Akankah Bis ALS Tinggal Kenangan?

Nusantarakini.com, Jakarta –

Armada ALS itu antara lain dirintis tokoh utama dan direktur utama pertama, Haji Ali Sati Lubis, asal desa Tamiang Kotanopan, Mandailing Natal.

Pengusaha pengangkutan yang sangat sukses di masanya. Secara rutin diundang ke Jerman negara pabriknya Mercedes-Benz merk bus ALS.

Setiap tahun mengeluarkan zakat untuk orang miskin, terutama Kotanopan. Aku pernah dapat, karena kategori miskin itu antara lain, ayahnya sudah meninggal dan belum dewasa (yatim). Ayah saya meninggal ketika saya masih sd kelas 5 dan adek saya usia 3 tahun.

Saya bertemu lagi dengan pak Ali Sati di rumahnya yang luas di Jambu Tarutung Kotanopan dekat SMA Negeri Kotanopan.
Kali ini saya sebagai kontingen MTQ bidang cerdas cermat kafilah kotanopan dan kelak kami juara 2 untuk kab. Tapsel sebelum dipecah, lokasi MTQ di Muara Soma.
Intinya beliau hartawan yang dermawan, merangkak dari bawah.

Supir dan kernet disuruh solat dan wajib memberikan waktu yg cukup untuk solat kepada penumpang, berkata sopan, jangan sombong dan jangan penakut, jangan judi dan main perempuan. Ideal bukan? Masalah solat dan pelayanan itu bahkan membuat orang Sumatera Barat seperti Padang lebih memilih ALS, bukan ANS atau NPM yang punya mereka.

Satu persatu SOP itu rontok, seperti yang dialami adinda syahrul. Jika tidak diperbaiki akan rontok karena. Satu, era angkutan darat jarak jauh sudah usai dan kedua, pelayanan yang membuat orang orang sebagian berkesimpulan. Inilah yang terakhir. Mereka yang semula ingin bernostalgia, yang terjadi justru–dan ini yang membuat melek tak merem–merem–bernostal GILA.

Angkutan darat, khususnya yang lewat lintas Barat, bukan Timur lewat Pekanbaru, khususnya lagi ALS memang tinggal menunggu waktu dan nanti hanya cerita.
Namun saya tetap mengingat, ini bukan masalah angkutan darat, tetapi pandangan hidup seorang pengusaha.

Semoga adinda Syahrul sampai kembali ke ibu negeri selamat dan berjumpa lagi dengan ALS yang lebih baik lain waktu. Saya naik Als ke Jakarta pertama kali tahun 1986, ongkosnya 22.000 rupiah.

Ah, serunya ketika itu. Merasa tidak boleh ada penindasan membuat saya nyaris bertarung tangan kosong dengan pelayan restoran lengkap dengan sebilah belati di Lahat karena dia meminta uang air putih untuk stok di bus perjalanan, padahal saya sudah makan di restoran itu. Kelas 1 sma kala itu. Makanya pas banget Eggi Sudjana gertak saya di rumah Ali Sadikin petisi 50 karena membatalkan demo yang diarahkannya, saya tak gentar meski tetap hormati dia.

Zaman memang menempa kita. Perjalanan dengan bus ALS bisa sama dengan 22 SMS.
Indahnya penderitaan.

 

 

~ Ahmad Dayan Lubis, Kolumnis Waspada