Nusantarakini.com, Jakarta-
PEREBUTAN kekuasaan selalu penuh intrik, sehingga dalam drama The Tragedy of Julius Caesar yang ditulis Shakespeare ada tokoh Brutus, dalam Mahabarata ada tokoh Durno…
Mereka ada di dalam lingkaran kekuasaan tetapi menusuk dari belakang dan menggunting dalam lipatan alias berkhianat.
Siapa sebenarnya Brutus?
Dia adalah pejabat tinggi negara, senator Roma.
Senatus atau senex artinya orang tua, dia dituakan, termasuk pendamping raja dan duduk dalam majelis perundingan kerajaan.
Dikisahkan, Brutus bersama para kroninya berencana makar yakni membunuh Julius Caesar. Pembunuhan yang sangat dramatik terhadap kaisar terjadi pada 44 SM yang kemudian memicu perang saudara di Republik Roma. Brutus kemudian diadili sebagai pengkhianat.
Dalam bahasa Latin, Brutus, Brutto, Brutal punya akar kata yang sama.
Brutusaum berarti kasar, tidak nalar, pencemburu, bodoh.
Brutus-brutum berarti tidak bisa bergerak, menunjukkan pikiran watak yang tidak berubah, tidak bergeser, keras kepala dalam arti goblok.
Adapun tokoh Durno dalam Mahabarata digambarkan suka memakai topeng orang suci, berlagak negarawan, sangat sakti sehingga jadi guru bagi para putra raja Astina, baik Kurawa maupun Pandawa.
Durno juga dikenal sebagai penebar huru-hara, karena wataknya yang dualisme.
Durno tewas oleh pedang Drestajumena, ksatria yunior yang tidak sakti namun punya integritas moral terpuji.
Dalam bahasa Jawa tewasnya Durno dilukiskan dalam kalimat: “ngunduh wohing pakarti” alias mati gara-gara kelakuan sendiri.
Sukarno, Soeharto, juga jatuh karena para Brutus dan karena para Durno.
Dalam realitas politik Brutus dan Durno memang benar-benar ada.
Kalau saat ini aparat keamanan mensinyalir ada pihak yang mau melakukan makar terhadap pemerintahan sah Jokowi, maka tentu ada Brutus & Durno dibelakangnya.
Makar berwatak licik, penuh tipu muslihat, dan mengandung rencana yang sistematis.
Sejarah membuktikan perebutan kekuasaan dengan cara makar biasanya dilakukan atau ditunggangi oleh orang-orang terdekat dalam lingkaran kekuasaan. Aktornya biasanya pendamping terdekat, teman sejawat, bahkan kerabat.
Di nusantara perebutan kekuasaan dengan cara-cara makar usianya sama tuanya dengan usia kerajaan-kerajaan yang ada. Bahkan Majapahit jatuh karena makar yang dilakukan oleh orang-orang terdekat di istananya sendiri, yaitu melalui intrik politik berdarah antara anak permaisuri dengan anak selir raja Hayam Wuruk yang mengakibatkan perang Paregreg.
Di tengah goncangan badai politik yang disebabkan oleh lidah panas Ahok memang bukan tidak mungkin ada Brutus dan Durno yang hendak menggunting di dalam lipatan, untuk itu sensitifitas, insting, dan naluri waspada Presiden Jokowi sangat dibutuhkan.
Road show Presiden ke berbagai elemen masyarakat, umat, TNI dan Polri, boleh juga dibaca sebagai bentuk sensitifitas dan kewaspadaan Presiden terhadap adanya indikasi makar yang akan dilakukan oleh para Brutus dan Durno.
Apalagi pemerintahan Jokowi yang baru berjalan dua tahun ini sebenarnya rentan dan tidak cukup solid, antara lain karena adanya berbagai kepentingan faksi di kabinet dan persoalan visi kemana arah bangsa dan negeri ini mau dibawa.
Namun di luar semua itu kita tetap berharap negeri ini senantiasa damai dalam Kebhinekaan.
Amor Meus Amplior Quam Verba Est Indonesienses…karena cintaku kepada Indonesia lebih dari sekedar kata-kata.
*Arief Gunawan, Wartawan Senior Rakyat Merdeka (*mc)