Nusantarakini.com, Jakarta – Pada 7 Mei 2015, Presiden Jokowi meresmikan armada tol laut sebagai realisasi dari visi Poros Maritim dalam rangka membangkitkan kembali bangsa Indonesia sebagai bangsa bahari sekaligus memperlancar transportasi ke Indonesia bagian timur. Hal itu dimaksudkan secara ekonomi agar harga-harga barang di bagian timur Indonesia mendekati harga-harga di bagian barat Indonesia. Ide ini hampir sama dengan sebelumnya yaitu konsep “Transportasi Laut Pendulum”, transport laut ulang-alik Barat-Timur. Untuk proyek tol laut pemerintah rencananya akan mengucurkan Rp 60 triliun, termasuk menambah armada kapal laut.
Lantas sudah sejauh mana progres realisasi program unggulan Jokowi tersebut? Bagaimanakah kondisi Transportasi Laut saat ini?
Sigid Kusumawidagdo, seorang ekonom menguraikan, bahwa kemajuan yang dicapai. Malah ancaman krisis transportasi lautlah yang kini menghadang. Kapal-kapal yang ada menganggur saat ini.
Ketua Asosiasi Pengusaha Pelayaran Nasional (INSA) atau Indonesian National Shipowners Association, Carmelita Hartoto, yang mempunyai 762 Pelayaran dengan 13.444 kapal, dalam rapat kerja INSA,16 Mei 2016 menggambarkan transportasi laut Indonesia di “ambang krisis” karena sekitar 60 % kapal dalam posisi “idle” atau menganggur:
a. 60 % kapal tongkang (umumnya pengangkut batubara) mengangur
b. 60 % kapal hulu migas menganggur
c. 40 % Kapal General Cago (angkutan barang umum) menganggur
d. Sisa kapal yang beroperasi mengalami kerugian dan sedikit sekali yang bisa melampaui “break-even point” atau impas. Padahal kapal-kapal biaya pemeliharaannya juga tidak kecil.
Sigid menyatakan sebab-sebabnya:
a. Lambatnya pencairan APBN sehingga proyek-proyek yang memerlukan transportasi laut tidak banyak terserap. Contoh, anggaran Kementerian PU & Perumahan hanya terserap 73 % di 2015.
b. Pangangkutan sumber daya alam dan mineral juga merosot di 2015.
c. Pertumbuhan ekonomi dan industri belum merata.
d. Tahun 2015 eksport Indonesia turun 14,62 % menjadi USD 150,25 milyard dan import turun 19,89 % menjadi UD 142,74 milyard, padahal di 2012 saja impor dan ekspor masing-masing di sekitar USD 190 milyard. Kapal-kapal INSA biasa digunakan untuk transportasi dari lokasi produksi ke pelabuhan ekspor di Jakarta, Surabaya, Belawan, dsb.
(
Dalam tulisannya Sigid menyatakan, Direktur Lalu Lintas & Angkutan laut Kementerian Perhubungan Adolf Tambunan di rapat kerja INSA (16 Mei 2016) meyebutkan biaya pengangkutan laut per container ke Papua masih tinggi. Biaya transportasi laut per satu container dari Tanjung Priok sebagai berikut:
a. Ke Papau = USD 1000
b. Ke Guang Zhou (RRT) = USD 400
c. Ke Singapura = USD 185
d. Ke Banjarmasin = USD 650
Sigid menolak klaim Menko Maritim baru-baru ini bahwa tol laut sukses menurunkan harga-harga di Fak-fak Kaimana untuk besi baja, kedelai, minyak goreng, daging ayam yang turun rata-rata tutun 19 %. Pertanyaannya apakah penurunan harga-harga itu karena adanya Tol Laut atau permintaan yang turun? Apakah bukan juga karena produksi lokal meningkat atau pulau-pulau terdekat mampu mensuplai lebih banyak (kecuali besi baja yang diambil dari Jawa yang turun harganya hanya 6 %).
Dia menyimpulkan bahwa armada maritim dunia tumbuh berlipat ganda didorong perdagangan antar negara yang meningkat pesat, bukan karena adanya armada laut, baru perdagangan meningkat. Tol laut di Indonesia tidak akan sukses kalau perdagangan antar pulau rendah, ekonomi tumbuh rendah dan tidak merata. Bukan “Trade Follows Ship” tetapi seharusnya “Ships Follow Trade”. Wajar jika para anggota INSA sangat resah tentang kelangsungan usaha mereka. Jangan sampai mereka pindah ke bidang usaha lain akibat tidak ada keuntungan, apalagi pemerintah dalam kebijakan barunya telah mengizinkan investor asing dapat memiliki porsi 100 % saham perusahaan pelayaran. Dia menghimbau, lebih baik uang Rp 60 trilyun yang akan dikucurkan untuk tol laut dipikirkan kembali ketika banyak kapal menganggur. (sed)