Nusantarakini.com, Jakarta-
Terkait pernyataan Kapolda Metro Jaya Kepala Polda Metro Jaya Irjen (Pol) M Irawan yang mengatakan kasus Antasari Azhar akan dibuka kembali dengan menyelidiki hal-hal yang dinilai belum tuntas dalam kasus tersebut, Front Mahasiswa Hukum Indonesia (FROMHI) bersama komunitas relawan Kawan8 – elemen masyarakat yang memperjuangkan dan mengawasi terwujudnya janji reformasi hukum dari Pemerintah dan penegak hukum lainnya-, mengapresiasi hal tersebut.
Namun ada beberapa catatan yang menurut kami perlu digaris bawahi.
Reformasi hukum yang dijanjikan pemerintahan Presiden Jokowi hingga saat ini masih masih jauh dari cita-cita reformasi. Banyak kasus-kasus hukum di Indonesia yang masih diproses secara tidak transparan dan memenuhi asas keadilan, baik dalam proses penyelidikan, penyidikan serta persidangan, yang sering kali menyeret orang tidak bersalah ke dalam penjara.
Salah satu contoh lemahnya penegakkan hukum dan terjadinya peradilan sesat adalah yang terjadi dalam kasus kekerasan seksual 2014 yang menyeret 7 orang tidak bersalah – lima petugas kebersihan dan dua guru sekolah internasional, JIS – kedalam penjara dan 1 orang tewas dalam proses penyidikan polisi.
Hukum harus ditegakkan dan keadilan berpihak pada kebenaran. Kami mendesak kepolisian untuk membuka kembali penyelidikan dalam kasus JIS yang sarat dengan rekayasa. Hukum harus bebas dari trial by the press dan tidak memandang makna politis dari sebuah kasus.
Menurut ketua umum Front Mahasiswa Hukum Indonesia (FROMHI) Hipatios Wirawan, kasus yang terjadi di Jakarta Intercultural School (JIS) tahun 2014 patut dibuka kembali penyelidikannya sebagai langkah awal reformasi terhadap sistem hukum Indonesia.
“Tak hanya kasus Antasari Azhar, polisi juga wajib membuka kembali penyelidikan dalam kasus JIS. Disana secara kasat mata terlihat pelanggaran-pelanggaran hukum, mulai dari pemeriksaan di kepolisian hingga pengadilan. Keadilan dan penegakan hukum harus equal dan berlaku disemua kasus-kasus yang sarat rekayasa,” ujarnya pada wartawan, Selasa (31/1).
“Diperlukan penuntasan kasus ini dengan landasan kebenaran dan keadilan, sejalan dengan arahan dan janji Presiden yang mendorong adanya reformasi hukum untuk memulihkan kepercayaan publik terhadap keadilan dan kepastian hukum di Indonesia. Kami, mahasiswa – sebagai salah satu elemen kunci di masyarakat akan mengawal proses reformasi hukum ini,” ujar Hipatios.
Sementara itu, koordinator Kawan8, Endang Sulistari mengatakan hal senada. “Kasus tuduhan kekerasan seksual di JIS pada 2014 lalu secara kasat mata merupakan kasus yang diadili oleh opini publik melalui media massa (trial by the press). Penegak hukum yang diharapkan dapat berlaku adil dan melihat kasus ini secara obyektif, justru menjadikan opini publik sebagai pertimbangan dalam mengambil keputusan,” kata Endang.
Ia menambahkan, kasus ini merupakan contoh kecil bagaimana hukum dilemahkan. Dengan adanya keadilan dalam kasus ini, kami berharap tidak terulang lagi pada kasus-kasus lainnya, sehingga orang yang tidak bersalah dan keluarganya tidak perlu menjadi korban seperti pada kasus ini.
“Kita harus menjadikan kasus ini sebagai pelajaran agar ketidakadilan hukum, khususnya bagi orang kecil, dapat diakhiri di Indonesia,” ujar perempuan yang akrab disapa Sulis ini.
Latar belakang
Untuk mengingatkan kembali mengenai kasus ini, pada awal 2014 lalu, publik dikejutkan oleh pemberitaan mengenai tuduhan kekerasan seksual yang terjadi di Jakarta Intercultural School (JIS). Seluruh masyarakat mengecam peristiwa yang menghebohkan di media massa tersebut. Delapan orang, yang terdiri dari enam petugas kebersihan (Agun Iskandar, Virgiawan, Syahrial, Zaenal, (Alm) Azwar serta Afrischa Setyani) dan dua orang pengajar (Neil Bantleman dan Ferdinand Tjiong) dituduh melakukan kekerasan seksual pada anak murid TK di JIS. Awalnya, ibu dari anak yang mengaku korban (MAK) mengajukan tuntutan perdata senilai USD12,5 juta kepada JIS. Setelah menggandeng pengacara OC Kaligis (yang tertangkap KPK dan kemudian dihukum karena kasus suap), tuntutan tersebut naik menjadi USD125 juta atau sekitar Rp 1,6 triliun.
Angin segar datang dari Singapura dan Belgia. Hasil pemeriksaan anuscopi yang dilakukan oleh ibu dari AD, salah satu anak yang juga mengaku menjadi korban, di RS KK Women’s and Children’s Hospital di Singapura tidak menunjukkan adanya kekerasan seksual, seperti yang disangka oleh ibu si anak.
Sedangkan hasil pemeriksaan laboratorium di rumah sakit Belgia yang dilakukan oleh ibu dari MAK (yang melakukan tuntutan Rp 1,6 triliun), ternyata juga menunjukkan si anak tidak menderita penyakit herpes, yang menjadi sebab tuduhan awal dugaan terjadinya kekerasan seksual. Namun, lagi-lagi pengadilan kita abai atas temuan tersebut. Demi asas keterlanjuran dan mengamini opini publik yang terbentuk di awal kasus, Mahkamah Agung (MA) menyatakan delapan orang tersebut bersalah. Kelima orang petugas kebersihan divonis 7-8 tahun penjara, sedangkan dua orang guru 11 tahun penjara. Sekali lagi, keadilan terbunuh dalam pengadilan sesat.
“Kami melihat begitu banyak kejanggalan dari kasus ini, termasuk bukti-bukti yang sumir dan tuntutan finansial fantastis yang menjadi pertanyaan terhadap motif sebenarnya dibalik kasus ini. Ketujuh orang yang dituduh atas kejahatan yang tidak mereka lakukan dan satu orang almarhum yang wafat pada saat proses penyelidikan polisi ini adalah korban kriminalisasi yang harus diperjuangkan nasibnya. Kami berharap para hakim di Mahkamah Agung (MA) dapat meninjau kembali kasus ini secara teliti dan seksama – tidak terpengaruh oleh opini publik yang pernah terbangun dua tahun lalu, dan menggunakan nurani dalam mengambil keputusan yang seadil-adilnya,” ujar Endang Sulistari. (mc)