Nusantarakini.com, Jakarta – Sebagaimana biasanya, menteri agama berkilah bahwa fenomena daftar tunggu haji hingga puluhan tahun bukan hanya dialami Indonesia. Dia mencontohkan Malaysia dan Singapura. Untuk hal itu, lagi-lagi menteri Syaifuddin berjanji mengupayakan tambahan kuota bagi Indonesia dari Kerajaan Arab Saudi.
Sebagaimana yang dialami oleh jamaah haji di Yogyakarta yang mendaftar haji tahun ini melalui jalur kuota haji reguler, harus tabah menunggu pemberangkatan pada tahun 2035. Berarti yang bersangkutan harus menanti selama 17 tahun. Bagaimana kalau yang bersangkutan sudah berusia 60 tahun? Tentu menunggu 17 tahun baru bisa berangkat haji cukup mencemaskan.
Di Banten lain lagi. Di provinsi tersebut, per awal Januari 2016 jumlah jamaah yang sudah memperoleh daftar tunggu (nomor porsi) mencapai 122.684 orang. Itu artinya, calon jamaah haji akan berangkat ke Tanah Suci 18 tahun lagi atau pada 2034.
Sedangkan di Jember, calon jamaah haji mesti menunggu 23 tahun untuk bisa berhaji. Baru pada 2039, calon jamaah haji yang mendaftar pada Februari 2016 bisa berangkat haji.
Data Kemenag sendiri secara nasional mencatat terdapat 3 juta orang yang sedang mengantre berhaji. Angka 3 juta daftar antri tersebut bukan angka yang sedikit. Dari sisi ekonomi, jika masing-masing menyetor Rp25 juta untuk memperoleh nomor porsi dengan waktu tunggu rata-rata 7 tahun, dapat dibayangkan berapa jumlah dana yang menumpuk tunai di kas-kas perbankan yang rekeningnya berada dalam kontrol Menteri Agama.
Kami sudah mensimulasikan dengan suku bunga deposito BRI dalam rentang 24 bulan saja. Jika penerimaan dana haji dari 3 juta pendaftar dengan uang muka Rp25 juta per orang, maka diperoleh Rp75 triliun.
Rp75 triliun diendapkan dalam skema deposito di BRI dengan suku bunga 4,25% dalam 2 tahun, maka diperoleh dana dari hasil bunga deposito sebanyak Rp7.125.000.000. Perlu dicatat, ini baru angka moderat. Bagaimana jika dana haji tersebut diinvestasikan oleh Kementerian Agama dalam berbagai skema yang sulit diperoleh transparansinya.
Soal pengelolaan dana haji yang menimbulkan banyak kecurigaan tersebut, sebenarnya telah dicoba diatasi dengan UU No.34 Pengelolaan Keuangan Haji. Sialnya, hingga hari ini, amanat dibentuknya Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) tampaknya sengaja disendatkan. Sebab disinyalir, bisnis politik haji terkait dengan jatah salah satu ormas besar di Indonesia.
Karena itu, solusi fundamental ataa masalah daftar tunggu haji, harus diselesaikan secara politik, bukan hanya teknis semata. Salah satunya, dengan tidak membiarkan “mafia haji dan umroh” tetap bercokol di Kementerian Agama. (sed)