Nusantarakini.com, Jakarta – Pada tahun 2004 lebih kurang, penulis besama teman-teman kelompok, mengaji ilmu politik kepada almarhum Deliar Noer. Deliar Noer dikenal sebagai ilmuan politik pertama di Indonesia dan amat disegani di zamannya.
Kami setiap minggu mengaji ilmu yang memang sangat dia kuasai itu di rumahnya di Duren Sawit.
Waktu itu, sebagai ketua kelompok pengajian ilmu politik itu, saya rasanya tidak pernah absen datang, kendatipun berlangsung tidak lama. Deliar Noer menerapkan disiplin tinggi jika mau mengaji kepadanya. Lima menit terlambat, ditegur dan tidak boleh ikut mendengarkan kuliah politiknya itu.
Ruangan dimana kami mengaji ilmu itu, penuh dengan buku-buku berharga dan penting. Koleksinya amat banyak, dari rentang waktu yang mungkin mencakup era awal abad 20 hingga awal abad 21. Kemana koleksi bukunya itu kini tersimpan? Sepatutnya koleksi Deliar Noer itu diselamatkan.
Selain Deliar Noer, saya juga berkenalan dengan orang yang juga menyimpan koleksi buku yang sama berharganya, yaitu Ridwan Saidi. Malahan Ridwan Saidi memiliki koleksi yang langka, dari beragam bahasa. Termasuk buku dengan bahasa Ibrani. Hal itu terkait dengan minatnya untuk mengkaji Israel atau Yahudi dimana dia sempat menulis novel berkisah tentang Mossad, lembaga intelijen Israel.
Kembali ke pokok soal yaitu kuliah Deliar Noer yang kami terima, khususnya menyangkut urusan yang dialami GNPF dan Habib Rizieq sekarang ini.
Sebagaimana yang kita ketahui saat ini, GNPF dan Bachtiar Nasir dituding menggelapkan sumber uang atau pencucian uang atas uang-uang yang masuk ke rekening dari kegiatan aksi-aksi bela Islam belakangan ini. Adapun Habib Rizieq dituding dari urusan lain, yaitu ada affair dengan perempuan bernama Firza Husein. Seberapa jauh kedua kasus di atas kebenarannya, sekarang hal itu tidak lagi menjadi penting dalam konteks demoralisasi gerakan Habib dan GNPF untuk membangkitkan keberanian dan girah umat memperjuangkan nasibnya.
Tudingan kedua hal di atas yang dilakukan oleh polisi jelas dengan target demoralisasi umat sekaligus merusak karakter dan citra GNPF dan Habib Rizieq.
Dua hal yang potensial menjatuhkan ini, yaitu perempuan dan penggepan uang, merupakan hal yang selalu menimpa para pembangkit gerakan, baik direkayasa atau dilakukan karena khilaf.
Deliar Noer menceritakan kepada kami saat itu, bahwa nama Tjokro yang menjulang juga runtuh oleh dua hal itu.
Soal uang organisasi, banyak gosip yang beredar saat itu, bahwa mobil yang dipakai oleh Tjokro tidak seharusnya dibeli dari uang organisasi Sarekat Islam. Kemudian gosip ini dieksploitasi oleh kelompok SI Merah Semarang pimpinan Alimin, Darsono dan Tan Malaka sehingga mereka akhirnya melancarkan oposisi dari dalam SI. Puncaknya kelompok SI Merah mengalami disiplin organisasi yang mengeluarkan mereka dari bagian SI. Cuma saja, isu uang tersebut sudah membuat demoralisasi di tubuh SI.
Kedua, Tjokro menurut kisah Deliar Noer, gemar menonton tarian Sriwideri di keraton. Apakah keraton Solo atau Yogya, saya kurang jelas. Namun kegemarannya menonton tarian sriwideri tersebut, menyumbang juga terhadap demoralisasi SI.
Soalnya, dikatakan penarinya cantik-cantik. Gosif berkembang, Tjokro suka dengan salah seorang penarinya.
Nah, bercermin dari kejatuhan moral Tjokro dan SI gara-gara mobil dan tari sriwideri tersebut, para penganjur gerakan Islam harus memang ketat soal fitnah dua hal tersebut: uang atau harta dan wanita. Selalu saja dua hal ini yang menjatuhkan moral para penganjur dan gerakannya. Padahal kunci keberhasilan gerakan dengan landasan Islam adalah menjauhi dua fitnah tersebut.
Karena itu, gaya hidup wara’ dan zuhud adalah kunci langgengnya kepercayaan terhadap gerakan Islam. Tanpa wara’ dan zuhud, gerakan Islam akan menghadapi demoralisasi dan akhirnya hancur.
Syahrul Efendi Dasopang, Penulis Buku “Mengapa Gerakan Islam Gagal?”