Fenomena Les Bleus: Multikulturalisme vs ‘Fasisme Baru’

Nusantarakini.com, Jakarta – 

Fenomena Les Bleus: MULTIKULTURALISME vs “FASISME BARU”

Seperti rentetan kebetulan belaka, tapi sebenarnya semuanya terkait erat satu dengan lainnya.

Minggu malam, 15 Juli 2018, timnas Perancis –Les Bleus– yang didominasi para pemain keturunan migran, tampil perkasa sebagai juara Piala Dunia 2018, mengalahkan Kroasia 4 – 2 di Stadion Luzhniki, Moskwa.
Sehari sebelumnya, 14 Juli, Perancis merayakan hari nasional Bastille, disebut juga Le quatorze julliet, sebagai peringatan tonggak historis penyerbuan penjara Bastille, 14 Juli 1789, awal Revolusi Perancis (1789 – 1794).
Inilah revolusi yang ikut meletakkan dasar keadaban masyarakat moderen lewat semboyannya: ” liberte, egalite, fraternite!” (kebebasan, kesetaraan, dan persaudaraan).

Pada hari itu juga, 14 Juli 2018, sehari jelang laga final Piala Dunia, badan dunia PBB resmi menetapkan suatu dokumen penting tentang kesepakatan migrasi global yang ditandatangani 192 negara anggotanya.
Sekjen PBB Antonio Guterres menyebut dokumen itu sebagai sukses besar dan mengharapkan agar migrasi diakui sebagai “fenomena global positif !”.

Kebetulan? Mungkin. Tapi bagi sebagian warga Perancis yang religius –yang minoritas jumlahnya– , ini mungkin bukan kebetulan. Semua itu adalah “Providentia Dei”, suatu penyelenggaraan Ilahi ! Walaupun sebagian besar warga Perancis lebih percaya ucapan sang legenda Belanda, Johan Cryuff, “Tidak ada Tuhan di lapangan sepakbola…”.

Terlepas dari soal itu, keterkaitan antara kebijakan nasional mewujudkan masyarakat multikultural sesuai spirit “liberte, egalite, fraternite”, berkorelasi positif terhadap prestasi olahraga Perancis, terutama sepakbola.
Ketangguhan tim ini, Les Bleus, –di luar sisi profesionalistasnya– adalah juga hasil dari proses lama pembinaan olahraga dengan kesadaran tentang pentingnya proses pengintegrasian kaum muda migran –yang semakin bertambah jumlahnya– ke dalam masyarakat Perancis yang multikultural.

Para migran di Perancis berasal dari berbagai negara “Dunia Ketiga”, tapi terutama dari negara-negara bekas jajahan Perancis yang kemudian merdeka menjadi post-colonial state, misalnya Aljazair, dan beberapa negara Afrika.

Maka tak heran, Les Blues bukan saja tim yang colourfull dengan bendera tiga warna merah-biru-putih (tricolore), tapi juga tim yang paling majemuk secara ras bahkan didominasi pemain-pemain keturunan migran sejak dulu.

Sebut saja sang legenda, Zidane. Juga Abidal, Dessaily, Malouda, Thiery, atau Thuram, migran Karibia yang sudah 142 kali memperkuat timnas Perancis.
Mereka adalah bintang-bintang kebanggaan masa lalu yang akan terus hidup dalam kenangan dan dihormati warga Perancis.
Pada laga Piala Dunia 2018 kali ini, dominasi pemain keturunan migran –Mbappe, Pogba, dan kawan-kawan — semakin nyata. Lebih dari setengah jumlah pemain tim Les Bleus ini adalah keturunan migran !

Memang kenyataan ini bukan tanpa tantangan. Beberapa waktu lalu sekelompok warga “asli” Perancis, termasuk politisi ultranasionalis Jean-Marie Le Pen mempelihatkan sikap rasis, marah dan mengecam organisasi sepakbola Perancis (FFF, Federation Francaise de Football) atas realitas banyaknya pemain migran tersebut.

Rasialisme dan diskriminasi masih tetap ada, sekalipun terbatas, dalam masyarakat Perancis yang multikultural. Juga di beberapa negara Eropa, bahkan di negara kampiun HAM dan demokrasi, Amerika Serikat, terutama sejak munculnya Donald Trump.
Kecenderungan rasis oleh Trump, keturunan migran Jerman yang merasa “asli” Amerika, memang mewakili sikap sebagian kaum kulit putih Amerika dan Eropa.

Dalam dua tahun terakhir, sikap rasis ini semakin meluas ketika menyatu dengan fenomena populisme kanan yang mencuat di beberapa negara Eropa. Di Perancis tokohnya Le Pen, ada Geert Wilder di Belanda, Matheo Salvini di Italia, dan Host Seehofer di Jerman.
Sebagian di antara para tokoh populisme kanan inilah yang bertemu di Koblenz, Jerman, Januari 2017, saat mereka bertekad mengukuhkan populisme yang rasial itu. Pertemuan Koblenz inilah yang kemudian dikecam karena dianggap sebagai upaya mewujudkan “Fasisme Baru” !

Memang faktor banjir migrasi besar-besaran ke Amerika dan Eropa menjadi salah satu pemicu. Tapi bukankah ini fenomena sejarah yang berulang ?
Dulu semboyan “3 G” (God, Glory, Gold) memicu bangsa-bangsa kulit putih menjarah benua Amerika, Afrika, dan Asia, melahirkan imperialisme dan kolonialisme.

Sejarah berulang, tapi kebalikannya! Kini giliran gelombang migran warga bekas koloni Eropa dari Afrika, Asia, termasuk Timur Tengah, berbondong-bondong menyerbu Amerika dan benua Eropa.
Dan kini orang mulai bicara tentang fenomena “Afrikanisasi”, atau “Asianisasi” Eropa, seperti halnya “Hispanisasi” atau “Latinisasi” Amerika.

Maka untuk membendung fenomena sejarah yang berulang ini, di Eropa muncul orang macam Le Pen atau Wilder yang anti migran, anti kulit berwarna. Populisme kanan berbalut rasialisme itu tengah menebarkan ancaman fasisme baru !
***
Kemenangan Les Bleus –yang didominasi para pemain migran– adalah juga wujud kemenangan spirit multukulturalisme sebagai perwujudan nilai-nilai Revolusi Perancis: “kebebasan, kesetaraan, dan persaudaraan”.

Saya tiba-tiba ingat Zidane, anak migran Aljazair. Seperti halnya generasi Mbappe sekarang, Zidane bukan sekedar legenda sepak bola. Penulis terkemuka Jean-Philippe Toussaint, penulis “LA MELANCOLIE ZIDANE” bahkan menyamakan Zidane dengan Voltaire, filsuf terkemuka Perancis Abad Pencerahan.

Zidane dulu dan Mbappe sekarang, bersama para keturunan migran lainnya bukan saja membuat Les Bleus berjaya sebagai juara dunia, tapi juga membuat dunia menyadari arti kekuatan tim multikultural.
Mereka bukan hanya atlit sepak bola tapi juga duta-duta sekaligus simbol multikulturalisme, yang ikut memberdayakan dan memperkaya Perancis dan imperium sepak bola sejagad.

Jadi ingat judul buku Laurent Dubois, “SOCCER EMPIRE: THE WORLD CUP and THE FUTURE OF FRANCE” (2016).

Dan bersamaan dengan penandatangan dokumen PBB, 14 Juli 2018 tentang migrasi, sekaligus menilai migrasi sebagai “fenomena global positif”, rasanya kita semua perlu juga membaca buku Gregory Friedman, WE ARE ALL MIGRANTS ! [mc]

*Manuel Kaisiepo, Jurnalis Senior.

Sumber: Facebook