Nusantarakini.com, Jakarta –
Kunjungan Presiden Joko Widodo ke Uni Eropa dalam sepekan ini ditutup dengan sebuah kesepakatan dari Presiden untuk memulai negosiasi perjanjian perdagangan bebas antara Indonesia dengan Uni Eropa, atau yang dikenal dengan Indonesia-EU Comprehensive Economic Partnership Agreement (CEPA). Pagi ini redaksi Nusantarakini.com menerima Rilis Bersama – Kaukus Perempuan Parlemen (KPP-RI), Indonesia for Global Justice (IGJ), dan Maju Perempuan Indonesia (MPI).
Anggota Kaukus Perempuan Parlamen Indonesia (KPP-RI) bersama dengan Indonesia for Global Justice (IGJ) dan Maju Perempuan Indonesia (MPI) menyikapi kunjungan ini secara kritis. Hal ini didasari atas massifnya keinginan Presiden Jokowi untuk terus meliberalisasi ekonomi Indonesia. Padahal disatu sisi, persoalan dampak buruk Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) terhadap masyarakat ekonomi kecil seperti petani, nelayan, buruh, perempuan, dan pelaku usaha mikro, belum dijawab secara konkrit oleh Pemerintah Indonesia.
Anggota KPP-RI, Eva Kusuma Sundari, menyatakan bahwa Free Trade Agreement (FTA) memiliki dampak langsung terhadap ekonomi masyarakat dan kedaulatan negara. Untuk itu setiap proses negosiasi FTA harus dibahas bersama dengan Parlemen, sehingga proses demokrasi dalam pengambilan keputusan politik Negara dalam diplomasi ekonomi internasional tetap terjaga.
“Harus dibuka ruang keterlibatan publik dalam proses negosiasi FTA yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia. Sehingga dampak buruk dari FTA terhadap masyarakat dapat dicegah dengan memasukan klausul yang memberikan perlindungan kepada publik”, jelasnya.
Pernyataan kritis lain juga dilontarkan oleh Sumarjati Sumarjoso, yang juga merupakan Ketua Tim Kecil TPP dari MPI. Ia berpandangan bahwa kontrol parlemen terhadap negosiasi FTA seolah-olah sengaja dilemahkan. Selama ini negosiasi FTA dalam Undang-undang Perjanjian Internasional No.24/2000 hanya menjadi domain Pemerintah.
“DPR tidak pernah dilibatkan dalam proses perundingan FTA bahkan bentuk pengesahannya pun hanya sebatas Keputusan Presiden (Keppres). DPR hanya diberikan salinan Keppresnya saja, isi perjanjiannya saja kita tidak pernah tahu. Apalagi ditambah rencana Presiden yang ingin memulai negosiasi Indonesia-EU CEPA dan TPP”, tambahnya.
UU Perjanjian Internasional No.24/2000 dalam Pasal 9 ayat (2) menyebutkan bahwa Pengesahan Perjanjian Internasional dapat dilakukan dengan Undang-undang atau Keputusan Presiden (Keppres).
Namun, Perjanjian Internasional yang disahkan dengan Undang-undang hanya dibatasi pada kategori Perjanjian Internasional yang hanya terkait dengan masalah politik, perdamaian, pertahanan, keamanan negara, perubahan atau penetapan batas wilayah, kedaulatan negara, Hak asasi manusia dan lingkungan hidup, pembentukan kaidah hukum baru, dan pinjaman atau hibah luar negeri.
Free Trade Agreement (FTA) tidak masuk pada kategori perjanjian internasional yang harus disahkan dengan Undang-undang. Sehingga selama ini, banyak FTA yang mengikat Indonesia hanya berupa Keppres, misalnya seperti ASEAN-China FTA dengan Keppres No.48 tahun 2004, ASEAN-Jepang FTA dengan Perpres No.50 Tahun 2009, ataupun ASEAN-Australia/NZ FTA dengan Perpres No.26 Tahun 2011(Sumber data: IGJ,2013).
“UU Perjanjian Internasional ini bertentangan dengan amanat Konstitusi UUD RI 1945. Padahal dalam pasal 11 UUD RI 1945 disebutkan bahwa dalam membuat Perjanjian Internasional yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan DPR”, tambah Luluk Hamidah yang merupakan anggota MPI.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice (IGJ), Rachmi Hertanti, menyatakan bahwa proses pengesahan perjanjian internasional oleh Pemerintah Indonesia telah bertentangan dengan Konstitusi. Sehingga tidak ada dasar hukum bagi Pemerintah Indonesia untuk melakukan negosiasi FTA saat ini.
“Seluruh negosiasi FTA harus segera dihentikan oleh Pemerintah Indonesia, termasuk negosiasi Indonesia-EU CEPA. Jika terus dilanjutkan, maka telah terjadi pelanggaran konstitusi oleh Presiden. Selain itu, FTA yang telah disahkan berdasarkan Keppres harus ditinjau ulang karena bertentangan dengan Konstitusi”, tegasnya.
Sebagai informasi, Indonesia-EU CEPA merupakan rencana perjanjian FTA yang digagas sejak 6 tahun yang lalu ketika ditandatangani Kerangka Persetujuan Kerjasama dan Kemitraan. Pada proses selanjutnya, proses pembahasa Indonesia-EU CEPA sempat terhenti pada tahun 2013 dikarenakan belum dicapainya kesepahaman terkait dengan Scooping Paper. Pada 2015, Pembahasan Scooping paper dimulai kembali dan pada saat kunjungan Presiden Jokowi ke Brussels pada 21 April 2016, Scooping Paper berhasil disepakati yang menjadi sebuah tanda bahwa negosiasi Indonesia-EU CEPA akan segera dimulai. (*MC)
Foto: Biro Pers Setpres