GENEALOGI TERORISME: Framing Barat untuk Monsterisasi Islam

Nusantarakini.com, Jakarta – 

Indonesia kembali diguncang teror menghiasi jelang pesta demokrasi 2019, kejadian tahunan yang nampaknya sengaja dipelihara ini berhasil menimbulkan kegaduhan dan ketakutan, bahkan hingga paranoid. Dimulai dari mulai aksi teror pembunuhan para ustadz, bom Surabaya hingga bom Sidoharjo, bahkan saat tulisan ini dibuat ada kabar ledakan bom di Mapolda Riau.

Islam mengutuk aksi terorisme sejak dulu hingga aksi terorisme yang belakangan terjadi, bahkan semua agama di Indonesia mengutuknya juga. Teroris tak mewakili ajaran Islam. Sebab Islam tidak mengajarkan terorisme. Meski istilah terorisme ini menjadi lahan empuk bagi banyak kepentingan politik dan orientasi.

Secara genealogi, istilah terorisme berasal dari epistemologi Barat, bukan dari khasanah Islam. Islam sendiri agama damai dan mendamaikan, agama mulia dan memuliakan, agama sempurna dan menyempurnakan. Karena itu jika aksi-aksi terorisme ini melahirkan Islamophobia, maka dibalik semuanya pasti ada aktor intelektualnya dalam rangka monsterisasi dan menghadang kebangkitan Islam.

Siapapun pelakunya, entah muslim maupun non muslim, aksi terorisme tak dibenarkan. Konsep jihad berasal dari Allah SWT, sementara konsep terorisme dari Barat. Keduanya berbeda, bagai langit dan bumi. Jihad dan perang dalam Islam tidak sama dengan aksi terorisme. Aktor intelektual terorisme adalah Barat, sebagaimana asal mula istilah ini muncul.

Aksi terorisme yang menyebabkan kematian manusia adalah perbuatan kejam dan biadab. Islam sangat menghargai nyawa manusia. Al Qur’an surat Al Maidah ayat 32 menyebutkan, Barang siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya.

Islam sendiri tidak mengenal istilah terorisme. Istilah terorisme yang multiinterpretasi ini diperkenalkan oleh Dinas Intelijen Amerika dan Dinas Intelijen Inggris dalam sebuah seminar yang diadakan untuk membahas makna “terorisme” pada tahun 1979. Dari terorisme dikembangkan menjadi radikalisme yang dilawankan dengan moderatisme.

Kedua istilah itu [radikalisme dan moderatisme] adalah framing Barat atas Islam yang bertujuan merusak epistemologi Islam. Kedua Istilah itu adalah cara Barat menghegemoni wacana di kalangan kaum muslimin. Keduanya tak perlu diikuti, Islam ya Islam, itu sudah cukup.

Seminar itu menyepakati bahwa “terorisme” adalah penggunaan kekerasan untuk melawan kepentingan-kepentingan sipil guna mewujudkan target-target politis, namun dikaitkan dengan Islam politik. Inilah yang disebut sebagai framing terorisme ala Barat. Framing ini adalah perbuatan keji dan biadab, lebih keji dari aksi terorisme itu sendiri. Sebab fitnah lebih kejam dari pembunuhan.

Dari tinjauan global terhadap berbagai undang-undang dan hukum yang berkaitan dengan terorisme, nampak jelas bahwa semua peraturan itu ternyata tidak mendalam dan tunduk pada orientasi politik dari negara-negara yang membuatnya. Sebagai contoh, Amerika menganggap pembunuhan Indira Gandhi sebagai aksi terorisme, sementara pembunuhan Raja Faisal dan Presiden Kennedy tidak dianggap aksi terorisme.

Contoh lain, Amerika pada awalnya mencap pemboman gedung Kantor Penyelidikan Federal di Oklahoma sebagai aksi terorisme. Tetapi ketika terbukti bahwa pelaku pemboman adalah kalangan milisi Amerika sendiri, pemboman yang semula dianggap aksi terorisme, kemudian hanya dianggap sebagai “aksi kriminal” belaka.

Aksi tentara Israel yang telah terang benderang membunuh ribuan warga Palestina, tidak disebut sebagai aksi terorisme oleh Amerika. Dalam aksi pemindahan kedubes Amerika Serikat dari Tel Aviv ke Yerusalem, telah menelan korban lebih dari 40 meninggal dan 2700 orang terluka warga Palestina.

Namun mengapa dunia diam dan membisu. Bukankah rakyat Palestina juga manusia seperti yang lainnya ?. Mestinya dunia kompak menyatakan Israel sebagai gembong terorisme. Disinilah hegemoni epistemologi menjadi akar persoalan, jika tidak disebut sebagai upaya penghancuran Islam semata.

Di Indonesia sendiri juga sering terjadi bias tafsir semacam ini. Aksi teror tidak selalu disebut terorisme jika menimpa pihak tertentu. Namun dengan cepat disebut terorisme jika menimpa pihak tertentu pula. Dalam hal ini, pemerintah lewat aparat keamanan sering dianggap tidak adil. Terorisme adalah istilah multiinterpretasi subyektif yang berakar dari paradigma politik Barat.

Serangan terorisme di Surabaya dan Sidoharjo mendapat kecaman yang luar biasa dari berbagai ormas Islam seperti Muhammadiyah, MUI, HTI dan NU. Begitupun agama selain Islam mengutuk aksi terorisme yang telah menelan korban jiwa. Ironisnya, aksi terorisme tiap tahun terjadi, seperti ada skenario dan konspirasi jahat untuk membangun framing dan narasi.

Aksi terorisme jelas bertentangan dengan ajaran Islam. Islam mengajarkan kepada umatnya untuk menghormati tempat ibadah agama lain. Islam melarang umatnya menganggu, apalagi merusak dan membunuh orang lain tanpa haq. Maka, tidak ada tidaklah logis mengkaitkan Islam dengan terorisme, jika tidak ingin disebut sebagai kekejian.

Aksi terorisme adalah keji dan biadab, namun membangun framing dan narasi bahwa terorisme adalah Islam jauh lebih keji dan biadab. Sebab fitnah lebih kejam dari pembunuhan. Demikianlah Barat mencoba membangun narasi radikalisme dan terorisme sebagai propaganda Barat menyerang Islam.

Karena itu, terkait aksi terorisme ini harus segera diusut oleh aparat keamanan secara terang benderang, tanpa harus menyudutkan agama Islam. Sebab di masyarakat berkembang spekulasi liar yang berpotensi menimbulkan kegaduhan sosial antar komponen bangsa. Terkait ISIS, Hillary Clinton dan Donald Trump menyatakan dalam salah satu sesi kampanye pencalonan presiden Amerika, bahwa ISIS adalah bagian dari skenario Amerika sendiri untuk memecah belah kekuatan Islam.

Dalam perspektif sejarah Islam, penyebaran fitnah terhadap agama Allah ini oleh orang-orang kafir telah terjadi sejak zaman Nabi Muhammad. Tentu masih hangat di benak kaum muslimin, tindakan penghinaan terhadap Nabi Muhammad berupa gambar kantun yang bernuansa penistaan keji terhadap kemuliaan seorang Muhammad, sosok paling mulia yang membawa peradaban Islam. Namun sayang, penghinaan itu oleh media Barat dianggap sebagai bagian dari kebebasan berekspresi sehingga tak bisa dijerat hukum.

Dari berbagai rentetan peristiwa sejak runtuhnya manara kembar di Amerika hingga aksi-aksi terorisme di berbagai negara seperti Perancis, lebih tepat jika terorisme disebut sebagai drama. Drama ini memiliki setidaknya tiga tujuan utama. Pertama untuk memecah belah kaum muslimin yang telah memiliki kesadaran kolektif.

Kedua, adalah untuk menumbuhkan Islamaphobia di kalangan kaum muslim sendiri. Ketiga adalah untuk menstigmatisasi Islam itu sendiri. Melalui media, Islam digambarkan sebagai sebuah monster yang siap menerkam. Sementara Barat diam jika aksi-aksi terorisme dilakukan oleh non muslim dalam meneror kaum muslimin. Buktinya Barat tidak pernah menyebut Israel sebagai teroris, meski dunia telah menyaksikan berbagai kebiadaban mereka.

Istilah terorisme yang memang muncul dari Barat lebih mengarah kepada framing stigmatisasi dan monsterisasi Islam. Islam itu indah dan rahmatan lil alamin, bukan penebar teror. Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam [QS Al Anbiyaa : 107].

Umat harus bersikap hati-hati dan proporsional dalam menghadapi setiap hegemoni wacana yang dibangun oleh Barat. Tidak semua harus ditolak, tapi tidak semua juga harus diterima. Allah menyuruh kita untuk melakukan tabayyun secara seksama terhadap setiap berita yang datang dari Barat.

Para tokoh Islam harus memiliki pandangan yang jernih dengan landasan Qur’an suci. Sebab pendapat para tokoh muslim akan menjadi panutan bagi masyarakat muslim yang lain dan akan dipertanggungjawabkan kelak di hadapan Allah. Jihad bukan terorisme dan terorisme bukan jihad.

Oleh karena itu rencana penerbitan perppu anti terorisme harus dipahami dalam konteks pertarungan ideologi ini. Sebab jika tidak, maka perppu ini hanya akan menjadikan Islam sebagai sasaran kezoliman dan ketidakadilan oleh negara. Kondisi ini justru akan dimanfaatkan oleh Barat untuk memicu radikalisasi yang lebih luas.

Padahal aksi terorisme bukan tindakan orang beragama, apalagi Islam. Terorisme adalah tindakan orang tak beragama dan tak bertuhan demi mencapai hegemoni politik mereka. Istilah terorisme selain multi-interpretasi dan multi-orientasi, juga merupakan istilah yang dibuat oleh Ideologi Barat.

Tapi yang pasti bagi saya, terorisme adalah aliran sesat dan menyesatkan. Bisnis besar terorisme akan terus ada, selama masih ada yang diuntungkan. Jadi siapa yang teroris? [mc]

*Dr. Ahmad Sastra, Forum Doktor Islam Indonesia.