Nusantarakini.com, Jakarta-
Thailand contoh negara di Asia yang paling sering mengalami kudeta.
Kudeta pertama (coup d’etat) tahun 1932 mengubah Thailand jadi monarkhi konstitusional.
Tapi perebutan kekuasaan dengan jalan kekerasan kenyataannya tak dapat membuat sebuah negara jadi demokratis.
Dr L Dhiravegin, analis politik terkemuka Negeri Gajah Putih itu mengatakan, perubahan kekuasaan dengan cara kekerasan atau nonkonstitusional merupakan gejala umum di Asia.
Di Thailand usaha penggulingan kekuasaan dengan cara kekerasan sejak tahun 1932 terjadi rata-rata setiap 2, 7 tahun dengan korban nyawa rakyat yang tidak bersalah.
Yang diperebutkan bukan tahta raja melainkan posisi perdana menteri yang merupakan inti kekuasaan eksekutif di negeri itu.
Gambaran ini sungguh mengerikan. Indonesia sendiri punya pengalaman sejarah kelam yang sangat traumatik yang tidak boleh terulang lagi, merujuk pada peristiwa September 1965.
Tahun ’45 Sukarno bikin surat wasiat yang dikenal sebagai Testamen Bung Karno, yang diberikan kepada Tan Malaka.
Isinya kalau Sukarno-Hatta berhalangan dalam menjalankan jabatan, misalnya ditahan atau meninggal, maka Tan Malaka sebagai mentor dan tokoh revolusioner kawakan yang akan menggantikan.
Menurut sebuah versi testamen itu kemudian dipakai Tan Malaka dan para pengikutnya untuk melakukan makar untuk merebut kekuasaan dan menggantikan Sukarno-Hatta.
Syahdan pola ‘’surat pelimpahan wewenang kekuasaan’’seperti ini berlanjut pada 1965 yaitu Supersemar dengan segala kontroversinya.
Waktu meletus reformasi ‘98 Soeharto sempat mencoba menggunakan pola serupa untuk ‘’menstabilkan’’ situasi, tetapi menurut cerita si penerima surat enggan melaksanakan.
Dalam pandangan hukum (pasal 87 KUHP) makar harus meliputi tiga unsur, pertama niat, kedua adanya permulaan pelaksanaan niat makar, dan ketiga ada perbuatan-perbuatan permulaan sebagai wujud konkret dari atau untuk makar.
Sedangkan kudeta dalam versi Wikipedia merupakan perbuatan pembalikan kekuasaan terhadap seseorang yang berwenang dengan cara ilegal dan sering bersifat brutal, inkonstitusional, berupa pengambilalihan kekuasaan, penggulingan kekuasaan sebuah pemerintahan negara dengan menyerang (strategis, taktis, politis) legitimasi pemerintahan, kemudian bermaksud untuk menerima penyerahan kekuasaan dari pemerintahan yang digulingkan.
Esensinya makar atau kudeta merupakan pertikaian politik yang sangat elitis, ibarat pepatah: gajah bertarung pelanduk mati di tengah, yang hanya menggilas dan mengorbankan orang kecil yang tidak berkepentingan, orang-orang biasa yang tidak bersalah apa-apa.
Kelompok-kelompok oportunis-avonturir yang mencari-cari peruntungan dengan menjadi bagian dari elemen pendukung makar atau kudeta nasibnya kelak bisa seperti paper tissues which one uses once and then throws away, alias dipakai sekali saja kemudian dibuang sebagai sampah.
Jangan sampai negeri ini bagaikan ungkapan Latin: Mater Dolorosa, ibu pertiwi yang selalu pedih dan bersedih, sebab kata Sukarno seharusnya kita jadi bangsa yang Hanyakrawarti Hambaudenda, yaitu bangsa besar, dengan ambisi besar, cita-cita besar, daya kreatif besar, keuletan yang besar, untuk mengejar berbagai ketertinggalan dari bangsa-bangsa lain di dunia.
Cara-cara nonkonstitusional, cara-cara kekerasan dengan mengorbankan rakyat hanya akan membuat negeri ini jatuh ke jurang kehancuran, sehingga bukan tidak mungkin NKRI hanya tinggal nama atau makin dalam masuk ke mulut asing & aseng yang menganga terus memangsa.
Sehingga katanya NKRI sekarang bukan lagi Negara Bangsa melainkan Negara Mangsa. (*mc)
*Arief Gunawan
Wartawan Senior Rakyat Merdeka