Nusantarakini.com, Jakarta-
Putusan Majelis Hakim PN. Jakarta Selatan terkait gugatan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melawan PT. National Sago Prima (PT. NSP) memberi harapan baru dalam penegakan hukum kasus lingkung -kebakaran hutan dan lahan- di Indonesia. Majelis Hakim dalam putusannya menyatakan PT. NSP bertanggungjawab atas kebakaran yang terjadi di lahan mereka. Walaupun terdapat dissenting opinion dari hakim anggota, hal itu tidak mempengaruhi isi putusan.
Koalisi Anti Mafia Hutan mengapresiasi putusan Majelis Hakim karena ini menunjukkan harapan atas penegakkan hukum terhadap korporasi pembakar hutan dan lahan. Selain itu, Koalisi mengimbau agar PT. NSP dapat menghormati putusan dan menaatinya, meski disadari masih terdapat peluang untuk melakukan upaya hukum terhadap putusan tingkat pertama ini. Selain itu, KLHK melalui Kuasa Hukumnya dalam perkara ini, Patra M. Zen menyatakan bahwa putusan dihasilkan dengan persidangan yang cermat ini menjadi penanda agar kejadian kebakaran lahan tidak terus berulang, dan penyelamatan lingkungan harus menjadi hal yang utama.
PT. NSP merupakan Sampoerna Agro Group yang beroperasi berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor: SK.77/Menhut-II/2013 Tanggal 4 Februari 2013 Tentang Penetapan Batas Areal Kerja Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu (IUPHH-BK) Pada Hutan Tanaman Industri Dalam Hutan Tanaman (Sagu) PT. NATIONAL SAGO PRIMA Seluas 21.418 (dua puluh satu ribu empat ratus delapan belas) Hektar di Kabupaten Kepulauan Meranti Provinsi Riau. Tahun, 2014 PT NSP juga pernah divonis pidana atas kasus kebakaran hutan dan lahan oleh PN Bengkalis. Saat ini sedang proses kasasi di Mahkamah Agung.
Dalam amar putusan dengan perkara nomor 591/Pdt.15/2015/PN.JKTSel, Majelis Hakim menghukum PT. NSP untuk membayar ganti kerugian lingkungan hidup atas kerusakan ekologis serta hilangnya keuntungan ekonomi sebesar ± 319 miliar rupiah, menghukum tergugat melakukan pemulihan lingkungan terhadap hutan yang terbakar pada lahan milik tergugat seluas + 3.000 Ha dengan total biaya pemulihan ± 753 miliar rupiah, dan membayar biaya perkara. Total dari kerugian yang dibebankan kepada PT. NSP ± 1 triliun rupiah. Nilai ini jauh lebih tinggi dibanding putusan yang pernah ada sebelumnya pada kasus kebakaran hutan dan lahan. Adapun sita jaminan yang dimohonkan penggugat ditolak oleh majelis hakim.
Hal yang menarik dalam putusan PT. NSP adalah pertimbangan hukum hakim yang menyatakan perusahaan tetap bertanggungjawab atas kebakaran yang terjadi di lokasi izinnya, baik yang disebabkan oleh perusahaan atau bukan. Pertimbangan ini merujuk pada Permenhut No. 12 Tahun 2009, dan beberapa aturan terkait lainnya. Pertimbangan ini tentunya membuka harapan yang selama ini redup, karena berkaca pada pertimbangan Hakim di perkara lain yang juga diajukan KLHK, menyatakan bahwa perusahaan tidak bertanggungjawab atas kebakaran yang terjadi karena disebabkan oleh pihak lain atau masyarakat. Pandangan hukum Majelis Hakim pada putusan PT. NSP ini patut jadi pertimbangan, bahkan rujukan hukum di kemudian hari untuk kasus yang serupa, khususnya untuk menindak perusahaan yang terlibat dalam kebakaran hutan dan lahan tahun 2015. Hal ini bukan sekedar mengejar ganti kerugian oleh perusahaan, tapi juga memaksa perusahaan untuk beroperasi dengan benar, khususnya mengawasi konsesi mereka dari kebakaran lahan yang hampir terjadi tiap tahun.
Atas putusan Majelis Hakim terhadap PT. NSP, Koalisi Anti Mafia Hutan menyatakan:
1. KLHK harus memastikan dan mengawal tahapan lanjutan yang akan ditempuh PT. NSP, serta memastikan PT. NSP menjalankan hukuman yang telah diputus oleh Majelis Hakim;
2. Mendesak KLHK untuk memproses secara hukum perusahaan-perusahaan yang terlibat selama kebakaran hutan dan lahan tahun 2015
3. Mendesak KLHK mengambil alih 15 korporasi diduga pembakar hutan dan lahan tahun 2015 yang dihentikan Polda Riau tahun 2016, untuk segera diproses secara pidana dan perdata;
4. Presiden segera menerbitkan Perpres pasca putusan MK No 18/PUU-XII/2014 terkait perubahan pasal 95 ayat 1 UU PPLH yang berbunyi: dalam rangka penegakan hukum terpadu, pelaku tindak pidana LH termasuk tindak pidana lain yang bersumber dari pelanggaran UU ini, dilakukan penegakan hukum terpadu antara Penyidik PPNS, Kepolisian dan Kejaksaan di bawah Koordinasi Menteri. Karena, terbitnya Perpres ini, dapat menghindari SP3 (surat perintah penghentian penyidikan) seperti kasus kebakaran hutan di Riau.
Koalisi Anti Mafia Hutan
AURIGA – Jikalahari – Riau Corruption Trial – ELSAM – WALHI – PIL-Net – ICEL- YLBHI (*mc)