Tausiah

Salah Jalan dalam Hidup, Apa Itu?

Nusantarakini.com, Jakarta

Ya…salah jalan. Itulah judul tulisan ini.

Bukan hal yang buruk, jika kadang kita mengalami dalam hidup, salah jalan. Itu pengalaman yang manusiawi saja.

Salah jalan adalah sebuah post factum. Disadari setelah melakukannya.

Kita bisa puluhan tahun salah jalan, tapi baru menyadarinya kemudian. Ibarat seorang musafir menuju suatu destinasi, namun menyadari kemudian destinasi tak kunjung dicapai, ternyata masalahnya salah jalan. Atau seorang musafir berjalan begitu saja untuk mencari dan mencari destinasi, namun destinasi dijumpai, tak ada yang tepat seperti yang diinginkan hati, sementara sang musafir terus berjalan dan berjalan hingga kelelahan dan kehilangan tujuan, sampai pada akhirnya menyadari, hal itu juga salah jalan.

Pengalaman perjalanan semacam itu, terjadi jamak dalam kehidupan nyata kita. Baik kasus yang pertama maupun kasus yang kedua.

Bila salah jalan, tak ada buruknya berhenti sejenak dan merenungkan mau kemana sebenarnya tujuan perjalanan kita?

Demikian juga, jika perjalanan yang kita lakukan telah bertemu destinasi demi destinasi, namun tak ada satu destinasi pun yang klop di hati, maka tak ada buruknya pula untuk merenungkan, destinasi macam apakah yang kita maksudkan dalam perjalanan itu?

Dalam hidup persis demikian. Kita kadang kelelahan berjalan dan berjalan mengarungi kehidupan yang kita lalui, berjumpa destinasi demi destinasi, namun tak satu destinasi pun yang cocok kita rasakan dalam hati, bahkan kita merasa bagaikan salah jalan dan tersesat, maka saat itu kita perlu berhenti dan menyadari bahwa kita telah salah jalan.

Jika salah jalan, maka kita perlu jalan yang benar. Benar jalan tentu menjadi dambaan hati. Hati akan menuntun kita untuk melalui jalan yang benar kepada destinasi yang benar.

Tuhan memberi kita petunjuk melalui ayat-ayat-Nya. Mengapa tidak kita gunakan sebagai penuntun dan suluh bagi perjalanan kita.

Hidup ini pasti tidak kekal. Hidup ini tentulah kita inginkan memberi makna yang memuaskan nurani kita. Tidak sekedar berlalu begitu saja. Tidak sekedar lelah berjalan begitu saja. Menjumpai destinasi demi destinasi, namun tidak kunjung mencapai destinasi yang paripurna.

Kelak setelah mati, apakah baru berhenti berjalan dengan suatu perjalanan yang tanpa makna?

Kita harus menemukan rute perjalanan kita sekaligus gambaran destinasi final yang akan kita tuju supaya perjalanan yang kita lalui tidak melelahkan dan menghambarkan perasaan.

Bagi masing-masing orang, memiliki destinasinya sendiri dan masing-masing mengambil rutenya masing-masing pula. Saya mungkin bisa berbeda dengan Anda, memiliki destinasi tersendiri dengan rute tersendiri. Tentu destinasi hidup yang benar adalah memberi kebaikan bagi bathin pelakunya. Jika destinasi yang dicapai mendampak buruk secara bathin, ragawi dan lingkungan, maka destinasi semacam itu bukanlah destinasi hidup yang diridlai oleh Allah Yang Maha Kuasa. Ukurannya adalah menenteramkan dan menimbulkan kebaikan sosial.

Jadi, jika terasa salah jalan, maka berhentilah dan kembalilah. Bukankah taubat itu maknanya? (sed)

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Terpopuler

To Top