Nusantarakini.com, Jakarta –
Dalam rangka merayakan Hari Kebebasan Pers Internasional (WPFD) tahun 2016, Lembaga bantuan Hukum Pers (LBH Pers) mengirimkan rilisnya ke redaksi Nusantarakini.com. Dalam catatannya, masih banyak kekerasan yang dialami oleh para jurnalis dan terus terulang. LBH Pers juga mencatat terjadinya konglomerasi di industru penyiaran. Meskipun dari segi aturan, pemusatan kepemilikan perusahaan media lebih dari 1 wilayah siaran tidak diperbolehkan. Namun para stakeholder tetap membiarkannya.
Berikut pernyataan sikap selengkapnya yang diterima redaksi:
Hari Kemerdekaan Pers Se-Dunia
Pers Indonesia Diambang Kriminalisasi dan Konglomerasi
Kekerasan pada Jurnalis Terus Berulang
Setidaknya ada 47 kasus kekerasan terhadap jurnalis pada tahun 2015 dan ditambah 10 kasus pada 2016, tentu saja angka ini tidak mutlak karena tidak menutup kemungkinan kekerasan yang tidak terekpos melebihi jumlah ini. Kategori kekerasan yang paling banyak adalah kekerasan fisik yaitu penganiayaan atau pemukulan kemudian disusul dengan pelarangan liputan dan teror atau ancaman. Selanjutnya dengan intervensi, pembunuhan, tuntutan hukum, penggerudukan dan pelecehan.
Dari segi aktor dari kekerasan terhadap jurnalis, Kepolisian masih yang paling banyak melakukan, hal ini memang terlihat beberapa data yang kami himpun. Polisi yang seharusnya menjadi aktor pelindung bagi kebebasan pers kini seakan berbalik arah menjadi “penghambat kebebasan pers” yang pada akhirnya hak atas informasi masyarakat terlanggar.
Penganiayaan Zuhdy Jurnalis Riau Online
Daerah Sumatera pun tidak lepas dari perhatian, daerah ini masih banyak pelanggaran terhadap kebebasan pers, kasus yang belum lama terjadi adalah kasus Jurnalis Zuhdy di Pekanbaru, Zuhdy mengalami penganiayaan oleh pihak kepolisian saat sedang meliput. Polisi bukannya malu karena tindakan penganiayaan tersebut, malah melaporkan balik Zuhdy dengan pasal penghinaan terhadap lembaga Pasal 270 atau 310 dan 316 KUHP. LBH Pers selaku kuasa hukum Zuhdy, melaporkan tindakan kepolisian tersebut dengan dasar hukum sebagaimana diatur dalam pasal 18 UU Pers tentang tindakan penghalang-halangan peliputan. Saat ini kedua kasusnya masih terus berjalan, walaupun terbilang lambat.
Penyelesaian Pembunuhan Jurnalis yang Belum Tuntas
Sejak tahun 1996, setidaknya ada 9 kasus pembunuhan jurnalis yang sampai saat ini belum diselesaikan oleh Pemerintah Indonesia. Mereka adalah Fuad Muhammad Syarifuddin alias Udin 1996, journalisBernas Yogyakarta 1997, NaimullahjournalisSinarPagi 1999, AgusMulyawanjournalis Asia Press 1999, Muhammad Jamaluddin Kameramen TVRI 2003, ErsaSiregarjournalis RCTI 2003, Herliyanto freelance journalist 2006, AdriansyahMatra’iWibisono Jurnalislokal TV diMerauke Papua 2010, RidwanSalamunjournalis Sun TV and Alfred Mirulewandari tabloidPelangi 2010. Hal ini sangat ironis apabila saat Indonesia menjadi tuan rumah acara World Press Freedom Day pada tahun 2017 belum terselesaikan.
Trend Baru Pembungkaman Kemerdekaan Pers
Salah satu kasus yang menjadi perhatian di tahun 2015 ini adalah berubahnya pola ancaman kebebasan pers, pola tradisional seperti dahulu yang menjadi korban atau terlapor adalah pihak media atau jurnalis yang memberitakannya tapi pola itu bergeser terlapor atau korban adalah narasumber yang ada di berita tersebut. Seperti halnya kasus Ketua KY, Aktivis ICW Emerson Yuntho, Adnan Topan Husodo dan Erwin Natosmal Oemar.
Aktivis ini dilaporkan karena dianggap mencemarkan nama baik seseoranga tau lembagapublik.
Konglomerasi Kepemilikan Perusahaan Media
Sudah menjadi rahasia umum pemilik mayoritas perusahaan pers hanya oleh segelintir orang dan perusahaan induk tertentu. Seperti PT. Visi Media Asia Tbk. yang menguasai PT. Cakrawala Andalas Televisi (ANTV) dan PT. Lativi Media Karya (TV One), PT. Elang Mahkota Teknologi Tbk yang menguasai PT. Indosiar Karya Media yang memiliki PT. Indosiar Visual Mandiri (Indosiar) dan menguasai PT. Surya Citra Televisi (SCTV), PT. Media Nusantara Citra Tbk yang menguasai PT. Cipta Televisi Pendidikan Indonesia (TPI/MNC TV), PT. Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI) dan PT. Global Informasi Bermutu (GLOBAL TV) dan beberapa perusahaan media lainnya. Dalam segi aturan, pemusatan kepemilikan perusahaan media lebih dari 1 wilayah siaran tidak diperbolehkan. Namun para stakeholder tetap membiarkannya.
Ancaman Kebebasan Pers Kedepan
Pencemaran Nama Baik dalam revisi UU ITE
Setelah sekian lama didesak oleh masyarakat sipil, akhirnya drat perubahan UU ITE diserahkan kepada DPR RI untuk segera dibahas. Namun sayangnya draft tersebut masih jauh dari prinsip kebebasan berkespresi dan kebebasan pers. Karena pasal tentang pencemaran nama baik Pasal 27 ayat 3 di dalam draft tersebut tetap masih ada. Yang berbeda hanya sanksi hukumannya diturunkan dari 6 tahun penjara menjadi 4 tahun penjara. Dari pandangan sementara para anggota legislatif, masih melihat penting adanya pasal pencemaran nama baik.
Revisi UU Penyiaran yang Penuh Sensor
UU penyiaran saat ini sedang dibahas oleh legislatif, namun publik dianggap mengancam independensi karya jurnalistik karena sidang pembahasan revisi tersebut bersifat tertutup. Dari beberapa pasal yang berubah cukup drastis adalah tentang banyak sensor dibeberapa kegiatan penyiaran. Seperti pada pasal 140 Draft RUU penyiaran yang menyebutkan adanya kewajiban bagi media penyiaran dalam setiap isi siaran dan siaran iklannya untuk mendapatkan tanda lulus sensor dari lembaga sensor. Beberapa masalah laiinya adalah hilangnya pasal tentang aturan kepemilikan dan dibolehkannya memuat iklan sebanyak 40% dari jam siaran. Dari beberapa masalah di atas patut dicurigai ada niat yang tersembunyi dalam menentang demokratisasi penyiaran di Indonesia.
Kapitalisasi Pasal Anti Kebebasan Pers di RKUHP
Dalam rancangan KUHP yang kini sudah dalam proses pembahasan di Komisi III DPR, LBH PerstelahMengeluarkantinjauankritisterhadap RKUHP tersebutdan terdapat 68 pasal yang berpotensi mengancam kebebasan pers. Hal ini terlihat dari ancaman pidana yang fantastis baik denda atau kurungan, pencabutan praktik profesi, dan kumulasi pidana dengan denda yang besar serta pidana penjara. Selain itu, RKUHP juga banyak menjadikan delik yang semula diatur dalam KUHP (UU No. 1 tahun 1946) adalah delik materil menjadi delik formil.
Dengan beberapa masalah dan ancaman terhadap kemerdekaan pers di Indonesia, LBH Pers meminta:
- Presiden Ir Joko Widodo untuk memerintahkan kepada jajarannya terkait pentingnya kebebasan pers dan perlindungan jurnalis bagi negara demokrasi khususnya Indonesia. Dan memerintahkan kepada:
- Kapolri Badrodin Haiti untuk menindak tegas pelaku penghalang-halangan terhadap jurnalis yang sedang melaksanakan peliputan dan memberikan perlindungan pada saat jurnalis melakukan kerja jurnalistikanya;
- Kominfo Rudiantara untuk menindak tegas praktek-praktek pemusatan kepemilikan lembaga penyiaran di satu wilayah siaran;
- Anggota DPR RI untuk lebih teliti dan hati-hati dalam membahas peraturan yang berkaitan dengan kebebasan pers dan berekpresi, karena seperti yang sudah diungkapkan di atas bahwa kebebasan pers adalah syarat mutlak untuk negara demokrasi. Khususnya dalam revisi UU ITE, Penyiaran dan KUHP
- Mendesak Kapolri beserta jajarannya untuk mematuhi Nota kesepahaman Kapolri dengan Dewan Pers dalam menyelesaikan kasus-kasus yang berkaitan dengan Media.
- Meminta para Jurnalis senantiasa memenuhi standar kode etik jurnalistik dalam setiap aktivitas jurnalistiknya dan meminta media untuk memberikan perlindungan kepada para jurnalisnya dilapangan.
- Meminta kepada Perusahaan Media untuk memberikan hak-hak terhadap para jurnalis dan pekerjaannya sesuai dengan Undang-undang Ketenagakerjaan.
Jakarta, 02 Mei 2016
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers
Nawawi Bahrudin Asep Komarudin
Direktur Eksekutif Kadiv Riset & Jaringan
Cp :
Nawawi Bahrudin, SH : 08159613469
Asep Komarudin, SH : 081310728770
(*MC)
Foto: lbhpers.org