MANA YANG SAHIH? Pancasila 1 Juni, 22 Juni atau 18 Agustus?

Nusantarakini.com, Jakarta –

Banyak yang sombong merapal Pancasila bagaikan doa sapu jagat. Amboi, hebatnya. Merasa paling Pancasilais. Padahal cuma hapal dimulut, didompet jadi dollar.

Awak mau tanya, Anda bilang, peraturan dasarnya undang-undang. Undang-undang dasarnya Undang-undang Dasar 1945. Padahal Undang-undang Dasar 1945, telah diubah pada 2002. Harusnya namanya Undang-undang Dasar 2002, bukan?

Awak mau tanya, jika undang-undang, dasarnya UUD 1945, lalu UUD 1945, dasarnya apa? Anda bilang, dasarnya gagasan kolektif para perumus UUD itu. Pikiran para perumus itu, dasarnya apa?

Awak mau tanya, Pancasila yang formal itu yang mana? Anda bilang 1 Juni, 1 Juni 45 masih dalam ide Soekarno. Belum diakui oleh semua peserta perumus UUD 1945.

Baru akur diakui pada 22 Juni 45. Itulah redaksi Pancasila yang sekarang. Sedangkan 1 Juni, redaksinya lain. Yang ada pikiran tentang dasar negara mencakup Nasionalisme, Internasionalisme, Demokrasi, dan Ketuhanan.

Awak mau tanya, sudah akur 22 Juni 45, tapi dicoret sekian redaksi dan diubah menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa. Kenapa, hayo? Itu terjadi pada 18 Agustus 45 dalam suatu sidang kecil yang bukan melalui prosedur pleno. Tapi sudah dianggap sementara, itu dulu. Karena negara lagi menghadapi ancaman pendudukan asing. Pemuka seperti Kahar Muzakkir siap mengalah demi kemerdekaan dan berdirinya negara Indonesia.

Ada kesepakatan tak tertulis, nanti bila negara stabil, bisa dirembukkan lagi. Bahkan silakan diganti, jika sampean menang Pemilu. Ini untuk mengakomodir suara-suara sumbang dan protes dari katanya dari daerah timur. Ya…sudah kata wakil-wakil seperti Kahar Muzakkir. Sekarang yang penting ngusir Belanda dululah.

Zaman berubah. Indonesia jadi Republik Indonesia Serikat (RIS). Kepala negaranya Ratu Belanda. Di dalamnya Republik Indonesia pimpinan Soekarno dan BFO, gabungan negara-negara bagian di bawah proteksi Belanda.

Undang-undangnya bukan UUD 1945 yang dirumuskan di penghujung kekuasaan Jepang itu. Tapi UUD RIS. Isinya beda dengan UUD 1945. Kalau mau tahu bedanya, googling saja di lautan data internet. Itu dimulai sejak Hatta wakili Indonesia memperoleh pengakuan Belanda di Amsterdam tahun 1949.

Tapi lagi-lagi zaman berubah. Indonesia persatuan makin kuat dan makin legitimet. Sebaliknya negara-negara proteksi Belanda seperti NIT, Negara Pasunda, Negara Sumatera Timur, dan seterusnya makin hilang popularitasnya. Maklum, suasana anti imperialisme makin menyala-nyala. Nasionalisme Indonesia yang bertendensi sosialistik dan anti feodalisme bersemi di mana-mana. Maka luruhlah negara-negara kecil itu menyatu dengan Republik Indonesia pimpinan Soekarno.

RIS bubar. Mosi integral M. Natsir moncer. Jadilah dia Perdana Menteri pertama sejak bubarnya RIS dan berdirinya NKRI. NKRI itu ya anti tesanya RIS. Dimotori oleh Natsir, dari Partai Masyumi.

UUD RIS otomatis hanyut bersama Belanda. Lahir UUD S alias Konstitusi Sementara. Isinya beda-beda dengan UUD 45 zaman Jepang maupun UUD RIS.

Masuklah zaman yang dijanjikan Soekarno saat sepakat menyusun ulang redaksi sila pertama Pancasila itu.

Setiap golongan, partai dan kekuatan politik bersaing unggul-unggulan untuk dapat menawarkan dasar baru filosofi negara Indonesia. Ada yang menawarkan Pancasila, ada yang menawarkan Islam.

Ini zaman namanya zaman konstituante. Sebagian lagi bilang zaman demokrasi liberal. Pergantian kabinet silih berganti. Hingga pada kabinetnya Burhanuddin Harahap, dari Partai Masyumi, baru tercapai cita-cita bikin Pemilu.

Pemilu pun digelar. Itu kejadian pada 1955. Muncul partai-partai raksasa. PNI, Masyumi, NU, PKI.

Lha tau-tau sudah nongol PKI. Padahal baru kejadian 1948, PKI disikat oleh Pemerintahan Sokarno. Pilih Musso atau Soekarno – Hatta, katanya waktu itu.

Tapi sudahlah. Sidang parlemen pun menjelma jadi pertarungan konsep politik. Di sini pertarungan aduhai kerasnya. Sampai kemudian dipandang negara bisa bahaya jika terus-terusan format parlementaris diteruskan.

Akhirnya, dekrit 5 Juli 59. Presiden Soekarno bubarkan parlemen. Alihkan format negara jadi presidensial. Masyumi dibekukan. PSI juga. PKI tidak. Dia merapat ke Soekarno. NU juga merapat. Muncul konsep NasAKom.

Pancasila pun dikunci dengan konsep Dekrit 5 Juli 1959. Di situ dikatakan, Pancasila dijiwai oleh Piagam Jakarta, yaitu redaksi Pancasila hasil rumusan 22 Juni 1945.

Demikianlah riwayat Pancasila Kita. Pancasila yang rentan disuir-suir pihak yang sedang berkuasa.

Gimana caranya biar Pancasila tidak disuir-suir sama yang berkuasa? Sebab, setiap penguasa yang silih berganti di Indonesia, selalu saja, Pancasila kena suir-suir agar menguntungkan yang berkuasa.

Zaman Jokowi ini, hari Pancasila dipilih peresmiannya pada 1 Juni. Bukan 22 Juni. Bukan 18 Agustus. Bukan 5 Juli. Apalagi kalau bukan untuk keuntungan politik afiliasi dan legitimasi.

~ Kyai Kampung