Nusantarakini.com, Jakarta – Indonesia dapat dikatakan suatu negeri anomali. 85% penduduknya Muslim, tapi ekonominya dikuasai non Muslim. Mulai dari sektor perdagangan hingga manufaktur. Konglomerasi yang merupakan ciri dari perekonomian nasional negeri ini, 90% merupakan terdiri atas keluarga-keluarga keturunan China dengan agama selain muslim. Tetapi pada umumnya birokrasi dan sektor politik didominasi oleh pribumi yang kebanyakan Muslim.
Seiring perkembangan sistem politik negeri ini menjurus kepada sistem demokrasi langsung dan liberal, dominasi Muslim dan pribumi di sektor politik mulai terkoreksi. Dengan demikian lambat laun akan ada perubahan konfigurasi di sektor politik. Anehnya di sektor ekonomi, perubahan konfigurasi tidak mengalami pergeseran. Yang terjadi malahan pemapanan dan ekspansi secara internasional. Konglomerat-konglomerat non muslim seperti Ciputra Group, Lippo Group, Salim Group, Sinar Mas, dan sejenisnya semakin memantapkan diri tidak saja menguasai kue nasional Indonesia, malahan merambah ke berbagai negara. Tentu saja modal ekspansi tersebut berasal dari eksploitasi terhadap pasar dan bahan mentah yang dinikmati di Indonesia. Dengan demikian group-group konglomerat tersebut semakin meningkat pengaruh dan daya tawar politiknya bagi Indonesia. Sewaktu-waktu mereka dapat saja memindahkan modalnya ke luar negeri. Mereka pada akhirnya tidak membutuhkan negara Indonesia setelah bertahun-tahun menikmati kue ekonomi Indonesia.
Tidak banyak negara memiliki keanehan struktur ekonomi seperti Indonesia. Pada umumnya, dominasi ekonomi paralel dengan dominasi politik. Ternyata hal itu tidak berlaku di Indonesia. Menjelaskan anomali yang unik ini, tidak cukup menganalisanya dari perspektif ekonomi politik. Penting diuraikan di sini perspektif motivasi yang tentunya merupakan domain kebudayaan.
Lalu apa hubungannya dominasi ekonomi non Muslim dengan perspektif motivasi?
Kebudayaan suatu kelompok manusia memiliki motivasi yang khas satu sama lain. Bila dapat dipandang bahwa non muslim keturunan China di Indonesia merupakan suatu kelompok manusia tersendiri berbanding dengan kelompok manusia muslim pribumi, maka jelas terlihat antar kedua kelompok memiliki motivasi hidup hidup yang berbeda. Perbedaan motivasi ini mempengaruhi cakrawala pikiran dan jalan berpikir, sehingga satu sama lain sebenarnya berbeda. Bila kelompok yang pertama memili motivasi yang kuat untuk mempertahankan diri dengan cara menguasai kekayaan, sedangkan yang kedua dapat dikatakan lemah pada motivasi semacam ini. Kelompok kedua hanya memiliki motivasi untuk berkuasa secara politik dan sosial, bukan berkuasa secara ekonomi. Karena itu, mengejar status sosial sebagai subjek yang dihormati oleh karena pengaruh sosial dan jabatannya, sangat kuat ketimbang karena kekayaannya. Bila kelompok manusia China non muslim meyakini “kekayaan akan diikuti oleh kekuasaan dan jabatan”, sedangkan kelompok manusia muslim pribumi meyakini “kekuasaan dan jabatan akan diikuti kekayaan”. Walhasil kedua kelompok ini hubungannya bersifat asimetris. Celakanya dengan berlakunya sistem rekruitmen kekuasaan yang bersifat langsung yang memberikan kesempatan bagi berkuasanya pengaruh uang, kelompok kedua kehilangan dayanya akibat ‘pengaruh’ dapat dibeli. Karena itu, siapa yang memiliki sumber daya ekonomi, dia pulalah yang akan menguasai politik. Walhasil, kelompok china non muslim menemukan jalan tol untuk mengambilalih kekuasaan dari tangan muslim pribumi, baik dihendaki secara terbuka seperti yang ditunjukkan oleh Ahok sebagai eksponennya, maupun lewat belakang layar seperti yang ditunjukkan oleh James Riyadi maupun Rusdi Kirana.
Sementara itu, terdapat pula mentalitas khas dari kelompok muslim pribumi pada umumnya, yaitu “mudah dibeli sikapnya” hanya dengan sogokan materi. Apakah hal ini bawaan atau bentukan dari keadaan yang menahun sebagai pihak yang mengalami kemiskinan material. Saat kesenangan diberikan sedikit, langsung berubah sikap.
Tampaknya mentalitas buruk ini dikenali dengan baik oleh kelompok china non muslim. Itulah sebabnya praktik sogok secara langsung atau tidak langsung, dengan uang atau pemberian sarana atau juga program, hadiah saham atau jabatan dalam bisnis, merupakan modus yang lumrah untuk menjinakkan sikap kelompok yang kedua.
Jika kita cermati bagaimana kelompok yang pertama menangani kelompok yang kedua, senantiasa dengan cara semacam itu. Sogokan dengan cover upeti atau pun hadiah materi atau jabatan bisnis seperti komisaris, hal yang lumrah terjadi. Tentu hal itu bukan gratis. Malahan imbalannya jauh lebih mahal, baik secara sosial maupun politik.
Kelompok pertama tahu persis motivasi hidup kelompok yang kedua: ingin hidup enak, jabatan tinggi, uang berlimpah dengan kerja ringan, bahkan tidak perlu kerja. Motivasi tersebut dibeli langsung oleh kelompok pertama, tentu dengan kompensasi pemberian perlindungan (proteksi) dan kemudahan ekspansi ke bawah bagi usaha kelompok pertama. Jalur ke lapisan bawah pada umumnya memang dikuasai oleh kelompok kedua mengingat jalur itu adalah bagian dari mereka. Oleh karena itu jangan heran bila dalam suatu perusahaan mereka banyak bertabur bintang dan kumis melintang.
Dengan demikian seringkali tercipta hubungan simbiosis mutualistik sekalipun dalam skala luas dan term jangka panjang akan lebih merugikan kelompok kedua.
Untuk mengenali sifat tamak dan murahan kelompok kedua, biasanya diajak makan malam atau makan siang bersama. Apabila person dari kelompok muslim pribumi itu terlihat tamak makannya, maka sudah pasti orang tersebut dapat disogok dan diperalat dengan pemberian materi. Wallahua’lam.