Laut China Selatan, Asia Tenggara dan Konstelasi Politik

Nusantarakini.com, Jakarta –Indonesia,Thailand dan Philipina memiliki posisi yang paling strategis untuk kepentingan Amerika Serikat terhadap dominasi Tiongkok atas laut China Selatan.

Untuk mengontrol Thailand, ada proxi yang dipelihara yaitu pembrotakan di selatan Pattani Thailand, karena akan selalu menjadi celah bagi tertuduhnya militer Thailand tentang konsep HAM ala mereka. Sama halnya pada Philipina dengan Moro di selatan Philipina.

Ada sedikit indikasi Thailand mesra dengan Rusia dan China, kerusuhan di selatan bisa tiba-tiba meletus. Dan kita tahu bahwa sumber dari devisa terbanyak di Thailand adalah pariwisata yang memiliki syarat utama yaitu keamanan.

Philipina pun sama dengan Thailand, stabilitas keamanannya selalu diganggu oleh pemberontakan Moro di selatan Philipina. Ini adalah untuk menekan Philipina terkait pangkalan militernya di Teluk Subic.

Namun sikap dan keberanian Presiden Duterte patut diapresiasi oleh negara-negara di Asia Tenggara. Padahal Philipina sebelumnya adalah pro AS, bahkan mendapat julukan Amerikanya di Asia.

Namun sejak Duterte berkuasa semuanya berubah dan Philipina tidak mengizinkan militer AS untuk kembali ke pangkalan Subic.

Padahal Militer AS sangat memerlukan dan menginginkan Teluk Subic, terkait ketegangan dilaut china Selatan. Karena sebagai negara dengan kapal induknya terbanyak di dunia, maka pelabuhan menjadi sangat penting untuk memperluas daya jangkau militernya. Dan untuk menyediakan titik docking dan pasokan untuk kapal perang selama masa perang.

Atas penolakan dari Duterte, maka AS memerlukan pangkalan militer dekat dengan laut China Selatan, sebagai penganti pangkalan di teluk Subic. Maka Indonesia menjadi pilihan AS. Jadi maksud undangan dari pemerintah AS kepada menteri pertahanan Indonesia, Prabowo Subianto, beberapa waktu yang lalu, adalah terkait dengan pangkalan militer Penganti Teluk Subic.

Demikian juga kehadiran menlu AS, Pompeo menghadap Presiden Jokowi juga terkait dengan permintaan pemerintah AS untuk membangun pangkalan militernya, yang kemungkinan besar di Pulau Natuna karena dianggap paling strategis.

Seperti biasanya, sesuai dengan karakter bangsanya sambil menekan pemerintahan Indonesia agar diberi izin untuk pangkalan militernya, diikuti dengan propaganda terhadap hantu komunis.

Kita yakin pemerintah Indonesia dapat memanfaatkan momemtum ini untuk keuntungan bangsa sendiri dan berani melangkah seperti Presiden Philipina Duterte. Duterte mengatakan, “kalau ingin mencapai kemajuan yang mandiri, sehingga masyarakat hidup bahagia dan terhindar dari kemiskinan, maka anda jangan mengulangi kesalahan untuk pro Amerika.”

Pastinya presiden Jokowi dan Menteri Pertahanan RI bapak Prabowo Subianto sangat memahami ini, dan bisa melakukan langkah-langkah preventif untuk selalu menjaga marwah bangsa kita. Negara yang berdaulat dan mampu berdiri di atas kedua kakinya sendiri, tidak didikte bangsa lain. [mc]

*Chandra Suwono, Pengamat Geopolitik Indonesia.