Mau Pakai Bis ALS ke Jakarta atau Medan? Baca Dulu Artikel Ini

Nusantarakini.com, Pekanbaru –

Ada satu sifat manusia jelata Indonesia yang kurang menguntungkan bagi transformasi budaya: gampang mengendur apabila ditekan dan cenderung menghindar untuk bersitegang demi mempertahankan hak.

Suatu ketika, saya naik bis ALS. Perjalanan menuju Jakarta dari Medan. Saya naik. Dan beberapa keluarga jelata ikut naik. Mereka menuju Lampung. Sedang saya menuju Jakarta.

Belum sempat tiba di Pekanbaru, tepatnya di Asam Jawa, bisnya rusak. Nyaris 7 jam penumpang terlantar. Tak diberi makan. Tak diajak rembukan. Mereka terus berusaha memperbaiki mesinnya yang rusak. Alhasil sudah masuk malam, kami dipindahkan ke bis PT. Chandra untuk diistirahatkan di loket di Bagan Batu. Jadilah kami bermalam di loket sederhana itu.

Jelang jam 3 dini hari, barulah ALS yang lain datang sebagai ganti ALS yang pertama. Rupanya ALS yang sebelumnya rusak berat. Ada yang patah dari bagian penting rangkaian mesin bis yang dikelola oleh perusahaan yang sudah berumur setengah abad itu.

Maka saya naik dengan bis ALS pengganti. Itupun kelasnya sudah berbeda. Yang pertama, kelas AC Toilet, yang gantinya sekarang, AC tok. Itu berarti, dari eksekutif seharga tiket Rp 500 ribu, jadi ekonomi seharga tiket Rp 400 ribu. Berarti mereka sudah mengambil Rp100 ribu yang bukan hak mereka.

Sampai di dalam, sebanyak 12 penumpang yang dari tadi terlantar, tidak mendapatkan kursi seperti yang diharapkan. Satu penumpang, harus puas dengan kursi tempel alias kursi kecil yang disisipkan di antara barisan kursi yang berjenjang 2.2.

Tadinya saya yang disuruh untuk mengalah. Saya disuruh untuk ditempatkan di jejeran kursi paling belakang, yang sebenarnya sudah penuh. Kontan saja saya tidak bersedia. Bagaimana tidak, sudah mengorbankan waktu14 jam sia-sia, tanpa kompensasi, tiba di dalam bis operan, disuruh-suruh pula seenaknya seolah penumpang itu adalah barang.

Barangkali buruh bis ALS itu sudah terbiasa memperlakukan konsumen bis tersebut seperti itu, dan mungkin saja hampir tak ada reaksi dan sikap seperti yang saya tunjukkan. Saya bilang ke kenek bis tersebut, “Sorry, saya tidak bersedia di pindah ke belakang. Saya di sini saja. Saya sudah bayar!”

Aneh sekali. Orang itu tidak senang dan tidak dapat memahami kalimat sederhana yang saya sampaikan. Dia mendengus dan pergi ke bagian depan sembari bersungut-sungut. Jelas saya tidak bisa seperti orang pada umumnya yang mereka perlakukan.

Nah, saat saya menunjukkan sikap mempertahankan hak, penumpang yang sama-sama terlantar dengan saya tadi, malah mengalah. Inilah penyakit mental khas rakyat jelata Indonesia. Harusnya justru berang mempertahankan hak mereka. Tapi malah mengalah. Penumpang tersebut bilang, “Nggak apa-apa. Di sini malah bisa tidur nyaman,” sembari melirik orang yang di sampingnya.

Bukan apa-apa. Kalau model manusia seperti kenek tersebut dihadapi dengan cara mengalah, akan membuat sifat kasar mereka tidak pernah terkoreksi. Seolah merasa bahwa sikap semacam itu sudah benar dan pantas diberikan kepada para penumpang yang kedudukannya dalam hukum sebagai konsumen.

Hubungan saya sebagai penumpang ALS dengan PT. ALS adalah hubungan layanan. Saya membeli layanan. ALS menyediakan layanan. Saya tidak membeli perlakuan yang tidak melayani, bukan? Buat apa pula orang membeli perlakuan yang tidak melayani. Tapi si kenek itu tidak mengerti sampai sejauh itu persoalan hukum yang diakibatkan ketika seorang penumpang membayar transaksi layanan berupa tiket perjalanan dari ALS yang sudah mempunyai nama terkenal itu.

Harusnya, perusahaan ALS itu memberikan latihan yang baik dalam berinteraksi dengan konsumen. Know your customers.

Konsumen loyal ALS sebenarnya sudah lama terbentuk. Bahkan saya pun naik bis ini hanya ingin kembali merasakan sensasi nostalgia saat pertama kali berangkat kuliah ke Jakarta dengan menumpang ALS. Saat dimana harga tiket pesawat masih sangat mahal. Lion Air belum ada waktu itu.

Jadi saya boleh dikata, bukan dalam posisi tanpa alternatif moda transportasi untuk kembali ke Jakarta. Malahan naik pesawat dari Kuala Namu, Medan, lebih murah secara waktu dan biaya. Tapi itu sengaja saya tidak ambil karena saya ingin mengenang perjalanan awal saya ke Jakarta 22 tahun yang lampau, dengan bis ALS.

Tapi mana paham kenek seperti itu dengan beragamnya tipe dan motif orang menumpang bis tempat mereka bekerja. Pesan tulisan ini pun bukan ditujukan kepada kenek bis, tapi kepada managemen ALS yang saya berharap akan tetap lestari sebagai bis legendaris dari Sumatera Utara.

Suatu saat, managemen ALS itu dapat berpikir untuk memberikan terobosan layanan berupa paket wisata tour nostalgi bersama ALS. Kalau mereka paham, inovasi semacam itu justru jadi ceruk pasar bagi ALS. Jangan lupa panggil saya sebagai konsultan guna keberhasilan inovasi bisnis seperti itu. Kan idenya dari saya.

 

 

~ Syahrul Efendi Dasopang, Mantan Ketua Umum PB HMI