Prabowo: Dilema atau Paradoks? Asal Tidak Ironi Saja

Nusantarakini.com, Jakarta –

Izinkan saya mengomentari situasi politik yang dihadapi Prabowo saat ini. Izinkan Anda tidak membaca tulisan ini dengan dibalut rasa prejudice.

Prabowo punya buku andalan, Pandangan Strategis Prabowo Subianto: Paradoks Indonesia, yang saya capture pada gambar tulisan ini. Tepat sekali dia membawa kata paradoks. Itu menandakan beliau sadar akan arti paradoks.

Sebagaimana Indonesia yang menurutnya mengalami paradoks, sebenarnya dia juga menghadapi paradoks dalam posisinya bertarung memperebutkan pimpinan nasional negerinya, di tengah dua kekuatan besar internasional yang sangat mempengaruhi saat ini.

Tentu dua kekuatan itu ialah Amerika Serikat dan China, sebagai kekuatan tandingan baru di dunia, khususnya di kawasan Asia, dimana Indonesia berada di dalam kawasan ini.

Sebagai calon satu-satunya yang menantang incumbent, Jokowi, tentu dapat dipahami jika Prabowo tidak mungkin secara dini menampakkan posisi independen: tidak Amerika, tidak China. Sementara lawannya, Jokowi, sudah jelas pro China.

Sebagai calon, dia tentu memprioritaskan untuk memperbanyak dukungan politik dari domestik maupun luar negeri. Sangat masuk akal jika akhirnya Prabowo merapatkan posisi politik ke kubu Amerika, mengingat Jokowi telah dengan mantap berada dalam sekutu China.

Tatkala pernyataan Prabowo yang mendukung sikap Australia terkait isu Yerusalem sebagai ibukota Israel keluar dan kemudian geger, sebenarnya hal itu tak perlu diragukan lagi dalam konteks kepentingan menambah dukungan bagi proses pencapresan Prabowo. Hal itu suatu yang wajar dan masuk akal saja dan tak perlu disesali. Usaha mengambil hati Israel dan sekutu Amerika, merupakan taktik yang tak terhindarkan bagi Prabowo di dalam menghadapi kekuatan internasional Jokowi.

Namun karena basis pendukung suara Prabowo cukup signifikan berasal dari massa Muslim yang sangat anti Israel, dan juga anti Amerika, realitas ini menjadi dilema bagi Prabowo yang hendak total fight menghadapi Jokowi. Diambil hati Israel, hati massa Muslim terluka.

Akibatnya penampakan Prabowo di mata massa Muslim menjadi paradoks seperti judul buku beliau itu.

Ketika pada akhirnya Prabowo hadir di momen reuni alumni 212, dimana dikibarkan begitu banyak bendera Laa ilaaha illallaah dan juga bendera Palestina, tentu tampilan panggung politik semacam itu tidak mudah bagi Prabowo. Pendeknya, dilema juga bagi dirinya dalam konteks mengambil dukungan dari entitas dan jaringan politik di luar jaringan China yang sudah rasanya dikavling oleh Jokowi.

Akhirnya, baik Prabowo maupun massa Muslim yang terlanjur anti Jokowi, berada dalam dilema dan paradoksnya masing-masing. Semoga saja tidak jatuh menjadi ironi kelak.

 

 

~ Syahrul E Dasopang, pemerhati independen