Usaha advokasi PP Muhammadiyah atas Siyono sempat memperoleh tudingan implisit oleh Polri melalui Kadiv Humas Anton Charlian bahwa PP Muhammadiyah itu pro teroris (5 April 2016). Kemudian dua hari kemudian, 7 April 2016, Kadiv Humas tersebut mengatakan bahwa dia tidak menuduh muhammadiyah pro teroris. Seminggu kemudian Anton Charlian dirotasi, tidak lagi menjadi kadiv humas tetapi menjadi Kapolda Sulselbar. PP Muhammadiyah berhasil keluar dari tudingan itu dengan bantahan atas tudingan tersebut, dan kemudian berlanjut dengan lengsernya Anton Charlian dari Kadiv Humas. Habis itu tidak ada tuduhan bahwa PP Muhammadiyah itu Pro Teroris.
Walaupun pada akhirnya Muhammadiyah bisa membela diri dari tuduhan itu, perlu juga kita mempelajari bagaimana pejabat Negara, penegak hukum melakukan tuduhan pada suatu kelompok. Adakah kekeliruan dalam proses penyimpulannya?. Apa teknik-teknik yang dipakai? Mengetahui hal ini akan membantu melindungi masyarakat dari tuduhan sejenis. Untuk melakukan hal tersebut, berikut saya kutipkan cuplikan berita dari Kompas.
Polisi Sebut Ada Kelompok Pro Teroris yang Membela Siyono
JAKARTA, KOMPAS.com – Kepolisian menyayangkan ada pihak yang mencoba melindungi terduga teroris Siyono. Menurut Kepala Divisi Humas Polri Brigjen Anton Charliyan, pihak tersebut sengaja memprovokasi agar Polri dianggap sengaja menghilangkan nyawa Siyono.
“Ada golongan tertentu yang pro teroris. Dia (Siyono) teroris, pegang senjata, dan ada yang membela. Silakan Anda saja yang menilai,” ujar Anton di Mabes Polri, Jakarta, Selasa (5/4/2016).
Namun, Anton enggan menyebut kelompok mana yang ia maksud. Kelompok tersebut, kata dia, menuding Polri dan Densus 88 sengaja menyerang agama tertentu.
Ia menjelaskan, keterangan Siyono dibutuhkan untuk memmbongkar jaringan Neo Jamaah Islamiyah. Di kelompok tersebut, Siyono merupakan kepala staf bagian persenjataan.
“Jangan sampai kita terprovokasi oleh gerakan teroris. Di luar negeri masif memerangi terorisme. Di Indonesia hanya masalah kecil, ada kelompok tertentu ingin menyalahkan Densus,” kata Anton.
Belakangan, kematian Siyono dipermasalahkan oleh Komnas HAM, Komisi Untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan, dan Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Kontras dan Komnas HAM menganggap adanya pelanggaran HAM dan pelanggaran hukum oleh Densus 88 yang menyebabkan Siyono meninggal dunia.
PP Muhammadiyah kemudian melakukan otopsi terhadap tubuh Siyono. Pelaksanaan otopsi tersebut merupakan arahan dari bagian advokasi Komnas HAM.
Sumber : Berita Kompas
===============
Menggiring Stigma kepada Muhammadiyah
Pada bagian awal, kompas menulis bahwa Kepolisian menyayangkan adanya pihak yang mencoba melindungi terduga teroris.Siapakah pihak itu? Bagaimana gambarannya?
- Kompas menulis kutipan langsung dari Kadiv Humas Anton Charlian yang mengatakan bahwa pihak itu sengaja memprovokasi agar Polri dianggap sengaja menghilangkan Siyono.
- Gambaran tentang pihak itu kemudian dibumbuhi dengan pelabelan. Kompas mengutip,”Ada golongan tertentu yang pro teroris. Dia (Siyono) teroris, pegang senjata, dan ada yang membela. Silakan Anda saja yang menilai.”
- Namun, Anton enggan menyebut kelompok mana yang ia maksud.
- Kelompok tersebut, kata dia, menuding Polri dan Densus 88 sengaja menyerang agama tertentu.
Begitulah gambaran polri tentang pihak pro teroris itu.
Hal itu disampaikan ketika Muhammadiyah dengan dukungan KOMNAS HAM sedang melakukan advokasi keluarga Siyono pada tanggal 29 Maret.
Pimpinan Pusat memutuskan untuk melakukan advokasi keluarga Siyono. Organisasi lain, misalnya NU, hanya mengamati. Dalam kondisi demikian, maka tidak heran orang menduga bahwa pihak yang dimaksud oleh Anton Charlian itu adalah Muhammadiyah. Mudah orang untuk tergiring pada kesimpulan bahwa Muhammadiyahlah yang dimaksud oleh Anton Charlian. Mengapa waktu itu dia membiarkan orang menafsirkan bahwa Muhammadiyah yang dimaksud pak Anton.
Kenyataannya banyak media yang beranggapan bahwa pihak yang diberi stigma pro teroris itu Muhammadiyah. Antara lain tempo.
Kompas tidak membuat kesimpulan begitu, walaupun pernyataan anton menggiring pada stigma pada Muhammadiyah. Mungkin kompas sudah memperkirakan bahwa pernyataan Anton yang kabur itu bakal dibantahnya sendiri setelah mendapatkan reaksi dari Muhammadiyah. Kompas memberitakan bahwa reaksi pihak Pemuda Muhammadiyah mengecam penyataan Kadiv Humas tersebut. Walaupun Anton tidak menyebut Muhammadiyah itu pro teroris, tetapi dia menyatakan bahwa pembela siyono berarti pembela teroris.
Dilema yang Keliru
Anton mengatakan “Ada golongan tertentu yang pro teroris. Dia (Siyono) teroris, pegang senjata, dan ada yang membela. Silakan Anda saja yang menilai”. Dengan kata lain : Ada teroris dan ada pembelanya. Berarti pembelanya itu pembela teroris atau pro teroris. Begitulah proses penyimpulan yang dilakukan. Anton melakukan stigma atas pembela siyono dengan proses penyimpulan tersebut.
Apa salahnya proses penyimpulan tersebut? Salahnya adalah dia membagi kenyataan menjadi dua alternatif saja.Tidak ada alternatif lain. Penentang terorisme dan Pendukung atau pembela terorisme.Penentang terorisme itu polisi dan pendukung polisi. Di pihak lain adalah teroris dan pendukung teroris.
Ketika ada Muhammadiyah membela terduga teroris Siyono, dianggapnya termasuk pembela terorisme. Padahal antara dua alternatif itu ada pilihan lain, yaitu penentang terorisme yang sekaligus ingin memastikan bahwa usahanya itu tidak salah tangkap dan melanggar hak asasi manusia, tidak melanggar asas praduga tak bersalah.
Dan Muhammadiyah memang berada di posisi ketiga itu. Ketua Umum Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzar Simanjuntak mengatakan, bantuan advokasi terhadap keluarga terduga teroris Siyono merupakan salah satu upaya deradikalisasi yang dilakukan Muhammadiyah. Jadi advokasi itu adalah upaya untuk mengurangi radikalisasi dan terorisme. Jadi muhammadiyah itu anti teroris tapi menolak cara-cara anti teroris yang melanggar hak asasi manusia. Sebagaimana yang dikatakan Dien Samsudin, yang penting adalah menjangkau kelompok radikal untuk mengubah pemikiran. Melawan terorisme itu adalah dengan cara merangkul kelompok radikal dan membuka dialog agar gagasan kekerasan bisa diredam.
Walaupun Anton membantah tuduhannya pada pada muhammadiyah, penjelasan anton masih belum keluar dari dilema keliru tersebut. Hanya ada dua alternatif di pikiran Anton. Ini pernyataan Anton:
“Saya bilang akan membasmi semua teroris, lalu teman kalian (wartawan) tanya apakah Muhammadiyah pro-teroris? Lalu saya jawab, ‘Semua yang membela dan pro-teroris, ya, harus dilawan’. Pernyataan itu bukan berarti Muhammadiyah pro-teroris.
Cara Muhammadiyah keluar dari Stigma
Muhammadiyah punya track record panjang dalam meredam terorisme. Karena itu tentu memahami sesat pikir stigma pro terorisme pada Muhammadiyah tersebut. Muhammadiyah paham karena memang tidak pernah mendukung terorisme, tetapi tidak mau usaha pemberantasan terorisme itu berlebihan hingga melanggar hak asasi manusia. Ketika muhammadiyah melakukan advokasi pada Siyono, yang dibela bukan terorismenya, melainkan haknya sebagai tersangka. Tersangka punya hak untuk diperlakukan tidak bersalah sampai pengadilan memutuskan bahwa dia bersalah. Polisi memang bercerita bahwa Siyono melakukan perlawanan, tapi cerita polisi itu harus didukung oleh fakta-fakta, termasuk dengan melakukan otopsi.
Berikut ini tanggapan PP Muhammadiyah atas stigma tersebut:
Muhammadiyah sepakat bahwa terorisme merupakan musuh bersama. Namun cara penanganannya harus berhati-hati. Selain itu, Muhammadiyah berkomitmen memberikan advokasi kepada siapa saja yang mendapat perlakuan tidak adil dari aparat hukum.
Reaksi PAN Teguh Juwarno tanggal 5 April 2016:
Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) sangat menyayangkan pernyataan Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Polri, Brigjen Anton Charliyan yang menuding Muhammadiyah sebagai kelompok pro teroris.
Wakil Ketua Fraksi PAN di DPR RI, Teguh Juwarno menegaskan, tudingan ini keji dan tidak berdasar.“Fraksi PAN mendesak Kapolri untuk mencopot Kadiv Humas dan mencabut pernyataannya yang menuduh kelompok pembela Siyono sebagai pro teroris,” tegas Teguh dalam keterangan pers yang diterima Republika.co.id, Rabu (6/4).
Teguh menambahkan, pernyataan Anton Charliyan merupakan pernyataan gegabah. Seharusnya Polri maupun Kadiv Humasnya mampu membedakan antara mencari keadilan dengan pro teroris.
(Aan)