Sebuah buku berjudul "Islam Jowo Bertutur Sabdaraja: Pertarungan Kebudayaan, Khasebul, dan Kerja Misi" yang ditulis oleh Bray Sri Paweling mengungkapkan bahwa lewat Sabda Raja yang menggegerkan itu, rupanya terdapat intervensi Katolik. Penulis itu menceritakan sebagai berikut.
Genderang perang kebudayaan telah ditabuh, meski tidak tampak, cenderung di bawah tanah. Kali ini momentumnya adalah Sabdaraja Sultan Hamengku Buwono X yang dibacakan pada 30 April 2015. Keputusan Sultan yang menghapus gelar kalipatullah memicu reaksi keras dari sejumlah kalangan, terutama dari kelompok Islam tradisionalis-Jawa. Bukan hanya persoalan politik dan ekonomi, tetapi yang jauh lebih “mengerikan”, menurut Bray Sri Paweling, penulis buku ini, adalah mengobrak-abrik sampai menghancur-leburkan tatanan kosmologi Islam Jawa.
Sepintas mungkin sederhana, tetapi tidak bagi Bray, yang dalam buku setebal 200 halaman ini tersaji data-data yang sebenarnya “sangat rahasia” bersumber dari informan internal keraton Yogyakarta, yang kemudian dianalis berdasarkan fakta-fakta dan diramu dengan jejaring pengetahuan sosial, khas disiplin antropologi. Buku ini bertumpu pada penelusuran tentang siapakah “pembisik” yang menskenarionakan terjadinya Sabdaraja itu?
Bray menuding kelompok yang disebutnya sebagai “Khasebul” merupakan penyebab malapetaka bagi keraton Yogyakarta dan Islam Jawa. Apa itu Khasebul? Memang tidak banyak literatur yang mengurai terminologi ini. Selain Bray, terdapat nama B. Suryasmoro Ispandrihari, seorang mantan Khasebul yang menulis untuk kepentingan skripsi di UGM dan diterbitkan secara terbatas berjudul Penampakan Bunda Maria: Counter Discourse atas Hegemoni Gereja dan Rezim Orde Baru (2000).
Khasebul adalah singkatan dari “kaderisasi sebulan” atau dalam pemahaman Suryasmoro sebagai “khalwat (retret) sebulan”, suatu program pendidikan kader Katolik secara nasional, yang menjalankan kerja misi doktrin agamanya. Pola pendidikan yang dikembangkan menganut cara-cara inteljen, mulai dari seleksi atau perekrutan maupun operasionalnya. Pater Beek, penggagas dan ideolog program ini, diduga agen CIA yang ditanamkan Amerika di Indonesia untuk melawan komunisme di masa orde baru.
Beek menularkan virus Islamfobia kepada agen-agen Khasebul, yang puncaknya setelah komunisme tumbang tahun 1965, terjadi kolaborasi Gereja Katolik, CSIS (Centre for Strategic and International Studies, yang personelnya banyak alumni-alumni Khasebul), dan Soeharto yang memandang bahwa lawan berat pada masa itu dari kalangan Islam. Sejak itulah alumni-alumni Khasebul melakukan kerja misi di semua sektor, baik politik, ekonomi, dan termasuk kebudayaan.
Nah, dalam konteks itulah, Keraton di Yogyakarta tidak luput dijadikan target misi oleh Khasebul. Tidaklah berlebihan jika kemudian ada keyakinan di kalangan misionaris katolik sendiri bahwa Yogyakarta dianggap sebagai daerah misi “paling subur”, yang tidak jarang menihilkan etika dalam toleransi, persahaban, dan hidup berdampingan secara damai. Mareka terkadang jumawa telah mampu membuat cetak biru benteng papat limo pancer, menggantikan konsep sedulur papat limo pancer-nya Kanjeng Sunan Kalijaga.
Hal itu bisa diamati dengan berbagai macam simpul yang menunjukkan ke arah tersebut. Di antaranya lewat pintu utama sang ratu, yang oleh Bray disebut sebagai sosok yang memainkan berbagai tekanan kuat di Keraton atas pengaruh dan kendali para fundamentalis alumni Khasebul. Komentar-komentar ratu yang terlihat lembut, melayani dan nderek sultan, sesungguhnya tak lebih sebagai unggah-ungguh dalam tradisi Jawa, tetapi kenyataanya dialah yang berperan aktif mengegolkan “proyek” Sabdaraja (hlm. 37). (bersambung)