Nusantarakini.com, Jakarta – Indonesia merayakan hari kemerdekaan yang ke – 71 tahun. Di sana sini warga merayakannya dengan suka cita. Apalagi istana.
Istana seperti biasanya rayakan HUT RI bagaikan ritual akbar. Mulai dari upacara hingga tetek bengek sudah menggambarkan ritual sakral. Padahal bukan itu yang dibutuhkan dari kemerdekaan.
Sekiranya biaya ritual upacara kemerdekaan dialokasikan untuk makan-makan warga yang tak beruntung secara massal, makna kemerdekaan pasti jauh lebih terasa.
Di tengah keberlimpahan materi pada segelintir warga, ternyata banyak warga yang masih hidup bagaikan rak punya negara. Makan saja harus berjuang.
Di Jambi, seorang ibu dan anak kecilnya harus makan daun untuk menyambung hidup. Di kota seperti Jakarta, apa saja kebutuhan harus dengan uang. Air minum yang harusnya gratis, terpaksa dibeli karena sungai-sungai dirusak oleh limbah pabrik dan warga. Di tengah beratnya kehidupan sebagian warga, segelintir pihak memanfaatkannya sebagai peluang bisnis. Akhirnya air yang harusnya gratis dari Tuhan kini harus dibeli.
Sistem uang yang intensif menjelma menjadi penjajah yang sadis dan bengis. Sementara pemerintah abai dari hal itu. Sistem persaudaraan, kekerabatan dan kekeluargaan makin redup sebagai penyangga sosial (social insurence) akibat terlikuidasi oleh sistem sosial yang mendasarkan individualisme dan pasar.
Di tengah suasana semacam itu, kemerdekaan dirasakan warga semakin hambar dan kehilangan arti. Itulah sebabnya, seorang warga sengaja membawa poster di jalanan ibukota yang menggugat arti kemerdekaan. Seperti biasanya, pemerintah buta dan tuli terhadap hal tersebut. (sed)