Nusantarakini.com, Jakarta-
Lebih Baik Mati Ditembak Peluru Daripada Mati Digigit Nyamuk!
by : Elly Risman
Lima hari lagi kita akan merayakan peringatan G 30 S PKI, yaitu suatu kejadian dimana Partai Komunis Indonesia dalam upaya menegakkan kekuasaannya melakukan pembunuhan keji terhadap tujuh jenderal kita.
Saya tidak ingin membahas peristiwa tersebut, tetapi saya ingin berbagi dengan anda pengalaman masa remaja saya, bagaimana ayah saya membangun rasa kebangsaan atau nasionalisme dalam diri saya sejak remaja.
Pasca peristiwa G30 S PKI banyak kebijakan pemerintah yang dinilai banyak fihak termasuk mahasiswa tidak memihak rakyat, misalnya devaluasi nilai rupiah dari Rp. 1000 menjadi Rp 1, menaikan harga minyak bumi dll. Maka dibentuklah Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), 10 Januari 1966 yang mengajukan TRITURA kepada presiden.
Tritura adalah TRI TUntutan Rakyat yang berisi :
1. Bubaran PKI;
2. Retooling (Penggantian/Pembersihan) Kabinet dari unsur PKI ;
3. Turunkan harga bahan pokok.
Suatu sore, ayah saya seperti biasa duduk duduk dengan kami, ibu saya, saya dan beberapa paman bercerita tentang Tritura dan demo mahasiswa serta pelajar.
Di ujung pembicaraan itu, ayah saya mengatakan, setengah instruksi : “Elly ikut tuh berjuang dengan mahasiswa dan pelajar-pelajar itu. Apa yang mereka perjuangkan itu benar.Pemudalah yang harus tegak dan berdiri membela rakyatnya. Waktu ayah muda, ayah berjuang juga melawan penjajah. Sekarang kalian berjuang membela yang benar, bela Kebenaran!” tegas ayah saya.
Mulai hari itu saya berusia 14 tahun bergabung dengan KAPI ( Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia). Saya ikut hampir semua kegiatan dari rapat, demo, P3K ( kebetulan saya sudah kursus sejak SMP kelas 1), dan dapur umum. Dalam rapat Presidium Kesatuan Aksi, saya paling muda.
Walau rapat sampai malam, ayah dan ibu saya selalu mendukung. Beliau mendengarkan ‘laporan pandangan mata’ setiap saya pulang dan tetap menyemangati.
Beliau selalu menutupnya dengan: ”Pegang kepercayaan yang ayah berikan sama Elly ya!”.
Tanggal 24 Februari 1966, mahasiswa dan pelajar yang tergabung dalam KAMI dan KAPI melakukan demo di lapangan Banteng, Jakarta dengan tuntutan yang sama TRITURA. Dalam usaha mengendalikan massa mahasiswa dan pelajar ini fihak aparat menggunakan senjata.
Terdengar letusan senjata api yang kemudian diketahui menembus dada salah seorang mahasiswa kedokteran UI bernama Arif Rahman Hakim. Peserta demo semakin banyak dan penuh semangat bergerak kearah istana dengan berbagai yel yel..Saya berada dalam kerumunan itu.
Di depan istana terdengar tembakan lagi dan kini yang gugur adalah seorang pelajar SMP seperti saya, kemudian diketahui namanya : Ikhwan Ridwan Rais ( Saya terbayang wajah sedih ibu bapaknya yang kehilangan anak tunggalnya).
Semua demonstran bubar, kucar–kacir, ketakutan!. Saya ingat benar, saya berlari tidak berhenti.
Rumah kami terletak dua blok dari Merdeka Utara. Saya menyebrang jalan Merdeka Utara masuk jalan Pecenongan dan diujungnya belok kiri ke Sawah Besar.
Ayah dan ibu saya serta beberapa paman serta Bibi saya yang datang dari Aceh mengikuti Kongres Muhammadiyah sedang duduk duduk di beranda depan minum teh. Melihat saya berlari lari, ayah saya berdiri,mengikat sarungnya dan menghampiri saya dengan tergopoh gopoh.
Sambil memegang kedua bahu saya, beliau bertanya :” Ada apa nak hah..?, ada apa?”. Lalu saya menceritakan apa yang terjadi.
Tanpa saya duga, ayah saya memandang saya tajam lalu tangan kirinya memegang bahu kanan saya dan berkata: ” Kenapa Elly pulang nak ?”.
Saya menjawab bingung : “Takuut yah !”
Ayah saya mengangkat tangan kanannya tinggi sekali, menunjuk kearah istana dan berkata dengan tegasnya: ”Ayah bilang Elly BALIK!, balik ke Istana!”.
Saya memandang ayah saya dengan rasa takut, heran, bingung campur aduk jadi satu.
Yang keluar dari mulut saya Cuma :”Haah?”
Ayah saya meneruskan perintahnya dengan menundukkan sedikit kepalanya sehingga matanya sejajar dengan mata saya dan mengucapkan kalimat diatas:
”Ayah lebih suka anak ayah mati ditembak peluru, dari pada mati dikamar ( sambil menujuk arah kamar tidur saya ), digigit nyamuk, Faham? Balik !”
Saya berdiri mematung, dan datanglah malaikat penyelamat saya: ibu saya tersayang.
Beliau langsung ambil posisi, berdiri didepan saya dan berhadapan dengan ayah saya. Dengan pelahan beliau mengatakan: “Elly, capek Yah, dan dia lagi ketakutan!”.
Beliau menoleh kebelakang dimana saya sedang berlindung: “Iya kan nak ?’, saya mengangguk dan dengan kencang meremas tangan kiri ibu saya yang diulurkannya kebelakang tubuhnya . “Elly juga lapar Yah! Dan memastikan sambil menengok belakang lagi, dan saya mengangguk ‘Juga belum sembahyang’, iya kan nak ?” Tanya nya pada saya.
Ayah saya langsung duduk dan dengan pelan mengatakan : Yah sudah sana, makan dan sholat dulu, abis itu balik lagi ke istana!”
Sambil makan ibu saya mendengarkan cerita saya yang menakutkan tegang dan seru.
Setelah sholat ibu saya mendekati saya dan mengatakan: Patuh sama apa yang disuruh ayahmu, balik tapi jangan sampai ke istana ya, sampai Pecenongan saja, kalau ada demo ikut Dermayu Demo Bhisono.. tapi jangan sampai ke istana!”…ulangnya lagi.
(Terharu… mengenang semuanya… Ya Allah sayangilah kedua orang tuaku, sebagaimana beliau menyayangiku dulu..)
Bukan sekali ayah dan ibu saya mengajarkan saya untuk berjuang bagi kepentingan orang banyak.
Umur 12 tahun saya diajak ayah saya ke Notaris, yang saat itu tahun 1963, sangat jarang di Jakarta. Saya diajak ayah saya untuk menyaksikan beliau membuat akte pendidirian sebuah Yayasan Pendidikan untuk Aceh. Disitu saya belajar apa itu Notaris, akte dan yayasan.
Teringat sekali saya diusia sepuh dengan enam cucu ini, apa yang dikatakan ayah saya : “Ini yayasan pendidikan untuk Aceh. Nanti kalau Elly sudah besar bergerak dalam pendidikan ya nak, dan jangan pernah tinggalkan Aceh. Pendidikan itu sangat penting, karena Pendidikanlah yang Me- Manusiakan Manusia!”.
Saya tidak faham apa yang dikatakan ayah saya, maka saya tanyakan pada beliau dan beliau menjelaskannya dan memastikan saya mengerti apa yang dimaksudkannya.
Banyak lagi kisah yang tak mungkin saya tuturkan disini, tapi apa yang saya ingin sampaikan pada anda adalah bahwa kecintaan pada tanah air, bangsa dan kedaulatan negeri itu dimulai dari rumah, akarnya?: di PENGASUHAN..!
Marilah mulai menanamkan rasa cinta dan keperdulian pada kebenaran, kebanggaan pada bangsa dan Negara, kampung halaman, kepemilikan terhadap harta yang dimiliki bangsa , dibawah tanah, diatasnya dan dikedalaman samudra yang terbentang seolah tak bertepi.
Seperti ayah dan ibu saya, anda bisa duduk dengan anak anda bercerita tentang daerah di mana anda berasal saja dulu. Apa potensi yang dimiliki, bagaimana selama ini diolah dan dimanfaatkan, bagaimana pembagian hasil dengan pusat, apakah penduduk menikmatinya apakah tidak?
Bagaimana kedepan teknologi digunakan untuk memanfaatkannya dan mensejahterakan dan mencerdaskan orang kampung anda.
Saya teringat, ketika suatu hari anak bungsu saya berlari lari turun tangga dan menangis sedih. Ketika sudah tenang, dia bercerita dia baru saja menemukan betapa sebenarnya ketika tanah Irian yang sekarang digali emasnya oleh Freeport, saat di temukan dulu emas ada di permukaan tanah setebal 60cm!
Pada usia 10 tahun dia juga pernah jadi pembicara di Musium Bahari, dan dengan gaya kekanak-kanakannya menghimbau Menteri Perhubungan waktu itu ( Kita belum punya menteri Kelautan apalagi Menko Maritim) untuk menyelamatkan terumbu karang.
Ketika dia usia TK, saya menunjukkan menceritakan padanya sebuah buku tebal yang ditulis oleh kenalan kami anggota kelompok penyelam dunia Guy De La Valdene hasil foto foto indah dari Pulau Sipadan dan Ligitan yang kemudian lepas ke tangan Malaysia.
Kini, Pilkada diselenggarakan hampir serentak di seluruh propinsi. Jangan biarkan kesempatan emas ini berlalu.
Berceritalah pada anak anda di atas 10 tahun, tentang apa itu Pilkada bagaimana prosesnya. Ada berapa calon yang maju dan siapa mereka, latar belakangnya, partai yang mereka wakili atau calon independent. Sodorkanlah data data atau ajarkan mereka untuk mencarinya sendiri dengan pendampingan, karena internet tidak selamanya aman.
Berusahalah seadil dan seterbuka mungkin, biarkan anak mengalami proses Berfikir, Memilih dan Mengambil Keputusan (BMM) untuk dan atas namanya sendiri, pemimpin yang mana menurut dia yang pantas jadi pemenangnya dan apa alasannya.
Negara kita sekarang ini menghadapi banyak sekali tantangan dan ancaman menyangkut kedaulatan dan kekayaan alamnya. Anak anak kitalah pemiliknya di masa datang. Sejak kecil mereka harus tahu dan sadar akan hak dan kewajibannya dan juga kebanggan menjadi anak Indonesia. Kalau bukan kita yang mengenalkannya dan menanamkan rasa Kebangsaan dan Nasionalisme, lalu siapa ?
Anda, seperti saya, pasti akan terkejut kejut mendengarkan pendapat dan pemikirannya. Ayo kita ciptakan pemimpin dan negarawan masa depan , di samping mengerjakan PeEr dan tugas les lainnya, cobalah menanamkam nilai-nilai mulia mulai sekarang dan jangan berhenti sampai semangat nasionalisme membara di dadanya!
Terinspirasi dari Pilgub DKI
#Elly Risman
Akhir September 2016
Penulis adalah Pakar pendidikan
(*mc)