sebelum menjadi tersangka, jika kasusnya sudah menjadi isu publik, ia mengundurkan diri, tak peduli setinggi apapun kedudukannya.
Contohnya Presiden Jerman Christian Wulff mengundurkan diri pada tahun 2011. Saat itu ia belum menjadi tersangka. Ia baru diramaikan di publik soal skandal menerima bantuan uang dari pengusaha. Karena tak ingin kasusnya menjadi beban pemerintahan, presidenpun mundur.
Mengapa itu menjadi tradisi good governance jika pejabat yang menjadi tersangka mundur dari jabatan publik? Status tersangka membuat sang pejabat menjadi beban bagi jabatannya. Amanah jabatan untuk taat aturan, taat asas, taat etika, tak bisa lagi ia emban karena ia sendiri sedang bermasalah dengan itu. Bagaimana ia bisa menjadi teladan menegakkan aturan jika ia sendiri tersangka melanggar aturan?
Iapun akan disibukkan dengan proses hukum. Sebagai tersangka ia belum tentu bersalah. Namun status tersangka itu sendiri hanya diberikan kepadanya karena ia juga punya potensi salah, melanggar aturan.
Proses hukum akan menyita waktu, tenaga dan pikirannya. Pejabat yang baik dalam tradisi pemerintahan yang benar tak ingin kasus hukumnya membuatnya tak bisa fokus menjalankan jabatan.
Kini Ahok sudah resmi menjadi tersangka. Jika seorang tersangka malah dikampanyekan, apalagi terpilih sebagai pejabat (gubernur), maka tradisi “pejabat tersangka mundur dari jabatan” akan hancur lebur. Kasus Ahok jika menang hanya bagus untuk Ahok tapi buruk untuk tradisi pemerintahan yang baik.
Siapapun yang menjadi tersangka akan merujuk kasus Ahok untuk tak mau mundur. Dengan mudah ia berkata. Lihat Ahok. Ia tersangka saja malah terpilih menjadi pejabat. Kok saya yang sudah pejabat, hanya karena tersangka, diminta mundur?
Alasan kedua, mengalahkan Ahok menghindari kemungkinan, sekali lagi menghindark kemungkinan kebohongan publik. Mengapa? Karena pendukungnya mengkampanyekan Ahok sebagai guburnur. Padahal jika terpilih, yang menjadi gubernur bukan Ahok tapi Djarot karena Ahok diproses hukum.
Sebagai tersangka, Ahok selalu mungkin diputus bersalah ataupun tak bersalah. Ada kemungkinan Ahok diputus bersalah, dipenjara dan tak bisa menjadi gubernur. Kemungkinan itu tidak NOL, bahkan besar.
Melihat kasus penistaan agama, secara yurisprudensi umumnya kasus itu berakhir di penjara. Lihatlah mulai dari kasus Arswendo, Lia Eden, Tajul Muluk dan Antonius Bawengan. Bahkan dari perspektif hukum murni, yurisprudensi ini menyulitkan Ahok untuk lolos dari penjara, walau kemungkinan lolos penjara dari sisi hukum murni tetap ada.
Apalagi jika faktor reaksi sosial ikut diperhitungkan oleh hakim. Bahkan tokoh sekelas Dien Syamsuddin sudah membuat pernyataan publik. Ia sendiri yang akan terjun memimpin perlawanan jika Ahok dibebaskan dari hukum.
Bisa kita bayangkan, baru menuntut Ahok diadili saja bisa berkumpul sekitar satu juta manusia pada tanggal 4 November 2016 di Jakarta. Tak terhitung di daerah lain.
Apa yang terjadi jika Ahok dibebaskan? Pastilah dibebaskannya Ahok tak pernah ditafsir sebagai “proses hukum murni” bagi mereka yang tak setuju. Di era social media, aneka fakta segera bercampur dengan gosip, opini bahkan fitnah. Celakanya, itu akan dipercayai oleh mereka yang memang mudah percaya.
Besar kemungkinan gerakan yang lebih besar dan lebih liar akan muncul jika Ahok dibebaskan. Kepentingan bangsa yang lebih luas terancam oleh kasus seorang Ahok.
Mengalahkan Ahok menjadi sehat karena menghindarkan Jakarta bahkan Indonesia dari kemungkinan serba salah itu. Juga menghindari “kebohongan publik” (sekali lagi diberi tanda kutip karena ia hanya seolah -olah kebohongan publik).
Dimana “kebohongan publiknya?” Di sini; mengkampanyekan Ahok menjadi gubernur. Padahal jikapun terpilih, selalu ada kemungkinan, sekali lagi, selalu ada kemungkinan yang menjadi gubernur adalah Djarot, bukan Ahok, karena Ahok sedang diproses hukum dan tak bisa bertindak sebagai gubernur de facto ataupun de jure.
-000-
Mengalahkan Ahok di pilkada 2017 sangat sehat untuk demokrasi dengan dua alasan di atas. Publik juga bebas mengkritik siapapun, sekali lagi, siapapun yang mengganggu dan mengintervensi proses hukum. Publik juga bebas memobilisasi aksi protes sekrearif dan semassif apapun sejauh masih dalam koridor hukum nasional.
Namun dalam gerakan yang membesar, selalu ada spektrum. Ini hukum besi gerakan sosial sepanjang sejarah. Di dalamnya akan ada kelompok kecil yang lebih ektrem dan radikal. Kelompok radikal ini punya agenda lain yang lebih keras, yang bisa membahayakan seluruh gerakan. Mereka meyakini gerakan radikal ini lebih substansial karena lebih ke jantung masalah.
Ini terjadi di semua tempat dan semua waktu. Dalam studi ilmu politik, ia sudah menjadi pakem.
Karena itu gerakan anti Ahok itu penting untuk memisahkan diri dari “penumpang gelap.” Jika semata gerakan ini menuntut keadilan atas Ahok, dan ingin mengalahkan Ahok dalam pilkada 2017, ini gerakan yang substansinya sehat.
Namun jika ada penumpang gelap, ingin menggunakan sentimen anti ahok untuk menggulingkan presiden yang sah Jokowi, itu yang harus dikontrol. Dalam sepakbola, penumpang gelap itu sudah off-side.
Revolusi hanya akan melahirkan revolusi lainnya. Kudeta hanya akan melahirkan kudeta lainnya. Aksi mendongkel hanya akan melahirkan aksi mendongkel lainnya. Semua pergantian pemimpin nasional yang tidak melalui prosedur demokratis hanya akan menjadi kisah sedih yang kita sesali bersama di kemudian hari.
Hanya SBY yang bisa keluar dari kisah sedih presiden Indonesia. Umumnya presiden Indonesia dipuja di awal, namun dihujat di akhir. Ini bukan tradisi yang ingin kita pupuk jika inginkan demokrasi yang sehat.
Presiden Soekarno, Suharto diturunkan di akhir masa jabatan. Presiden Habibie pertanggung jawabannya ditolak MPR sehingga ia tak bisa mencalonkan diri kembali. Gus Dur dilengserkan di tengah jalan.
Megawati menjadi presiden karena sebagai wapres, ia menggantikan Gus Dur, bukan karena sejak awal ia diangkat atau dipilih sebagai presiden. Namun Mega gagal mejadi presiden karena dikalahkan dalam pemilu.
Hanya SBY yang bisa selamat terpilih sebagai presiden Indonesia dan tidak diturunkan, ditolak oleh rakyat. Bahkan SBY terpilih dua kali. Bahkan dalam pilpres masa jabatan kedua, ia menang telak satu putaran saja.
Kita harap tradisi yang dimulai oleh presiden SBY diikuti oleh presiden Indonesia berikutnya. Jangan ada lagi presiden Indonesia yang diturunkan atau didongkel di tengah jalan.
Demokrasi tentu saja menyediakan prosedur demokratis mengganti presiden di tengah jalan, dengan apa yang disebut “impeachment.” Namun itu hanya diterapkan untuk kasus khusus, jika presiden melanggar ketentuan sebagaimana yang disyaratkan konstitusi.
Mereka yang tak suka Jokowi sebaiknya menyiapkan barisan untuk mengalahkannya di pemilu presiden 2019 nanti, bukan sebelumnya.
Gerakan 4 November, 2 Desember atau selanjutnya sebaiknya fokus meminta keadilan untuk kasus Ahok saja. Dan sah juga jika gerakan ini punya efek membuat Ahok kalah di pilkada 2017.
Menambah menu “agenda lebih besar ketimbang Ahok” akan membuat gerakan ini berkurang pesonanya.
Kembali ke laptop. Kalahkan Ahok: Yess! Dongkel Jokowi: No!!! (*mc)
Sumber: inspirasi.co