Benarkah Kasebul-Katolik Dalang di Balik Sabda Raja untuk Singkirkan Islam dari Kraton Yogya? (Bagian 2)

Ada banyak data dan bukti yang ditunjukkan di buku ini, meski terkadang bernuansa konspiratif, mulai dari pelemahan peran ormas-ormas Islam seperti Muhammadiyah, NU, kelompok garis keras, LSM, dan lain-lain, sehingga mereka abai tidak melakukan kontrol ketat terhadap apa yang terjadi di lingkungan Keraton. Lemahnya peran dan kontrol kelompok-kelompok civil society ini kemudian dimanfaatkan oleh jaringan Khasebul untuk mencongkel simbol-simbol Islam dari lubuk hati Keraton melalui Sabdaraja.

Sekadar menyebutkan dari keberhasilan kelompok Khasebul yang sukses “meng-Katolik-kan” Keraton bisa diamati, misalnya, pada teks pembukaan Sabdaraja yang dibacakan oleh Sultan Hamengku Buwono X dengan kalimat: Gusti Allah, Gusti Agung, Kuoso Cipto, yang dapat dipahami sebagai terjemahan dari Trinitas Katolik (Tuhan Allah, Tuhan Yesus, dan Ruh Qudus) (hlm. 22). Atau berdasarkan informan Bray, yang menyatakan bahwa terdapat simbol-simbol Katolik, seperti simbol salib yang dipasang di beberapa ruangan di Keraton, tetapi kemudian dicopot kembali karena menjadi pembicaraan kalangan Islam Jawa.

Ada juga kesaksian alumni Khasebul yang disarikan dari obrolan lisan dengan informan yang kemudian dikutip juga oleh Bray. “Saya jangan diikut-ikutkan soal pembuat Sabdaraja ini. Saya masih yunior. Desain Sabdaraja itu, urusan senior-senior saya di kalangan alumni Khasebul… Saya sendiri tidak setuju dengan senior-senior alumni Khasebul, yang sampai terlalu jauh melakukan hal demikian. Ini jelas akan mencelakakan berbagai hubungan dan persahabatan yang selama ini dibangun di kalangan sesama anak bangsa” (hlm. 26).

Kerja misi Khasebul yang demikian memang sangat rapi, halus, dan terkoordinir sangat baik melalui beberapa jaringannnya. Tengoklah, ketika kisruh Sabdaraja yang memicu kontroversi dan polemik publik, tiba-tiba muncul tokoh-tokoh Khasebul: analis politik J. Kristiadi (CSIS), wartawan senior James Luhulima, dan budayawan Radhar Panca Dahana, yang memainkan opini publik dengan menulis di media mainstrem¸bahwa Sabdaraja dengan segala konsekuensinya merupakan keniscayaan atas nama demokrasi dan kemodernan.

Alhasil, babak baru Keraton Yogyakarta pasca-Sabdaraja menampilkan hal-hal modern, yang justru keluar dan menyimpang dari tradisi sakral yang sebelumnya terpelihara. Akhir Juni 2015, untuk pertama kalinya dalam sejarah keraton, menyelenggarakan grebeg gunungan yang tidak lazim, yaitu berisi 4000 batu akik.
Padahal menurut Bray, menjadikan akik sebagai simbol kesejahteraan rakyat Yogyakarta betul-betul merendahkan nilai luhur keraton dengan simbol yang banal, dangkal makna, dan hanya tren sesaat. Ini mengingkari simbol-simbol yang teratur sangat sistematis dalam gunungan grebeg keraton sesuai paugeran, yakni komoditas yang mencerminkan kesejahteraan rakyat Yogyakarta seperti bahan-bahan makanan pokok.

Setelah ditelusuri, ternyata otak dari ide gunungan batu akik itu adalah Widi Hasto Wasana Putra, direktur operasional dan pemasaran PT. Jogjatama Vishesa. Dia adalah alumni Khasebul yang menjadi mata rantai level bawah untuk operasi di DIY, dari jaringan yang melakukan kerja-kerja misi Katolik dengan cara yang canggih (hlm. 102).

Atas fenomena itulah, Bray yang merepresentasikan sebagai kelompok Islam Jawa menyatakan prihatin, dan menganggap pertarungan kebudayaan ini belum selesai dan akan terus diperjuangkan sampai titik darah penghabisan. Para generasi Islam Jawa perlu mencatat, tulis Bray, fundamentalisme Katolik adalah racun mematikan dalam memelihara hubungan perdamaian dan toleransi di Indonesia,g khususnya di Yogyakarta: bermuka musang, berbulu domba; manis cangkemnya, busuk agendanya; menawarkan madu di tangan, menyelipkan racun lewat tangan kiri; kaki kanan melangkah, kaki kiri menjegal. (sed)

Telusuri: http://tikusmerah.com/?p=1204#more-1204

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *