Nusantarakini.com, Jakarta – Ada pertanyaan, mengapa negeri dengan penduduk mayoritas muslim, tapi ekonominya dikuasai bukan muslim? Bahkan beberapa provinsi malah gubernurnya non Muslim. Mengapa? Kini malah semakin mengental kehawatiran bahwa suatu saat kelak otoritas puncak secara formal dipegang oleh non muslim disebabkan jalan ke arah itu semakin mulus dengan sistem yang ada.
Selain hal di atas, pertanyaan berikutnya adalah mengapa media hampir didominasi oleh non muslim? Padahal yang membeli dan mengonsumsinya adalah kaum muslim. Sebutlah Kompas di lini cetak yang berkuasa lebih dari setengah abad dari tahun 1965. Bayangkan lebih dari satu generasi koran katolik itu membentuk opini umat Islam dengan leluasanya tanpa interupsi apalagi koreksi. Bahkan orang Muslim pulalah yang menjadi pelanggan setianya sekaligus pengiklannya. Kemudian media tv yang dikuasai oleh MNC Group dengan bosnya yang juga non Muslim, Harry Tanoe. Berlebihankah jika hal ini dipertanyakan? Mengapa kaum Muslimin Indonesia seolah tidak merasa menerima kerugian dengan hal itu? Bukankah dengan berkuasanya non muslim di sektor media berarti sama dengan membiarkan bahkan menyokong mereka membangun panggung yang dirancang dan diisi sesuai keinginan mereka, siapa yang tampil dan siapa tereliminasi? Apa yang harus disuguhkan dan apa yang harus dipendam, sedangkan kaum muslimin menyetor dana secara sistematis untuk panggung yang merugikan mereka itu? Bukankah suatu kebodohan bahwa kaum muslimin menyetor uang untuk "menghantam dan merusak mereka" sedang mereka tidak menyadari? Lantas dimanakah sebab kebodohan ini berlangsung begitu lama?
Pertama, tidak berjalannya prinsip al wala wal bara’ atau prinsip kapada apa harus loyal dan tidak. Prinsip penting ini asing di telinga umum karena kurang diajarkan. Lihatlah praktik tokoh-tokoh umat yang lebih lengket dengan non muslim ketimbang sesama muslim. Sekiranya prinsip ini berjalan, orang muslim secara otomatis memiliki rasa selektif mana yang harus dibeli atau tidak.
Sudah bukan rahasia lagi, keadaan kosongnya kesadaran al wala wal bara’ ini dimanfaatkan oleh orang lain untuk legitimasi politik nasionalnya. Padahal yang dibarterkan hanya sejumput gengsi dan bantuan sedikit, sedang mereka menangguk untung berupa pertumbuhan nilai perusahaannya akibat lingkungan pasar dan produksi yang kondusif diberikan umat Islam Indonesia kepada mereka.
Kedua, tidak dijalankannya ajaran halal dan haram secara ketat. Terutama tidak dilaksanakannya ajaran keharaman riba. Riba sejatinya mekanisme eksploitasi oleh segelintir produsen atau penguasa modal terhadap konsumen dengan cara-cara langsung maupun tidak langsung secara sistematis dan memaksa.
Ambil contoh produsen makanan ketika mengalirkan produknya ke pasar, dia menetapkan harga secara sepihak. Kemudian saham perusahaannya dia jual ke bursa saham berdasarkan perhitungannya sendiri. Semakin meningkat pembelian dari konsumen, semakin meningkat harga sahamnya. Keuntungan dari penjualan saham itu sebenarnya diambil dari eksploitasi terhadap konsumen, produk dan tenaga kerja. Keuntungan dari saham tersebut sepenuhnya dinikmati dan dikontrol produsen, sedangkan kaum muslimin sebagai konsumen dan buruh tidak kebagian apa-apa. Padahal akibat legitimasi, daya beli dan tenaga badan merekalah saham produsen non muslim itu nilainya mengalami peningkatan. Apakah ini tidak bodoh?
Cara ini tidak ditemukan eksprimennya dalam sistem perdagangan di masa lalu. Tetapi, larangan terhadap eksploitasi jauh-jauh hari digariskan oleh agama baik Islam, Ktisten dan Yahudi, namun ditabrak oleh karena kerakusan manusia. Semoga kita sadar pentingnya prinsip al wala wal bara’ dan ajaran halal-haram serta riba. (sed)