Bukan Ulama Plat Merah

Nusantarakini.com, Jakarta –

Yakin. Tak ada cara yang istimewa untuk mengendalikan rakyat kecuali dengan mengekspolitasi perasaan mereka. Yakin. Tidak cara yang lebih manjur mengontrol rakyat, kecuali dengan menyinggung perasaan agama mereka yang mereka sucikan.

Saat rakyat tersinggung, saat rakyat mulai ribut, maka satu tahap kontrol terhadap rakyat telah dapat ditunaikan. Mungkin begitu jalan pikiran para ahli yang memasok pikiran dan kebijakan kepada rezim yang berkuasa.

Belum selesai satu masalah yang bikin ribut hari-hari rakyat, sekarang muncul lagi berita kumpulan 200 muballigh yang diendorse oleh rezim, dalam hal ini Kemenag. Karena sering salah tulis jadi Kemenang, lebih baik ditulis dengan nama lamanya yang beken: Depag.

Kontan saja hal ini membuat opini terbentuk: bahwa 200 muballigh itulah yang safety bagi pemerintah dan 200 itulah yang istimewa di mata pemerintah serta bahwa 200 muballigh itulah yang pantas memberi ceramah di tengah-tengah masyarakat.

Kebijakan ringan semacam ini malah menjadi berat. Sebab membawa mudharat. Mudaratnya membikin suasana jadi tidak enakan, gaduh dan saling curiga. Curiga bahwa yang tidak masuk tidak lulus “litsus” cinta negeri, beraroma teror, tidak cukup ilmu untuk ceramah agama.

Semetara pihak dicurigai pula sebagai piaraan rezim, tukang puji rezim, karib rezim, binaan rezim, dan seterusnya.

Depag itu harusnya bikin kerjaan yang membangun suasana masyarakat lebih sayang pada Islamnya, lebih tenang dan jauh dari prasangka negatifnya, ini malah bikin mancing-mancing.

Sebenarnya ulama atau muballigh itu malahan lebih baik berjarak dari penguasa, biar dia merdeka, berdaulat untuk mengatakan yang hak itu hak yang bathil itu bathil. Bila pemerintah jelek, dia harus dengan ringan mengatakan pemerintah jelek. Jika pemerintah bagus, dia pun dengan santai menyatakan pemerintah bagus.

Ulama atau pun muballigh itu sandaran dan dambaannya hanya Allah, bukan manusia. Walaupun objek ajakan dan larangannya kepada manusia. Dia mendidik manusia supaya baik dan lulus di hadapan Allah.

Demikianlah sifat ulama atau muballigh sejak dahulu kala. Itulah sebabnya banyak ulama yang harus menanggung risiko hukuman dari penguasa. Dan mereka biasa saja menerima nasib semacam itu.

 

~Kyai Kampung