Nasional

Jaya Suprana: Maaf Saya Gagal Kurangi Derita Rakyat Tergusur

Nusantarakini.com, Jakarta-

Redaksi Nusantarakini.com menerima surat terbuka dari Jaya Suprana.

Berikut isi selengkapnya:

Teman-teman sebangsa dan seTanah Air yang saya hormati,

Dalam kesempatan ini saya melaporkan bahwa ijin dan doa restu anda semua telah memberikan kekuatan lahir-batin bagi saya untuk mendampingi warga Bukit Duri menghadapi penggusuran secara melanggar hukum dan HAM.

Pada pagi hari 28 September 2016, saya telah berdiri (tepatnya: duduk di kursi roda akibat kondisi pasca kecelakaan kaki kanan saya masih labil sehingga saya rawan terjatuh pada saat berdiri apalagi berjalan kaki) di depan pasukan Satpol PP Jakarta yang akan menggusur Bukit Duri.

Seperti telah saya janjikan, saya bukan melawan, menuntut, menghambat, menyerang namun sekedar dengan penuh kerendahan hati memohon belas kasihan kemurahan hati para penggusur berkenan menunda penggusuran sampai ada keputusan hukum dari Majelis Hakim PN Jakpus dan PUTN Jaksel terhadap perbedaan pendapat antara pemerintah dengan rakyat dalam kasus Bukit Duri.

Permohonan saya ajukan pada saat orasi kebudayaan di depan masyarakat pers yang berdatangan dari dalam mau pun luar negeri mau pun di hadapan para petugas SatpolPP beserta Kepala Satpol PP Provinsi Jakarta. Bahkan para petugas SatpolPP berkenan menghentikan pembongkaran rumah demi mendengarkan permohonan saya. Namun disertai penjelasan bahwa mereka hanya menjalankan tugas yang diinstruksikan oleh pemerintah Jakarta, setelah saya usai menyampaikan permohonan langsung para petugas Satpol PP kembali menunaikan tugas pembongkaran.

Sulit bagi saya menahan tetesan air mata ketika menyaksikan para penghuni dipaksa ke luar dari rumah masing-masing sambil membawa sedikit harta-benda yang mereka miliki kemudian hanya bisa menangis ketika menyaksikan rumah mereka dibongkar dan dirobohkan sehingga rata dengan permukaan bumi.

Memang rakyat tergusur tidak memiliki apa pun kecuali sisa-sisa harga diri sebagai manusia dan harkat-martabat sebagai rakyat Indonesia yang belum menikmati nikmat kemerdekaan yang sebenarnya sudah diproklamirkan sejak 17 Agustus 1945.

Saya sendiri sempat buang air kecil di WC sempit pada gubuk kayu di mana Sanggar Ciliwung Merdeka berada sebelum dirobohkan demi naturalisasi sungai Ciliwung. Seolah air seni saya merestui pembongkaran sanggar kesenian. Dalam kesempatan ini pula, saya mohon maaf sedalam-dalamnya berhubung upaya saya meringankan derita rakyat tergusur di Bukit Duri melalui pengajuan permohonan belas-kasihan kemurahan hati pemerintah Jakarta menunda penggusuran sampai proses hukum berhasil menemukan titik-temu bagi perbedaan pendapat pemerintah dengan rakyat, ternyata gagal total akibat dianggap sebagai sekadar gonggongan anjing yang tidak perlu digubris khafilah berlalu.

Fakta Bukit Duri masih dalam proses hukum tampaknya hanya dianggap semacam fata morgana menyesatkan oleh pemerintah Jakarta yang memang rawe-rawe-rantas-malang-malang-putung mati-matian berjuang melakukan penggusuran tanpa peduli hukum, HAM, KUHP, UUD 1945, Pancasila apalagi Pembangunan Berkelanjutan yang sebenarnya telah disepakati PBB sebagai pedoman pembangunan dunia termasuk Indonesia pada abad XXI tanpa mengorbankan lingkungan alam, sosial, budaya dan terutama manusia.

Menakjubkan, keteguhan iman pemerintah Jakarta dalam dogmatis melakukan penggusuran sehingga tidak peduli apapun, termasuk hukum. Apa yang terjadi di Jakarta sebagai ibukota Indonesia senantiasa menjadi suri-teladan bagi seluruh Indonesia.

Sekali lagi, saya mohon maaf atas kegagalan upaya saya mengurangi derita rakyat tergusur akibat keterbatasan kemampuan dan kekuasaan yang saya miliki sebagai hanya rakyat jelata yang memang mustahil berdaya melawan kebijakan, kehendak dan selera pemerintah yang sedang memegang kekuasaan.

Jakarta, 28 September 2016

JAYA SUPRANA, Rakyat Indonesia (*mc)

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Terpopuler

To Top