Nusantarakini.com, Jakarta-
Pada 2012 ketika Jokowi hendak mencalonkan diri menjadi Gubernur DKI, salah satu isi kontrak politiknya dengan masyarakat yaitu tidak menggusur rumah-rumah warga. Lalu bagaimana nasib kontrak politik tersebut?
Seperti yang disaksikan hari ini, kontrak tinggallah kontrak. Penggusuran warga tetap tak bisa dicegah oleh Jokowi sekalipun kini dia telah menjadi Presiden, orang paling berkuasa di Indonesia.
Tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya bahwa penggusuran yang dilakukan oleh Ahok bertentangan dengan kontrak politik yang dia tandatangani sewaktu mencalonkan diri menjadi Gubernur DKI. Padahal orang tahu, Ahok merupakan tandemnya.
Memang banyak yang berspekulasi, penggusuran yang dilancarkan Ahok tidak akan terjadi jika tanpa restu Jokowi. Dia mungkin dapat berkilah, itu urusan DKI. Tapi istana berada di DKI. Keriuhan di DKI tidak mungkin tidak menjangkau kuping istana.
Begitulah kenyataan. Orang pun ambil kesimpulan, kalau kunci istana sudah di tangan, masa bodoh dengan tanda tangan di lembar kontrak.
Di dunia bisa masa bodoh. Tapi setelah ajal menjemput, tanda tangan di lembar putih kontrak itu, akan menuntut sampai di mana tanggung jawab. Tidak sehelai pun yang lewat tanpa pemeriksaan dan permintaan tanggung jawab oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Itu kalau masih ada iman. Tapi kalau orang tidak percaya dengan hari pertanggungjawaban setelah mati, mau apa. (sed)