Nusantarakini.com, Jakarta-
KRISIS POLITIK JAKARTA*
Jakarta ramai aksi massa. Padahal tidak ada krisis moneter. Berarti ini krisis politik. Penyebabnya adalah Ahok.
Dalam setiap revolusi, pasti ada dua kubu antagonis: the ruling regime vs revolutionary mass. Duel antara petani vs penguasa tuan tanah terjadi di revolusi Perancis (1789), Tiongkok (1911) dan Iran (1979).
Di Jakarta, ada hot dispute antara penguasa (klik ahok) vs disgruntled public. Indikatornya adalah aksi demonstrasi dan caci-maki cyber. Sekalipun tidak ada kaum tani, bukan berarti revolusi menumbangkan Ahok tidak bisa pecah di Jakarta.
Prakondisi revolusi adalah “discontent” atau ketidak-puasan.
Economic discontent is prime motivator for every revolution. Ini jadi satu-satunya penyelamat Ahok. Jakarta belum dilanda krisis ekonomi seperti tahun 1998. Namun saya kira, sebuah revolusi bisa pecah sekali pun tidak dipicu oleh economic discontent. Pergantian rezim di Taiwan bisa jadi contoh klasik. Dan Ahok bisa mencatat sejarah baru soal revolusi itu.
Ahok terlalu pede dengan teori nyeleneh 50+1. Karena kurang pengetahuan dan jarang baca buku, Ahok ngga pernah tau pesan Margaret Mead: “Never doubt that a small group of thoughtful, commiitted citizens can change the world.”
Pesan ini juga harus diyakini Amien Rais, Ratna Sarumpaet, Ahmad Dhani, Lieus Sungkharisma, Panglima Jamran, Andi Rini Sukmawati, Habiburokhman, atau Wignyo dan para pimpinan massa kontra Ahok lainnya. Mereka sangat mampu menumbangkan rezim Ahok.
Dahulu Ahok hanya jadi musuh FPI. Sekarang Ahok sudah menjadi publik enemy semua golongan. Itu terbukti dari slogan-shift: “gubernur kafir” menjadi “penguasa zolim.” Ahok tidak lagi dicaci karena tidak sunat. Dia sudah dilempari batu dan diberi bingkisan women’s underwear. Bila show down di Penjaringan melibatkan dua remaja (Izfan dan Muhtadi), belakangan Ahok bahkan sudah dibenci “emak-emak.”
Dalam rangka menumbangkan rezim Ahok, kita tidak butuh international factor. Ini adalah rezim lemah, terlalu fokus pada personality cult, represif, tidak memiliki integritas moral dan hanya dibeking oleh segelintir taipan rasis. Semua ini merupakan sebagian derivasi yang providing a potent ideological mix for revolution.
Derivasi lain seputar fakta Ahok merupakan sebuah kecelakaan sejarah. Dia adalah produk gagal reformasi. Ahok menjadi aktor utama transisi politik yang memicu social tension (ketegangan sosial).
Another crucial structure that shape revolution is “the nature of the ruling Ahok regime”. Ini rezim dongo kata sejumlah netizen. Bagi korban gusuran, ini rezim represif, arogan, brutal dan keji. Bagi para pejuang muslim, ini rezim kafir. Sedangkan kaum marxis melihat Ahok sebagai representatif dari capitalist klasse.
Jadi faktor prakondisi revolusi tersedia, minimal beberapa dari faktor esensial. Namun, ada satu faktor lagi agar proyeksi menumbangkan Ahok terealisasi. Yaitu faktor “the people who act on those preconditions”. Di sinilah peran orang-orang seperti Amien Rais, Wignyo Prasetyo atau Andi Rini Sukmawati jadi penting.
Jakarta bisa mengambil format gerakan Indian Gandhiji atau Revolusi Castro dan Che Guevara di Cuba. Revolusi jenis ini memiliki “icon leader” sebagai pemimpin revolusi. Di sisi lain, ada contoh mass movement yang mengakhiri rezim komunis Jerman Timur tahun 1989 dan rezim Husni Mubarak di Mesir.
Sekali pun tidak ada “icon Castro” di Jerman Timur namun bukan berarti tidak ada induvidual “who act on those precondition”. Sekali pun Jakarta belum tahu “the end result” dari kegaduhan politik Ahok, namun those revolutionary figurehead sudah mesti harus lebih menggencarkan aksi kontra Ahok. Penuhi jalanan dengan aksi massa setiap hari. May God helps us all.
*Zeng Wei Jian, Aktivis 98
THE END (*mc)