Nasional

Kesaksianku Atas Demo 411 Yang Kuikuti

NusantaraKini, Jakarta – Setelah sukses menghimpun seratus ribu umat Islam pada demo 14 Oktober 2016 untuk menuntut Ahok diperiksa Bareskrim Polri, pada 4 November 2016 kembali turun ke jalan. Kali ini sasarannya adalah kantor Presiden Jokowi. Sekiranya Ahok diperiksa Bareskrim Mabes Polri sebelum 4 November 2016, tentu demo 411 itu tidak terjadi. Tuhan punya takdirnya sendiri. Alhasil jutaan kaum muslimin datang berbondong-bondong dari penjuru tanah air ikut turun di ibukota menyahut seruan pata ulama dan habaib.

Satu di antara yang menyambut seruan para ulama untuk turun ke jalan di 4 November itu adalah aku. Beberapa hari sebelum hari H, segala sesuatunya sudah kupersiapkan. Sebab aku berencana menginap di Mesjid Istiklal agar saat demo digulirkan para ulama, aku tak kesulitan mencari posisi ambil bagian.

Peralatan mandi, sarung dan jaket telah aku siapkan. Air mineral sudah kubeli di Indomaret. Biaya buat keluarga yang kutinggalkan selama dua hari saat mengikuti demo aku serahkan. Aku pun pergi dengan hati ikhlas, tenang dan penuh.

Malam tanggal 3 November itu aku bersama sahabatku dan seorang adiknya berangkat selepas Isya. Dari rumah kami naik ojek uber menuju stasiun kereta Bekasi. Tidak berapa lama kami sudah di dalam kereta menuju stasiun Juanda, depan Istiklal.

Rupanya di dalam kereta warga seperti saya yang ikut demo besok harinya telah mengisi gerbong-gerbong kereta. Rata-rata anak muda dengan identitas muslim yang kentara. Berjenggot dan pakaian takwa dibalut jaket. Dapat kupastikan mereka adalah pendemo Ahok besok siang hari.

Kereta tiba di stasiun Jatinegara. Aku berpindah kereta ke peron tiga yang akan berangkat menuju stasiun kota. Sampai akhirnya di stasiun Juanda, rombongan pendemo semakin ramai saja. Aku lihat ada di antara rombongan yang rata-rata pemuda itu mengenakan ikat kepala dengan tulisan HASMI. Ya..itu adalah ormas dari Bogor.

Kami menyusuri tangga menuju lantai dasar. Kami pun menyeberang jalan lewat jembatan penyebetangan menuju mesjid Istiklal. Akhirnya tiba juga di mesjid pusat komando umat yang akan berdemo esok hari itu.

Suasana masjid istiklal rupanya sudah mulai ramai di malam sekitar pukul 22.00 WIB itu. Kami terus masuk ke dalam mesjid. Konsumsi tengah dibagi-bagikan di bawah tangga sebelah utara berhadapan dengan gereja Katedral.

Namun di dalam suasana ternyata masih lengang. Warga banyak yang bergeletakan tidur di serambi istiklal, baik di koridor-koridornya maupun di lapangan bagian dalamnya. Sebagian aku lihat berasal dari Jawa Timur dengan logat Jawa Timurannya. Sebagian lagi dari Sumatera Utara, Aceh, Banten, Pekanbaru dan tentu saja Jawa Barat.

Orasi-orasi bergelegar di halaman dekat tangga di depan gereja Katedral. Mengutuk Ahok merupalan isi utama orasi itu.

Malam terus beranjak menuju dini hari. Aku tak bisa tidur dengan kerasnya suara-suara orasi itu. Takbir bertalu-talu. Suara orang berisik di mana-mana.

Saya pun turun sekedar mencari hiburan dengan melihat kegiatan orasi itu. Aku dapati sekelompok wartawan merekam adegan orasi itu dengan khusuk bagaikan sudah diatur laksana skenario. Aku curiga wartawan TV tersebut tengah mengambil suatu adegan yang mungkin untuk bahan yang dapat mereka eksploitasi di dalam menyudutkan demo. Isi orasinya memang tidak simpatik. Banyak terungkap bahasa kekerasan.

Maka setelah aksi rekam itu selesai, dan si orator itu juga pergi, si kameramen itu aku datangi. Aku ingatkan dia agar tidak mengekploitir untuk urusan menyudutkan. Dia ketakutan saat kugertak. Mungkin dia merasa bahwa lembaganya memang dikenal tidak apresiate dengan demo umat Islam ini. Dia berjanji tidak melakukan itu.

Malam terus berjalan. Dini hari warga dari berbagai daerah banjir bagai tsunami ke kompleks istiklal. Pengumuman demi pengumuman aku dengan tentang rombongan ini rombongan itu, dari daerah ini dan dari daerah itu.

Hingga subuh menjelang, bagian dalam istiklal telah mulai padat. Orang-orang bersial untuk sholat subuh. Namun sebagian terlelap tergeletak. Azan berkumandang. Orang berduyun-duyun membentuk shaf.

Aku mengambil tempat di lantai dua bersama adik sahabatku itu. Dari lantai dua, kulihat jamaah subuh sudah memenuhi ruangan utama mesjid istiklal.

Satu hal yang cukup menggangu adalah fasilitas air dan listrik untuk mencharge hp. Soal listrik, orang berebut mencari tempat-tempar tersedianya penchargeran hp. Akibatnya seperti aku alami, beberapa jam aku terpaksa lepas dari kontak luar. Hp mati kehabisan batere.

Demikian juga fasilitas air di Istiklal. Dengan membludaknya massa, beberapa jam air untuk wudu dan toilet mati. Akibatnya orang beramai-ramai menggunakan stok air mineral untuk aktivitas toilet dan wudu. Jika kuingat hal itu, betapa tersiksanya. Padahal waktu jum’atan sudah mendekati sejam lagi. Untungnya air kembali mengalir. Disebut-sebut itu adalah mustahil jika bukan sabotase aliran air. Ternyata hal semacam itu dua kali terjadi: pra demo dan pasca demo pada malam hari di depan istana saat para pendemo kembali ke pangkalan mereka di Istiklal. Sebelum melanjutkan demo dan rencana menginap di DPR, malam iti di Istiklal air lagi-lagi mati. Terkutuklah mereka yang menyiksa para mujahid yang membela agama itu. Nasaruddin Umar sebagai Imam Besar Istiklal harus dimintai pertanggungjawabannya terkait insiden matinya aliran air tersebut. Sebab orang tersebut terkesan tidak memiliki simpati terhadap para pendemo dan tuntutannya untuk membela martabat Islam.

Tatkala sholat jum’at ditunaikan, seluruh ruang yang tersedia di Istiklal telah penuh dan bagaikan siap meledak. Sholat jum’at ditunaikan dengan khusuk.

Seusai sholat jum’at pengarahan dan dinamisasi dari para ulama digelar. Takbir bertalu-talu. Gelegar komando ulama membakar semangat jamaah, siap untuk turun berjihad. Mati pun sudah rela demi membela martabat agama yang telah dihina oleh kelakuan dan perkataan Ahok yang bukan Muslim itu.

Tetapi dengan rapi, barisan demo satu per satu berparade dari ujung pintu dekat stasiun juanda menuju keluar pintu istiklal depan katedral. Dengan demikian peserta demo dari beragam lembaga dan perwakilan dapat diinspeksi.

Parade itu rapi teratur. Di atas mereka helikopter tentara meraung-raung mengawasi. Wajah-wajah ikhlas dan ceria menghiasi para pendemo. Panji-panji mereka berkibar-kibar. Dari majlis-majlis taklim hingga santri-santri mengali siap keluar kompleks istiklal menuju istana.

Rupanya sebagian massa sudah ada yang memotong jalan dari depan juanda menuju istana. Tentu saja hal itu tak bisa dicegah mengingat lautan massa dari beragam satuan aksi.

Aku ikut keluar dari pintu istiklal depan gereja katedral. Kudapati peserta aksi dari kelompok muslim Papua. Mereka memainkan perkusi menambah semangat demonstrasi. Rapatnya barisan bikin jalan kesusahan. Berdesak-desakan. Sampai akhirnya tiba di depan lapangan banteng menempuh waktu dari istiklal hampir sejam lebih akibat padatnya manusia.

Di lapangan banteng suasana sudah lebih longgar. Aku dan sahabatku memilih jalan menuju pejambon memotong rute jalan perwira depan pertamina yang tetap padat dengan manusia. Tiba di depan stasiun gambir, massa tersendat oleh muara dari jalan ke istana yang ditutup aparat. Lagi-lagi massa disiksa oleh macetnya aliran massa di jalan.

Dari mobil komando, para ulama mengarahkan massa untuk membelah. Sebagian masuk ke lingkungan stasiun gambir dari pintu depan markas Kostrad. Sebagian lagi terus melanjutkan perjalanan menuju jalan di depan kementerian KKP dan terus menuju balai kota, patung kuda dan lurus menuju istana. Di lokasi patung kuda massa dari berbagai arah sudah menumpul. Demikian juga di depan istana. Massa-massa tersebut jelas tidak saja berasal dari pangkalan di Istiklal, namun mengalir dari berbagai jalur dan sisi.

Aku termasuk yang mengalir dari pintu stasiun depan kostrad menuju pintu keluar di Kedutaan Besar Amerika. Akhirnya kami berhasil keluar dari lingkungan stasiun gambir tersebut.

Beberapa saat istirahat dan bertemu dengan teman kami dari Malang yang sedang bergabung dalam lautan massa. Kami minum kopi sejenak menghilangkan pegal-pegal akibat jalan yang cukup jauh.

Kemudian kami berpisah dan masing-masing melanjutkan demo. Kami berjalan menuju Balaikota dan terus ke patung kuda. Di sana massa membludak sekalipun sebagian sudah banyak yang mundur untuk pulang. Waktu menunjukkan pukul 16.00 WIB.

Kami berusaha menerobos kepadatan massa. Orasi demi orasi dari berbagai mobil komando sepanjang jalan menuju istana kami lewati. Kami juga mendapati ibu-ibu dokter yang siap sedia membantu. Demikian juga para penyedia konsumsi bertebaran di sepanjang jalan depan Indosat menuju istana.

Sampai akhirnya kami tiba di depan kementerian PDT. Maghrib sudah menjelang. Aku antri ke toilet pos satpam kementerian itu di depan jalan abdul muis.

Di luar dugaan, teman kami yang berpisah di stasiun gambir ketemu lagi. Berbincang sejenak sambil menunggu magrib. Azwar teman kami juga telah datang bergabung sebelumnya. Dia habis memimpin barisan HMI yang turut berdemo.

Malam bergerak. Seusai sholat maghrib, kami makan di depan kantor walikota jakarta pusat. Setelah itu menuju istana lewat jalan abdul muis.

Menikmati suasana hiruk-pikuk dengan barisan massa yang berhadap-hadapan dengan barikade polisi, kami memantau dengan harap-harap cemas. Kulihat polisinya sudah sangat tegang dan siap untuk memukul mundur. Massa pendemo sendiri tidak kalah siapnya. Mereka seolah sudah siap menjemput syahid malam itu.

Beberapa lama berselang hiruk-pikuk saling dorong terdengar di bagian massa depan Kemenkokesra dan depan monas. Takbir bertalu-talu, teriakan seolah tidak terputus.

Mobil kanon polisi sudah mulai mondar mandir mengancam. Duaaarrr!!! Bunyi petasan menyerbu langit. Kembang api terlihat indah sekali. Aku menyangka itu hanya kembang api yang dinyalakan oleh massa demonstran untuk merawat semangat jihad mereka.

Tak dinyana, kembang api itu kini menuju kami di pangkal jalan harmoni. Satu per satu meledak di depan mata. Baru sadar itu bukan kembang api, tapi peluru gas air mata. Aduh…masing-masing menyelamatkan diri. Kawan sudah bercerai-berai. Aku lari.menuju gedung PPI. Kejaran peluru gas air mata makin ganas menuju kami yang berlarian. Duarr…duarr..satu per satu meledak di depan mata. Aku sudah panik hawatir peluru gas air mata itu mengenai badanku.

Tiba di pagar pintu Gedung PPI, satpamnya menghalangi kami. Kami terus terjang dan pagar itu pun tersibak hingga kami dapat masuk leluasa. Seorang tergeletak matanya tidak bisa melihat terkena gas air mata. Aku sendiri sekalipun kena gas, masih bisa melihat jalan dengan remang-remang. Aku mengangkatnya dan menolongnya berjalan hingga di parkir basement. Dia sudah normal dan bisa berjalan.

Aku mencari air untuk membasuh wajah hingga akhirnya bertemu mesjid kantor tersebut. Alhamdulillah setelah membasuh mata dan wajah, aku masuk ke mesjid. Sesak nafasku dan rasa pusing akibat menghirup gas terkutuk itu secara perlahan mulai reda. Sampai kemudian aku pun bisa bertemu lagi dengan teman-temanku tadi.

Terakhir mendengar massa bergerak ke DPR pada jam tengah malam itu, kami kembali menuju DPR untuk memastikan teman-teman yang ikut bermalam di DPR. Rupanya keadaan di jalanan depan DPR tidak seseram yang aku bayangkan. Berarti teman-temanku yang bertahan di DPR itu tidak perlu dicemaskan.

Beberapa saat di DPR, kami memutuskan pergi meninggalkan DPR sekitar jam satu malam.

Kabar selanjutnya kudengar di DPR massa kembali bentrok dengan polisi. Tapi tidak separah di depan istana. Habib Rizieq penanggung jawab massa menghimbau massa agar kembali saja dan mereka diangkut oleh bis-bis yang disediakan oleh pimpinan DPR.

Adapun tuntutan agar Ahok diperiksa akan dikawal pimpinan DPR seperti yang dijanjikan oleh Zulkipli Hasan tatkala berunding dengan Habib Rizieq Syihab.

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Terpopuler

To Top