Nusantarakini.com, Jakarta-
Di tengah kegalauan dan kelelahan rakyat Indonesia menunggu datangnya bukti dari janji-janji para politisi dan juga yang sudah menjadi penguasa untuk menjadi lebih baik namun tak kunjung tiba, nampaknya tulisan Kang Yudi ini mampu menghentakkan denyut nadi kita.
Berikut Tulisan selengkapnya:
Makrifat Pagi
by Yudi Latif
Saudaraku, kita tak bisa terus menunggu. Kita biarkan bangsa ini hancur atau bangkit bertempur.
Tanpa beringsut menjemput matahari, kita akan tertinggal kecepatan retakan yang bisa merobohkan keutuhan negeri.
Engkau saksikan sendiri, elite negeri beradu siasat dengan melihat segala sesuatu dari sudut bayangan kepentingan masing-masing. Keakuan dan kekamian menikam kekitaan.
Rakyat kebanyakan hidup tanpa perlindungan berarti dari negara, bak yatim piatu yang ditinggalkan, dikhianati, dan dikorbankan.
Dalam kondisi kerakyatan yatim piatu, bahaya terbesar muncul dari pola pikir ketergantungan dan mentalitas korban yang serba pasif, menanti kedatangan sang juru selamat.
Krisis kebangsaan takkan pernah bisa diselesaikan bilamana rakyat terus memandang kepahlawanan sebagai sesuatu yang berada di luar dirinya.
Ketimbang terus menunggu kedatangan pahlawan di luar sana, lebih baik warga menghidupkan kekuatan kepahlawanan dalam diri sendiri.
Psikolog Carl S Pearson mengingatkan bahwa orang-orang biasa bisa menghadirkan kehidupan luar biasa apabila mampu mendayagunakan model fitrah (archetypes) kepahlawanan dalam diri.
Pertama, model yatim piatu (orphan), dengan memandang hidup sebagai penderitaan, dan tugas kepahlawanannya adalah berjuang mengarungi kesulitan.
Kedua, model pengembara (wanderer), dengan memandang hidup sebagai petualangan, dan tugas kepahlawanannya menemukan kesejatian diri.
Ketiga, model pendekar (warrior), dengan memandang hidup sebagai pertarungan, dan tugas kepahlawanannya adalah membuktikan harga diri.
Keempat, model murah hati (altruist), dengan memandang hidup sebagai komitmen terhadap kebajikan lebih luhur, dan tugas kepahlawanannya adalah menunjukkan pertolongan (pelayanan).
Kelima, model bersahaja (innocent), yang memandang hidup sebagai keriangan, dan tugas kepahlawanannya adalah meraih kebahagiaan.
Keenam, model tukang sulap (magician), dengan memandang hidup sebagai seni menciptakan dunia, dan tugas kepahlawanannya adalah mentransformasikan diri.
Di tengah kegaduhan pesta pora elite negeri yang mabuk kepayang, yang melupakan dan menelantarkan rakyat sebagai yatim piatu, warga tidak bisa terus meratapi penderitaan sambil melamunkan kedatangan sang mesiah.
Warga harus bangkit bertempur, menghidupkan fitrah kependekaran dalam dirinya. Dengan menghidupkan jiwa kependekaran, warga bisa menjalani kehidupan lebih gigih dan bertenaga, tak lembek membiarkan kejahatan dan pengkhianatan berjalan tanpa perlawanan. Dengan pengaktifan daya-daya perjuangan, tanpa perlu kekerasan, warga bisa terlibat dalam tarian kehidupan (the dance of life), tidak sekadar penonton yang cuma pandai berteriak, mengumpat, dan mengeluh.
Ketika politik di negeri ini menjelma menjadi seni memerintah dengan menipu rakyat, yang menjadikan kekuasaan sebagai sarana pemenuhan keserakahan, kepahlawanan yang harus dibangkitkan dari dalam diri adalah jiwa ”murah hati” (altruist).
Di dalam budaya kependekaran, pencapaian adalah segalanya. Namun, kita semua suka dinilai sebagai manusia, terlepas dari apa pencapaian kita. Tanpa orang-orang yang bekerja tanpa pamrih, memberikan cinta dan kepedulian tanpa berharap balasan, kehidupan masyarakat seperti arena transaksi jual beli yang kering dan mandul.
Kita perlu memiliki makna hidup yang lebih luas sebagai panduan hidup, yang tidak sekadar didorong oleh nafsu meraih kekuasaan dan uang. Jiwa altruist melambangkan semangat berbagi dan kelimpahan kasih, yang dapat menyuburkan kembali bumi yang tandus. Jika negara ini dirundung banyak penyakit, tiada lain karena yang ditumbuhkan dalam kehidupan adalah rakus dan dengki. Jalan cinta dengan semangat berbagi dan melayani adalah obat mujarab yang memberi kesehatan pada kehidupan.
Akhirnya, di republik korup yang dirayakan oleh maling teriak maling, ratusan undang-undang dibuat untuk dilanggar, dan berbagai prosedur direkayasa untuk menjadi perangkap ketersesatan baru; yang diperlukan untuk mentransformasikan kehidupan adalah aktor politik yang mampu menghidupkan kekuatan magician.
Magician menjalani hidup bersahaja (innocent), tetapi lebih aktif sebagai pembuat perubahan. Seorang magician bersedia bangkit berdiri, bahkan jika penuh risiko atau menuntut perubahan revolusioner.
Namun, berbeda dengan para warrior, aktor-aktor magician tidak berilusi untuk mengontrol sepenuhnya kehidupan; sebaliknya mereka bersedia membiarkan dirinya menjadi bagian yang ditransformasikan oleh kehendak zaman.
Dengan demikian, mereka mampu membaca arus dan arah pergerakan kehidupan lebih jernih yang dapat memberikan efek perubahan lebih dahsyat, yang tampak seperti magic.
Jika para warrior berstrategi menggunakan kehendak dan kekerasan hati untuk membuat perubahan, para magician percaya kekuatan visi akan menciptakan momentumnya tersendiri. Karakter seperti itulah yang tampak dari para magician terkemuka dunia, seperti Mohandas K Gandhi dan Martin Luther King.
Kalau ada yang paling salah dalam proses pembelajaran politik di negeri ini, hal itu tak lain pahlawan selalu ditempatkan di kesilaman di luar diri, tetapi tak pernah dihadirkan di kekinian di dalam diri. Pahlawan selalu merupakan sesuatu tanpa penantian dan kematian, tidak pernah menjanjikan kehadiran dan kehidupan.
Saatnya kita jadikan kepahlawanan sebagai sesuatu yang hidup di dalam diri, sekarang dan di sini, dengan mentransformasikan diri secara terus-menerus sehingga mampu mengubah situasi penderitaan menjadi wahana penempaan diri menjadi seorang magician.
(*mc/sumber FB Yudi Latif/foto atjehcyber.net)