Nusantarakini.com, Jakarta – Peristiwa kudeta di Turki, mencuatkan nama, yaitu Gulen. Siapa dia?
Namanya lengkapnya Muhammad Fethullah Gulen. Lahir di Korochuk, desa kecil di Provinsi Erzurum, Turki, pada 1938. Besar dalam keluarga yang saleh.
Ramiz Afandi, ayahnya, seorang ulama yang santun. Rafiah Hanim, ibunya, juga dikenal taat beragama. Ibunyalah yang mengajarkan Al-Qur’an kepada Guleb saat kecil.
Pada usia empat tahun, Gulen sudah mampu khatam Al-Qur’an dalam waktu sebulan. Ibunya biasa membangunkannya tengah malam untuk mengajarkan Al-Qur’an.
Kediaman orang tuanya menjadi tempat jamuan seluruh ulama dan sufi terkenal di daerahnya. Karena itu, sejak kecil, Gulen sudah dekat dengan ulama dan akrab dengan para sufi. Ini mungkin yang membedakan kecenderungan gerakannya dengan Ikhwanul Muslimin yang tidak terlalu dekat dengan kalangan sufi. Ayahnya sendiri mengajarkan bahasa Arab dan Persia.
Pendidikannya di waktu kecil banyak bersifat tradisional Islam. Dari seorang ulama bernama Usman Bektasy, ia menimba ilmu nahwu, balaghah, ushul fiqh dan akidah. Ilmu-ilmu umum dan filsafat juga tidak ketinggalan ia pejari. Pada masa studinya, ia terlibat gerakan santri An-Nur yang diinspirasi oleh Badiuzzaman Said Nursy.
Badiuzzaman Said Nursy dapat dikatakan sekaliber pengaruh Syeikh Waliyullah Ad-Dahlwi di anak benua India. Dari buku Risalah Nur yang ditulis ulama besar tersebut, Gulen menyerap beragam pengertian Islam atas berbagai hal dan masalah.
Wajar kemudian, secara intelektual dan spritual, pemikiran Fethullah Gulen merupakan implementasi ide Said Nursy di lapangan riil.
Debut karir sosialnya dimulai tatkala pada usia dua puluh tahun dia diangkat sebagai imam di Mesjid Ujj Syarfeli di kota peristirahatan para sultan Turki di masa lalu, yaitu Edirne. Di sana ia melakukan olah jiwa dalam nuansa zuhud. Dia memutuskan untuk berdiam di mesjid dan tidak keluar, kecuali untuk urusan yang penting. Lagi-lagi, sejak muda dia telah cenderung kepada sikap hidup para sufi ketimbang sikap hidup para qadli yang biasanya censerung realistik dan fikhiyyah. Latar kejiwaan ini kelak membuat diri dan gerakannya bergesekan dengan para ikhwan yang lebih kental nuansa fikhiyyah dan rasionalistiknya.
Pada tahun 1970, ia mulai mendirikan pondok untuk para pemuda yang menuntut ilmu agama dengan arahan kurikulum dari dirinya. Pada tahun 1971, militer Turki menahannya. Ia dituduh mengubah prinsip-prinsip sekuler negara Turki. Selama enam bulan ia ditahan dan kemudian memperoleg amnesti.
Jika Anda penikmat sinetron Turki yang sempat booming beberapa waktu lalu, Gulen pindah dari kota ke kota seperti Edirmet, lalu Manisa, kemudian Bournuva di Privinsi Izmir dan berada di Izmir hingga 1980.
Dilatari oleh kehausan para pemuda akan siraman Islam yang segar, ia menyelenggarakan seminar, kuliah dan pelatihan di berbagai wilayah dalam beragam topik aktual dengan tendensi fiksafat, akidah dan ilmiah yang kental. Kelak, sifat kuliahnya bersifat ilmiah, aqidah dan falaafati itu, menjadi karakter dari seluruh sekolah-sekolahnya di Turki maupun luar negeri. Di Indonesia, jaringan sekolahnya dikenal dengan Pasiad.
Audiensnya pada umumnya adalah pemuda. Anak-anak muda ini kemudian membantunya membentuk komunitas-komunitas. Seiring waktu, komunitas-komunitas yang terhubung dengan pengajaran Islam dari Gulen tersebut meluas ke berbagai wilayah, negara dan profesi.
Pengikut Gulen tersebut mengisi lapisan kelas menengah Turki saat ini dan beberapa pos kekuasaan, termasuk militer. Hal itu wajar saja, mengingat dakwahnya sudah berjalan puluhan tahu.
Di awal pemerintahan Erdogan, pengikut Gulen banyak terserap sebagai pendukung pemerintahan yang dimotori AKP tersebut. Tetapi seperti yang diulas sebelumnya, kecenserungan Gulen yang sufi dan AKP yang fikhiyah, memberikan nuansa ketidakcocokan fsikologis politis di antara mereka. Akhirnya pecah kongsi pun tak dapat dihindarkan. Fathulleh Gulen memilih keluar dari Turki dan tinggal di Amerika Serikat demi keselamatan dirinya. (sed)