Nusantarakini.com, Jakarta – Sekolah, sudah merupakan hal yang inheren dalam ritme kehidupan kita. Seolah tanpa sekolah, kita tak akan dapat menjalani kehidupan dengan baik dan berhasil. Orang yang tidak mengecap masa sekolah, disimpulkan sebagai orang yang malang, rendah dan asing.
Demikianlah kita memperlakukan sekolah sebagai suatu rukun kehidupan. Karena itu sedaya upaya, para orang tua mengirimkan anak-anaknya ke sekolah dengan harapan, kelak anak-anaknya dapat menjalani kehidupan sebagaimana anak-anak yang lain pada umumnya.
Dari pandangan semacam itu, sekolah tak ubahnya sebagai penentu identitas dan status seseorang. Sekolah melampaui fungsinya sebagai tempat belajar mengatasi masalah kehidupan. Itulah sebabnya kerap kali sekolah gagal memenuhi fungsi hakikinya–sebagai tempat belajar menghadapi dan mengatasi masalah kehidupan–akibat terlalu larut mengejar fungsi sumplementatifnya yaitu sebagi simpul pembentukan identitas dan status sosial manusia dewasa ini. Para orang tua pun pada umumnya tersesatkan untuk lebih mengejar dan menuntut sekolah yang menonjolkan fungsi pembentukan identitas dan status sosial. Semakin tinggi nilau identitas dan status sosial sebuah sekolah di mata para orang tua dan masyarakat, semakin berbondong-bondong para orang tua mengirimkan anak-anaknya ke sekolah semacam itu.
Padahal nilai identitas dan status suatu sekolah amatlah relatif dan terkait langsung dengan harapan materialistik pada suatu masyarakat. Gejala ini pada akhirnya dapat menggelincirkan sekolah sebagai penanaman bibit-bibit naluri dan nilai ke arah korupsi. Endingnya ialah sekolah semacam itu tak lebih dari pada pabrik sosial dan intelektual (supply) yang berusaha untuk selaras dengan demand (tuntutan) masyarakat pelanggannya. Akhirnya sekolah ditentukan oleh nilai-nilai dan tuntutan materialistik masyarakat konsumennya.
Tentulah sekolah semacam itu melenceng dari hakikatnya. Sampai sejauh ini di masyarakat kita di Indonesia, justru sekolah semacam itulah yang dicari-cari bagi tempat belajar anak-anak generasi muda. Tidak peduli harganya mahal dan berimplikasi luas bagi pembentukan watak anaknya kelak dan watak masyarakat secara keseluruhan. Karena yang penting bagi para orang tua tersebut, anaknya terhubung dengan komunitas sekolah semacam itu supaya kelak anaknya lebih mudah melanjutkan ke jenjang sekolah yang lebih tinggi meskipun dengan warna dan pola yang sama.
Demikianlah para orang tua memandang sekolah tak lebih dari sekedar alat untuk meraih lebih mudah tujuan-tujuan hidup yang dekat seumpama pekerjaan yang baik, koneksi yang akan memudahkan pekerjaan, status sosial, dst, yang semuanya bermuara pada kemudahan mendapatkan uang.
Akibat cakrawala pemikiran masyarakat terhadap sekolah semacam itu, maka wajarlah sekolah mengambil posisi sebagai penyedia akan harapan-harapan dan tuntutan-tuntutan para orang tua tersebut. Langka jumlahnya sekoah yang berada di luar format semacam itu.
Padahal jika kita renungkan dalam-dalam, betulkan kita sebagai orang tua hanya berhajat pada sekolah yang dapat memudahkan anak-anak kita kelak mendapatkan uang? Pertanyaan ini membawa kita pada pertanyaan berikutnya: apakah keterampilan mendapatkan uang harus dengan mengirimkan anak-anak kita berada dalam gemblengan sekolah selama 16 tahun (SD – PT)? Kenapa lama sekali?
Mungkin para orang tua akan berapologi: tentu bukan keterampilan mencari uang sebab anak-anak dikirimkan ke sekolah. Anak-anak di sekolah juga belajar menguasai aneka ilmu dan juga bersosialisasi? Kita jawab, ilmu untuk apa yang mereka pelajari? Sosialisasi macam apa yang mereka pelajari? Dan untuk apa semua itu? Untuk memudahkan dan pandai mengatasi hidup mereka, bukan?