Nasional

Kebangkitan Tiongkok, Soft Power dan Strategi BRI

Nusantarakini.com, Jakarta –Pada awal kemerdekaan Republik Rakyat Tiongkok, dibawah kepemimpinan Mao Ze Dong, Tiongkok membangun dibawah tekanan embargo negara-negara Barat dan Amerika Serikat dari tahun 1949 sampai 1976.

Tapi justru masa dimana Mr Mao berhasil membangun kemandirian dan kepercayaan diri yang kuat, dan membuat karakter bangsa yang tidak mudah menyerah. Serta aktif membuat sendiri semua keperluan bangsa negara dan rakyatnya. Hal ini dibuat dengan aktif dan inovatif oleh rakyatnya sendiri.

Hasil dari revolusi demokrasi oleh Mr Mao, yang membuat birokrasi menjadi efektif dan efisien. Sehingga dapat membuat pondasi yang kuat untuk stabilitas politik yang aman dan kondusif dan memungkinkan pembangunan jangka panjang yang berkesambungan. Terbukti hal ini dapat melindungi dan menyelamatkan rakyatnya dari kemiskinan.

Selain birokrasi yang efisien dan efektif serta politik yang stabil, Tiongkok juga memiliki sistim pemilihan kepala pemerintahan (pemilu) yang murah dan efisien. Inilah yang memungkinkan pembangunan jangka panjang sesuai dengan konstitusi negara.

Pembangunan di sektor pertanian yang fokus pada kemandirian pangan, dengan pertumbuhan produktivitas yang sangat mengesankan. Sehingga Tiongkok sampai saat ini mampu menyediakan pangan untuk 1,4 M rakyatnya.

Sedangkan Pembangunan industri dasar untuk menopang industri manufaktur, misalnya baja, mesin industri, semen, bahan kimia, dan lain-lain; sampai saat ini industri dasar Tiongkok mandiri dalam memasok dan menyokong kebutuhan industri manufaktur.

Sedangkan di bidang teknologi, Tiongkok adalah satu-satunya negara di dunia ini yang nternetnya didominasi oleh perusahaan sendiri, seperti Baidu, Wechard, QQ, Youku, Tiktok, Alipay, Alibaba dan lain sebagainya. Sehingga rakyat Tiongkok tidak perlu perlu menggunakan aplikasi sperti WhatsApp, Google, Amazon, dan produk asing lainnya.

Liberalisasi pendidikan, negara berperan aktif untuk ilmu pengetahuan, ketrampilan, pelatihan kepada semua warganya. Baik kaya maupun miskin, wajib sekolah di tingkat pendidikan dasar, menengah dan Kesempatan untuk melanjutkan ke akademi terapan maupun universitas, hingga pelatihan-pelatihan kerja bagi buruh. Semuanya ditopang subsidi negara kepada kelompok kurang mampu. Sehingga semua orang mendapatkan kesempatan. Semua Ini tidak mungkin terjadi apabila negara menyerahkan pendidikan dan pelatihan ke pasar (liberalisasi pendidikan).

Dengan latar belakang inilah Tiongkok terus melaju, dan ekonomi terus berkembang dan dalam waktu puluhan tahun saja. Dapat menghapuskan kemiskinan dan dapat menumbuhkan kelas ekonomi menengah yang dominan.

Sedangkan industri dan teknologinya terus berkembang dan berproduksi, sehingga Tiongkok memerlukan big market untuk menjaga keseimbangan dan kestabilan ekonominya.

Maka untuk menciptakan big market, Tiongkok berpikir out of box, melalui Belt Road Initiative (BRI), untuk membangun pasar yang lucrative, bisnis yang menguntungkan karena dinamis bergerak terus. Jadi Tiongkok yang berusaha membantu Afrika menjadi kaya raya, dengan penduduknya yang 1,2 M jiwa akan mampu mengkonsumsi produk Tiongkok. Ditambah 1,4 M pasar di Tiongkok, maka akan terbentuk 2,6 M pasar yang lucrative.

Jika ditambah dengan proyek BRI, Belt Road Initiative, yang saat ini mencakup 70 negara di Asia, Rusia, Eropa, Amerika latin, dan Selandia baru, maka akan menjadi 5,5 M pasar lucrative.

Jadi tujuan dari BRI adalah membangun inter connectivity sehingga akan diperoleh sistem transportasi yang efektif dan efisien. Sehingga memungkinkan pengiriman produk secara efektif dan murah, stabilitas dan akses kepasar yang besar serta lucrative. Inilah yang sedang berproses, dan akan menjadikan Tiongkok sebagai pusat dunia tanpa kekerasan, soft power.

Jadi proyek BRI adalah untuk menyejahterakan masyarakat dunia, untuk menciptakan big market bagi produk Tiongkok, tanpa kekerasan atau kolonialisme dan imperialism.

Tidak seperti yang dikatakan media Barat, bahwa tujuan BRI untuk dunia global adalah kolonisasi ataupun debt trap, karena negara yang terjebak utang akan menjadi miskin. Mahatir mengatakan dengan tegas, “kami berdagang dengan Tiongkok selama 2000 tahun lebih dan mereka tidak menjajah dan memperbudak kami. Tapi baru setahun kami dagang dengan Barat, mereka sudah menjajah dan memperbudak kami.”

Tiongkok akan menjadi pusat dunia, karena kekuatannya terletak pada ekonomi yang kuat, efisien dan produktif. Sehingga bisa terus berkembang dengan batas yang belum nampak. Seperti dikatakan Kevin Ruud, “Clearly, China is unstopable now.”
“Kevin Ruud, China Rise and New World Order” La Trobe. [ry]

Jakarta 9 Nopember 2020.

*Chandra Suwono, Pengamat Geopolitik dan Geostrategis, tinggal di Jakarta.

Terpopuler

To Top